Sains, Corona, dan Agama

Rabu, 29 April 2020 - 12:31 WIB
loading...
A A A
Apakah agama salah? Tidak! Yang salah adalah cara kita beragama. Setiap klaim pada akhirnya harus bisa dibuktikan. Klaim yang hanya sebatas mulut pada akhirnya memiliki batasnya.

Batasnya adalah ketika ia dihadapkan pada ujian yang nyata. Biarlah klaim-klaim keselamatan ukhrawi terjawab saatnya nanti. Tapi, wabah adalah soal derita penyakit yang ditanggung manusia konkret dalam kehidupan konkret.

Permohonan ampunan dan doa-doa yang dipanjatkan jika itu menenangkan hati mungkin akan menjadi immune booster yang bisa menangkal bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Tapi mengumpulkan ratusan atau bahkan ribuan orang untuk menggelar ritual komunal jelas sebuah cara beragama yang sama sekali tidak bijaksana.

Wabah adalah wabah. Ia tidak peduli agama. Virus dan bakteri memiliki rumus hidup dan penularannya sendiri tanpa harus melihat rekam jejak peribadatan seseorang.

Saat ilmuwan berjibaku berusaha menemukan vaksin; dokter dan perawat mempertaruhkan nyawa mengobati para korban wabah; seruan mengkarantina diri digaungkan untuk memutus mata rantai penyebarannya, adalah menyakitkan jika atas nama Tuhan mereka tidak hanya menantang protokol itu, tapi juga mengolok para petugas sebagai manusia yang tak punya iman. Iman yang dewasa adalah iman yang memberi kehidupan, bukan mengajak bunuh diri massal atas nama Tuhan.

Sejarah telah memberi pelajaran, cukuplah kita menggunakan nalar dengan baik untuk menghindari penularan dalam masa wabah. Karantina adalah protokol pemutusan penularan pandemi yang sudah berusia ribuan tahun.

Sekalipun orang zaman dulu tidak tahu bagaimana mikroba menyebabkan penyakit, namun nalar sehat mereka bisa menyimpulkan bahwa kontak dengan orang sakit dapat menyebabkan penyakit.

Saat pandemi Wabah Hitam menyerang Eropa di abad ke-14, mikroskop belum ditemukan. Louis Pasteur dan Robert Koch baru berteori tentang kuman pada 1870. Dmitri Iwanosk baru mengidentifikasi virus sebagai agen penyakit pada 1892. Antibiotik pertama baru ditemukan Alexander Fleming pada 1928. Dan, virus baru sungguh-sungguh terlihat oleh mata pada 1930.

Sekalipun demikian, otoritas Venesia, Itali, dan kota-kota pesisir lain saat itu menerapkan kebijakan karantina bagi kapal-kapal yang datang. Kapal-kapal itu harus dikarantina selama empat puluh hari sebelum berlabuh. Istilah “karantina” saat ini sebetulnya mengacu pada istilah ‘Quarantina” yang diterapkan otoritas Venesia saat itu, yang secara harfiyah berarti “empat puluh”.

Tak perlu tengadah ke langit bagi mereka untuk menyadari bahwa penyakit terjadi saat kapal-kapal dari daerah lain, terutama Timur Tengah, memasuki pelabuhan. Bahkan para dokter saat itu pun salah membuat diagnosis terhadap wabah yang membuat mayat-mayat hanya digeletakkan di jalan-jalan itu.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1921 seconds (0.1#10.140)