Hadi Poernomo Nilai Integrasi NIK dan NPWP Belum Optimal
loading...

Ketua BPK periode 2009-2014 Hadi Poernomo dalam webinar bertajuk Menuju Single Identification Number: Penggunaan NIK sebagai NPWP Cukupkah? yang digelar di Auditorium Fakultas Ilmu Administrasi, UI, Depok, Sabtu (3/6/2023). Foto/Ist
A
A
A
JAKARTA - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) periode 2009-2014, Hadi Poernomo menilai integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) belum bisa mengoptimalkan penerimaan negara. Integrasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu malah bisa memunculkan potensi permasalahan yaitu SPT milik wajib pajak yang harusnya bersifat rahasia, bisa tersebar luas.
Pandangan ini disampaikan Hadi Poernomo dalam webinar bertajuk "Menuju Single Identification Number: Penggunaan NIK sebagai NPWP Cukupkah?" yang digelar di Auditorium Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Sabtu (3/6/2023). Acara yang digelar oleh Klaster Riset Politics of Taxation, Welfare and National Resilience (POLTAX) Universitas Indonesia ini juga menghadirkan narasumber lain yaitu Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan UI, Prof Haula Rosdiana.
Dalam paparannya, Hadi menjelaskan, dasar hukum NIK adalah UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. NIK ini digunakan untuk kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen, data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
Baca juga: Ungkap Efektivitas SIN, Disertasi Hadi Poernomo Raih Penghargaan MURI
Sementara NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Keduanya sama-sama sebuah identitas yang mengandung arti tertentu. Namun, jika NIK berisi data non finansial, NPWP adalah identitas baik penduduk maupun bukan penduduk, perseorangan maupun badan, dan berisi baik data finansial maupun data non finansial yang sebagian besar bersifat data rahasia karena terhubung ke dalam sebuah SPT Tahunan.
"Maka dari arti tersebut terdapat jurang perbedaan yang cukup besar antara keduanya," jelas Hadi.
Di mana potensi permasalahannya? Mantan Dirjen Pajak ini mengatakan, dalam Pasal 34 UU KUP ditegaskan, SPT tahunan dilarang untuk disebarluaskan baik oleh pejabat yang berwenang maupun oleh tenaga ahli.
Namun, aturan tersebut kontradiktif dengan pengaturan di dalam Pasal 44E UU HPP. Artinya data yang bersifat rahasia tersebut diduga akan tersebarluaskan kepada pihak di luar Ditjen Pajak.
Hadi mengatakan, penyatuan data NIK dan NPWP mempertegas permasalahan data yang dialami selama ini. Permasalahan data ini sebenarnya telah diselesaikan dengan Bank Data Perpajakan melalui Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007.
"Sayangnya, peraturan tersebut diduga tidak dimanfaatkan sebagaimana perintah undang-undang," ujarnya.
Padahal dalam Bank Data Perpajakan jauh lebih lengkap dari penyatuan NIK dan NPWP. Pada tahun 2017, Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 diperkuat oleh Presiden Joko Widodo dengan UU Nomor 9 Tahun 2017.
Kata Hadi, data-data tersebutlah yang kemudian menjadi single identitas number (SIN). Karena dengan seluruh data tersebut akan digabungkan dan menjadi sebuah nomor induk tunggal sebagai pemersatu seluruh data baik finansial maupun non finansial, baik yang rahasia maupun non rahasia.
Hadi menjelaskan, misal penduduk di Indonesia memiliki lebih dari 32 indentitas, antara lain identitas pribadi berupa NIK, Paspor, SIM, Nomor Rekening, dan lain sebagainya.
"NIK dan NPWP merupakan sedikit dari banyaknya data yang ada di Indonesia. Menariknya adalah di dalam NIK sendiri terdapat 2 data yang tertaut di dalamnya, yaitu NIK itu sendiri dan Nomor Kartu Keluarga. Dari data tersebut jelas
terlihat bahwa integrasi NIK dan NPWP masih jauh dari konsep SIN, sehingga integrasi NIK dan NPWP bukan merupakan SIN," jelasnya.
Padahal menurut Hadi, kehadiran SIN sudah tidak dapat lagi dihindari dalam rangka mendorong "rekonsiliasi nasional di bidang ekonomi" yaitu membangun iklim usaha yang business friendly, terutama untuk mencapai penerimaan pajak sesuai target APBN tanpa melakukan pemeriksaan.
"Tanpa SIN kita akan digilas roda zaman," tegasnya.
Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana menambahkan, kebijakan integrasi NIK dan NPWP ini lemah dalam metodologi kebijakan karena riset kebijakan yang terabaikan. "Karena itu program ini tidak bisa berjalan sesuai harapan seperti misalnya penyederhanaan data apalagi mendongkrak penerimaan negara," ungkapnya.
Menurut dia, kebijakan perpajakan yang sebenarnya adalah lebih luas dari sekadar mengganti NPWP menjadi NIK atau menggunakan NIK sebagai NPWP. UU mengamanatkan untuk mewujudkan Single Identity Number tujuannya untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik untuk menjamin kemandirian fiskal.
Bukan hanya agar negara ini eksis, tapi juga bisa tumbuh berkembang dan jauh lebih hebat. "Karena pajak adalah darah negara," kata Haula.
Kata dia, saat ini berbagai negara sudah mengarah pada kebijakan bank data perpajakan atau Single Identity Number (SIN). Sebagai contoh, India sedang membangun SIN dengan jargon: one nation one number.
Menurut Haula, pajak adalah sumber penerimaan paling murah, paling aman, dan paling berkesinambungan. Nah, SIN ini bisa jadi instrumen admistrasi untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Harapannya pajak bisa mendorong mobilitas vertikal.
"Ruh dari SIN ini bagaimana membuat transformasi sosial, sehingga masyarakat golongan bawah naik ke tengah, lalu golongan menengah naik ke atas. Sementara yang atas tidak memegang semua sendiri tapi dibagikan," paparnya.
Haula mengatakan, SIN adalah langkah untuk membangun arsitektur administrasi perpajakan. Administrasi perpajakan ini kunci keberhasilan perpajakan. Karena, menurut dia, kebijakan perpajakan yang baik jika tidak didukung dengan administrasi perpajakan yang baik akan menyebabkan masalah.
"Isu kebijakan ini bukan dalam aspek yang teknis. Tapi aspek yang lebih substantif yaitu bagaimana pajak menjadi darah negara yang membuat negara bisa hidup, sehat, untuk memakmurkan rakyat adil dan merata," tuturnya.
Haula optimistis SIN ini bisa terwujud jika ada ada political will yang kuat. Kata dia, tantangan 2024 akan lebih berat, visi Indonesia emas ini tak bisa terwujud tanpa punya kemandirian fiskal.
"SIN bukan hanya sekadar reformasi administrasi tapi transformasi administrasi untuk mewujudkan kemandirian fiskal itu," tutupnya.
Pandangan ini disampaikan Hadi Poernomo dalam webinar bertajuk "Menuju Single Identification Number: Penggunaan NIK sebagai NPWP Cukupkah?" yang digelar di Auditorium Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Sabtu (3/6/2023). Acara yang digelar oleh Klaster Riset Politics of Taxation, Welfare and National Resilience (POLTAX) Universitas Indonesia ini juga menghadirkan narasumber lain yaitu Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan UI, Prof Haula Rosdiana.
Dalam paparannya, Hadi menjelaskan, dasar hukum NIK adalah UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. NIK ini digunakan untuk kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen, data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
Baca juga: Ungkap Efektivitas SIN, Disertasi Hadi Poernomo Raih Penghargaan MURI
Sementara NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Keduanya sama-sama sebuah identitas yang mengandung arti tertentu. Namun, jika NIK berisi data non finansial, NPWP adalah identitas baik penduduk maupun bukan penduduk, perseorangan maupun badan, dan berisi baik data finansial maupun data non finansial yang sebagian besar bersifat data rahasia karena terhubung ke dalam sebuah SPT Tahunan.
"Maka dari arti tersebut terdapat jurang perbedaan yang cukup besar antara keduanya," jelas Hadi.
Di mana potensi permasalahannya? Mantan Dirjen Pajak ini mengatakan, dalam Pasal 34 UU KUP ditegaskan, SPT tahunan dilarang untuk disebarluaskan baik oleh pejabat yang berwenang maupun oleh tenaga ahli.
Namun, aturan tersebut kontradiktif dengan pengaturan di dalam Pasal 44E UU HPP. Artinya data yang bersifat rahasia tersebut diduga akan tersebarluaskan kepada pihak di luar Ditjen Pajak.
Hadi mengatakan, penyatuan data NIK dan NPWP mempertegas permasalahan data yang dialami selama ini. Permasalahan data ini sebenarnya telah diselesaikan dengan Bank Data Perpajakan melalui Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007.
"Sayangnya, peraturan tersebut diduga tidak dimanfaatkan sebagaimana perintah undang-undang," ujarnya.
Padahal dalam Bank Data Perpajakan jauh lebih lengkap dari penyatuan NIK dan NPWP. Pada tahun 2017, Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 diperkuat oleh Presiden Joko Widodo dengan UU Nomor 9 Tahun 2017.
Kata Hadi, data-data tersebutlah yang kemudian menjadi single identitas number (SIN). Karena dengan seluruh data tersebut akan digabungkan dan menjadi sebuah nomor induk tunggal sebagai pemersatu seluruh data baik finansial maupun non finansial, baik yang rahasia maupun non rahasia.
Hadi menjelaskan, misal penduduk di Indonesia memiliki lebih dari 32 indentitas, antara lain identitas pribadi berupa NIK, Paspor, SIM, Nomor Rekening, dan lain sebagainya.
"NIK dan NPWP merupakan sedikit dari banyaknya data yang ada di Indonesia. Menariknya adalah di dalam NIK sendiri terdapat 2 data yang tertaut di dalamnya, yaitu NIK itu sendiri dan Nomor Kartu Keluarga. Dari data tersebut jelas
terlihat bahwa integrasi NIK dan NPWP masih jauh dari konsep SIN, sehingga integrasi NIK dan NPWP bukan merupakan SIN," jelasnya.
Padahal menurut Hadi, kehadiran SIN sudah tidak dapat lagi dihindari dalam rangka mendorong "rekonsiliasi nasional di bidang ekonomi" yaitu membangun iklim usaha yang business friendly, terutama untuk mencapai penerimaan pajak sesuai target APBN tanpa melakukan pemeriksaan.
"Tanpa SIN kita akan digilas roda zaman," tegasnya.
Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana menambahkan, kebijakan integrasi NIK dan NPWP ini lemah dalam metodologi kebijakan karena riset kebijakan yang terabaikan. "Karena itu program ini tidak bisa berjalan sesuai harapan seperti misalnya penyederhanaan data apalagi mendongkrak penerimaan negara," ungkapnya.
Menurut dia, kebijakan perpajakan yang sebenarnya adalah lebih luas dari sekadar mengganti NPWP menjadi NIK atau menggunakan NIK sebagai NPWP. UU mengamanatkan untuk mewujudkan Single Identity Number tujuannya untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik untuk menjamin kemandirian fiskal.
Bukan hanya agar negara ini eksis, tapi juga bisa tumbuh berkembang dan jauh lebih hebat. "Karena pajak adalah darah negara," kata Haula.
Kata dia, saat ini berbagai negara sudah mengarah pada kebijakan bank data perpajakan atau Single Identity Number (SIN). Sebagai contoh, India sedang membangun SIN dengan jargon: one nation one number.
Menurut Haula, pajak adalah sumber penerimaan paling murah, paling aman, dan paling berkesinambungan. Nah, SIN ini bisa jadi instrumen admistrasi untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Harapannya pajak bisa mendorong mobilitas vertikal.
"Ruh dari SIN ini bagaimana membuat transformasi sosial, sehingga masyarakat golongan bawah naik ke tengah, lalu golongan menengah naik ke atas. Sementara yang atas tidak memegang semua sendiri tapi dibagikan," paparnya.
Haula mengatakan, SIN adalah langkah untuk membangun arsitektur administrasi perpajakan. Administrasi perpajakan ini kunci keberhasilan perpajakan. Karena, menurut dia, kebijakan perpajakan yang baik jika tidak didukung dengan administrasi perpajakan yang baik akan menyebabkan masalah.
"Isu kebijakan ini bukan dalam aspek yang teknis. Tapi aspek yang lebih substantif yaitu bagaimana pajak menjadi darah negara yang membuat negara bisa hidup, sehat, untuk memakmurkan rakyat adil dan merata," tuturnya.
Haula optimistis SIN ini bisa terwujud jika ada ada political will yang kuat. Kata dia, tantangan 2024 akan lebih berat, visi Indonesia emas ini tak bisa terwujud tanpa punya kemandirian fiskal.
"SIN bukan hanya sekadar reformasi administrasi tapi transformasi administrasi untuk mewujudkan kemandirian fiskal itu," tutupnya.
(abd)
Lihat Juga :