Denny JA Kenang Momen Pendidikan Pancasila Pecahkan Rekor Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Momen Peringatan Hari Lahir Pancasila hari ini, 1 Juni 2023 menjadi kenangan bagi Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny Januar Ali (JA). LSI Denny JA pada lima tahun lalu melakukan pendidikan Pancasila kepada pemuda-pemudi di 34 provinsi di Indonesia.
Momen tersebut dimulai dengan memecahkan rekor dunia, Guinness Book of World Record, yakni pendidikan politik terbesar untuk ukuran dunia. Sebanyak 2.100 pemuda-pemudi hadir dalam satu tempat di waktu yang sama di Jakarta untuk melakukan pemecahan rekor dunia tersebut.
Dalam orasinya, Denny JA mengutip pernyataan dari Presiden Pertama RI Soekarno yang sangat menggetarkan. “Beri saya 10 pemuda, maka saya akan mengguncang dunia.”
“Di ruangan ini, alhamdulillah, pasti ada lebih dari 10 pemuda. Hari ini kita tidak ingin mengguncangkan dunia, tapi kita ingin memecahkan rekor dunia,” kata Denny JA dalam tayangan video di kanal YouTube LSI Denny JA Official yang diunggah pada 19 Agustus 2018.
Video itu juga telah ditonton lebih dari satu juta kali sejak penayangannya. Denny JA menerima langsung piagam Guinness Book of World Record sehari setelah momen HUT RI pada 2018.
Juri dari Amerika Serikat beserta timnya datang langsung ke Jakarta. “Mengapa kami ikut menghidupkan kembali Pancasila? Survei LSI Denny JA saat itu (2010-2018) menunjukkan antusiasme kepada negara agama meninggi. Sebaliknya antusiasme kepada Pancasila menurun,” ujar Denny JA.
Dalam survei LSI Denny JA yang dilaksanakan di 34 provinsi pada 28 Juni 2018 hingga 5 Juli 2018, diketahui publik yang pro-Pancasila menurun. Pada 2005, publik yang pro-Pancasila angkanya mencapai 85,2 persen, pada 2010 menjadi 81,7 persen.
Lalu, pada 2015 angkanya menjadi 79,4 persen dan turun lagi menjadi 75,3 persen pada 2018. Artinya, dalam waktu 13 tahun, publik yang pro-Pancasila menurun 10 persen.
Di sisi lain, publik yang pro-NKRI bersyariah mengalami kenaikan sebesar 9 persen selama 13 tahun. Pada 2005, angkanya mencapai 4,6 persen, 2010 mencapai 7,3 persen, dan 2015 mencapai 9,8 persen.
Selanjutnya, pada 2018 menjadi 13,2 persen. Dalam survei LSI Denny JA, ada tiga alasan publik yang pro-Pancasila menurun. Pertama, kesenjangan ekonomi semakin tinggi dalam masyarakat.
Kedua, paham alternatif semakin digaungkan di luar Pancasila. Intensifnya paham alternatif di luar Pancasila mampu menarik, terutama warga muslim. Ketiga, tidak tersosialisasi dari masyarakat kepada masyarakat.
Selain itu, menurunnya pro-Pancasila juga terasa di berbagai segmen, seperti warga penghasilan rendah. Masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp1 juta yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 91,8 persen, pada 2010 mencapai 85,7 persen, pada 2015 mencapai 79,1 persen, dan pada 2018 mencapai 69,1 persen.
Sedangkan masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp3 juta yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 77,8 persen, pada 2010 sebesar 76,8 persen, pada 2015 mencapai 76,6 persen, dan pada 2018 mencapai 76,4 persen.
Adapun warga Muslim yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 85,6 persen, pada 2010 mencapai 81,8 persen, pada 2015 mencapai 79,1 persen, dan pada 2018 sebesar 74 persen. Sedangkan agama lainnya, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha, yang pro-Pancasila, sangat stabil dengan angka 82,8 persen.
Menurunnya angka warga pro-Pancasila merata di level pendidikan. Lulusan di bawah Sekolah Dasar (SD) pada 2005 mencapai 86,5 persen, pada 2010 mencapai 83,1 persen, pada 2015 mencapai 80,1 persen, dan pada 2018 mencapai 76,3 persen.
Sementara itu, lulusan SLTP yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 84,7 persen, pada 2010 sebesar 81,3 persen, pada 2015 mencapai 80,0 persen, dan pada 2018 sebesar 76,5 persen. Untuk lulusan SMA, yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 83,3 persen, pada 2010 mencapai 80,1 persen, pada 2015 mencapai 78,4 persen, dan pada 2018 sebesar 74,0 persen.
Sedangkan, yang pernah kuliah atau di atasnya yang pro-Pancasila 2005 mencapai 82,2 persen hingga 2018 mengalami penurunan menjadi 72,8 persen. Sekecil apa pun upayanya, kata dia, pihaknya mengajak untuk menghidupkan kembali pesan pentingnya Pancasila sebagai ideologi pengikat menjaga keberagaman Indonesia.
“Di hari Pancasila, kita merenungkan kembali. Pancasila ikut menjadi roadmap yang mengantarkan negara mayoritas penduduk Islam di Indonesia bisa bertransisi ke demokrasi. Sementara di negara mayoritas muslim lainnya, lebih tertatih dan sulit bertransisi menuju demokrasi,” ungkap Denny JA.
Momen tersebut dimulai dengan memecahkan rekor dunia, Guinness Book of World Record, yakni pendidikan politik terbesar untuk ukuran dunia. Sebanyak 2.100 pemuda-pemudi hadir dalam satu tempat di waktu yang sama di Jakarta untuk melakukan pemecahan rekor dunia tersebut.
Dalam orasinya, Denny JA mengutip pernyataan dari Presiden Pertama RI Soekarno yang sangat menggetarkan. “Beri saya 10 pemuda, maka saya akan mengguncang dunia.”
“Di ruangan ini, alhamdulillah, pasti ada lebih dari 10 pemuda. Hari ini kita tidak ingin mengguncangkan dunia, tapi kita ingin memecahkan rekor dunia,” kata Denny JA dalam tayangan video di kanal YouTube LSI Denny JA Official yang diunggah pada 19 Agustus 2018.
Video itu juga telah ditonton lebih dari satu juta kali sejak penayangannya. Denny JA menerima langsung piagam Guinness Book of World Record sehari setelah momen HUT RI pada 2018.
Juri dari Amerika Serikat beserta timnya datang langsung ke Jakarta. “Mengapa kami ikut menghidupkan kembali Pancasila? Survei LSI Denny JA saat itu (2010-2018) menunjukkan antusiasme kepada negara agama meninggi. Sebaliknya antusiasme kepada Pancasila menurun,” ujar Denny JA.
Dalam survei LSI Denny JA yang dilaksanakan di 34 provinsi pada 28 Juni 2018 hingga 5 Juli 2018, diketahui publik yang pro-Pancasila menurun. Pada 2005, publik yang pro-Pancasila angkanya mencapai 85,2 persen, pada 2010 menjadi 81,7 persen.
Lalu, pada 2015 angkanya menjadi 79,4 persen dan turun lagi menjadi 75,3 persen pada 2018. Artinya, dalam waktu 13 tahun, publik yang pro-Pancasila menurun 10 persen.
Di sisi lain, publik yang pro-NKRI bersyariah mengalami kenaikan sebesar 9 persen selama 13 tahun. Pada 2005, angkanya mencapai 4,6 persen, 2010 mencapai 7,3 persen, dan 2015 mencapai 9,8 persen.
Selanjutnya, pada 2018 menjadi 13,2 persen. Dalam survei LSI Denny JA, ada tiga alasan publik yang pro-Pancasila menurun. Pertama, kesenjangan ekonomi semakin tinggi dalam masyarakat.
Kedua, paham alternatif semakin digaungkan di luar Pancasila. Intensifnya paham alternatif di luar Pancasila mampu menarik, terutama warga muslim. Ketiga, tidak tersosialisasi dari masyarakat kepada masyarakat.
Selain itu, menurunnya pro-Pancasila juga terasa di berbagai segmen, seperti warga penghasilan rendah. Masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp1 juta yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 91,8 persen, pada 2010 mencapai 85,7 persen, pada 2015 mencapai 79,1 persen, dan pada 2018 mencapai 69,1 persen.
Sedangkan masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp3 juta yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 77,8 persen, pada 2010 sebesar 76,8 persen, pada 2015 mencapai 76,6 persen, dan pada 2018 mencapai 76,4 persen.
Adapun warga Muslim yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 85,6 persen, pada 2010 mencapai 81,8 persen, pada 2015 mencapai 79,1 persen, dan pada 2018 sebesar 74 persen. Sedangkan agama lainnya, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha, yang pro-Pancasila, sangat stabil dengan angka 82,8 persen.
Menurunnya angka warga pro-Pancasila merata di level pendidikan. Lulusan di bawah Sekolah Dasar (SD) pada 2005 mencapai 86,5 persen, pada 2010 mencapai 83,1 persen, pada 2015 mencapai 80,1 persen, dan pada 2018 mencapai 76,3 persen.
Sementara itu, lulusan SLTP yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 84,7 persen, pada 2010 sebesar 81,3 persen, pada 2015 mencapai 80,0 persen, dan pada 2018 sebesar 76,5 persen. Untuk lulusan SMA, yang pro-Pancasila pada 2005 mencapai 83,3 persen, pada 2010 mencapai 80,1 persen, pada 2015 mencapai 78,4 persen, dan pada 2018 sebesar 74,0 persen.
Sedangkan, yang pernah kuliah atau di atasnya yang pro-Pancasila 2005 mencapai 82,2 persen hingga 2018 mengalami penurunan menjadi 72,8 persen. Sekecil apa pun upayanya, kata dia, pihaknya mengajak untuk menghidupkan kembali pesan pentingnya Pancasila sebagai ideologi pengikat menjaga keberagaman Indonesia.
“Di hari Pancasila, kita merenungkan kembali. Pancasila ikut menjadi roadmap yang mengantarkan negara mayoritas penduduk Islam di Indonesia bisa bertransisi ke demokrasi. Sementara di negara mayoritas muslim lainnya, lebih tertatih dan sulit bertransisi menuju demokrasi,” ungkap Denny JA.
(rca)