Darah Mendidih karena Dihina, Jenderal Soemitro Nyaris Sobek Mulut Perempuan Gerwani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Amarah Jenderal TNI Soemitro tak dapat ditahan lagi. Dengan suara menggelegar, perempuan yang berani menghinanya di depan publik itu didamprat habis-habisan.
“Sayang Saudara perempuan. Kalau lelaki sudah saya sobek mulutmu sekarang juga!” kata Mitro ditulis Ramadhan KH dalam buku ‘Jenderal Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib’ (hal 17), dikutip Kamis (11/5/2023).
Murka Soemitro belum reda. Meski perempuan itu akhirnya minta maaf, serdadu kelahiran Probolinggo, Jawa Timur itu kembali meluapkan emosinya. Kata-kata pedas disertai bentakan berhamburan. “Kali ini saya maafkan. Jangan terjadi untuk kedua kalinya,” ancam dia.
Baca Juga: Mengenal Soemitro, Jenderal TNI Bintang Empat Mantan Prajurit PETA Bentukan Jepang
Kemarahan Mitro bukan tanpa alasan. Malam sebelumnya dia merasa dipermalukan di depan publik. Itu bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, April 1965. Mitro kala itu berpangkat Brigjen dan menjabat Pangdam Mulawarman.
Peringatan Hari Kartini di Balikpapan kala itu diwarnai dengan resepsi dan berbagai pertunjukan. Dalam perayaan itu muncul perempuan yang membacakan sajak. Anehnya, dia mengucapkan kata-kata yang tidak disukai Mitro.
“Ada jenderal kanan yang tidak mengerti revolusi,” kata perempuan itu.
Kontan darah Mitro mendidih. Tentara yang memulai karier sebagai prajurit Pembela Tanah Air (Peta) itu mencium aroma Partai Komunis Indonesia (PKI) dari ucapan aktivis tersebut. Dan, ‘jenderal kanan’ yang terlontar dari mulut perempuan itu seperti ditujukan kepadanya.
PKI memang tak senang dengan kehadirannya sebagai Pangdam Mulawarman. Belakangan terungkap, perempuan yang membaca sajak itu ternyata anggota Gerwani (organisasi perempuan sayap PKI).
Soemitro sedang santai bersama keluarga di Bandung ketika ditelepon untuk menghadap Menpangad Jenderal Ahmad Yani. Saat itu Februari 1965, beberapa bulan sebelum peristiwa G30 S/PKI. Oleh Yani, Mitro diperintah untuk menjadi Pangdam Mulawarman menggantikan Haryo Kecik.
Hari-hari pertama di Balikpapan tidak mudah bagi Mitro. Ada saja omongan buruk tentang dirinya, terutama dari kalangan PKI. Seorang ketua partai komunis di kota itu menyebutnya jenderal kanan yang tak tahu revolusi.
Ucapan itulah yang kemudian diulang lagi oleh perempuan pembaca sajak di Hari Kartini, beberapa pekan setelahnya. Mendengar sebutan itu, Mitro merasa terhina. Ketua PKI Balikpapan itu pun dipanggilnya.
“Jangan dikira saya tidak mendengar ucapanmu ya. Kalau sekali lagi kamu mengucapkan begitu, kamu tahu akibatnya. Saya jebloskan kamu ke bui,” hardik jenderal yang pernah mencecap pendidikan Fuhrung’s Akademider Bundeswehr atau setingkat Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI di Hamburg, Jerman Barat itu.
Sayangnya, hinaan terhadap Mitro belum berhenti. Pada 1 Mei saat Hari Buruh, berlangsung rapat raksasa di Balikpapan. Massa berkumpul. Ketika ketua Sobsi (organisasi buruh sayap PKI) berpidato, lagi-lagi telinga Mitro merah dibuatnya.
Ketua Sobsi yang bicara berapi-api itu mengulangi kalimat yang membuat Mitro murka. Disebutnya, “Jenderal kanan. Jenderal kanan enggak mengerti revolusi.”
Amarahnya kembali meledak. Usai acara Hari Buruh itu, Mitro mengumpulkan semua perwiranya. Hari itu juga mereka diperintahkan menangkap semua pengurus PKI dan underbow-nya mulai Gerwani, Sobsi, Perbum, hingga Pemuda Rakyat. Tak hanya pengurus di provinsi, tetapi hingga kabupaten. Wilayah pelabuhan dan bandara ditutup saat pembersihan orang-orang PKI itu.
Pada 1953 Soemitro diangkat menjadi Kepala Staf Resimen XVII, TT V/Brawijaya. Tahun berikutnya dia naik pangkat menjadi mayor. Jabatan baru kembali dipercayakan padanya yakni sebagai Pejabat sementara Komandan Resimen 18.
Karier Mitro terus menanjak. Anak dari pasangan Sastrodiharjo-Meilaeni itu ditugasi sebagai Komandan Sektor Operasi Brawijaya pada 1956 dan dikirim ke Kabupaten Luwu serta Toraja, Sulawesi Selatan. Dua tahun setelahnya, Mitro dikirim ke Amerika Serikat untuk belajar Sekolah Lanjutan Perwira II (regular oficer’s advance course) di Fort Benning.
Pada November 1965, dia ditarik dari Balikpapan ke Jakarta. Kali ini ditunjuk sebagai Asisten II Menteri Panglima Angkatan Darat atau Menpangad (Sebelumnya disebut KSAD). Adapun Menpangad dijabat Soeharto. Dengan demikian, dia kini masuk lingkaran satu jenderal dari Kemusuk, Yogyakarta itu.
Masih sebagai Asisten II, pada Juni 1966 dia diminta rangkap jabatan sebagai Pangdam Brawijaya. Seiring waktu, kariernya terus meroket. Mantan Wakil Komandan Sub-Wehkreise di Malang saat zaman penjajahan Belanda itu juga kian lengket dengan Pak Harto.
Mitro mendapat tiga bintang emas di pundak (Letnan Jenderal) kala ditunjuk sebagai Kashankam. Soeharto langsung yang memintanya. Meski Mitro telah mengusulkan beberapa nama, namun penguasa Cendana itu tetap bersikukuh menunjuknya.
Setelah itu dia dipercaya sebagai Wakil Kepala Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Untuk diketahui, Kopkamtib dibentuk Soeharto pada 10 Oktober 1965. Mula-mula lembaga ini dibentuk untuk memulihkan situasi keamanan setelah kudeta yang gagal oleh PKI.
Karier militer Mitro mencapai puncak dengan menjadi jenderal penuh (bintang empat) pada 1970 saat dipercaya sebagai Pangkopkamtib. Itu artinya dia menggantikan ‘bos’-nya langsung selama ini, yaitu Soeharto.
Selama beberapa tahun, Soemitro dapat disebut tangan kanan penguasa Orde Baru itu. Namun peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) mengakhiri kariernya. Malari istilah untuk menggambarkan demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang berujung kerusuhan.
Aksi unjuk rasa meletus jelang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 14-17 Januari 1974. Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan memprotes kebijakan Soeharto yang dianggap sangat berpihak pada investasi asing.
Kerusuhan itu sungguh mengerikan. Setidaknya 11 orang tewas dan 137 orang terluka dalam aksi demo ini. Ratusan toko hancur dan lebih dari 600 mobil hangus dibakar. Mahasiswa berhadapan dengan tentara yang mengamankan Ibu Kota. Mahasiswa menepis mereka yang berbuat kerusuhan.
Soemitro menuding aksi demonstrasi itu didalangi Ali Moertopo, wakil kepala Bakin yang juga pemimpin Operasi Khusus (Opsus) bentukan Soeharto, di balik amuk massa yang menunggangi aksi mahasiswa. Ali, kata Soemitro, menggerakkan jaringan Opsus yang dipimpinnya.
“Soemitro merasa hendak disingkirkan, bersama Kepala Bakin Sutopo Juwono,” tulis Arif Zulkifli dalam ‘Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru’.
Di sisi lain, nama Soemitro juga dituding sebagai biang kerusuhan tersebut. Ini setelah beredar Dokumen Ramadi yang menyebut adanya jenderal ‘S’ yang bakal mendongkel kekuasaan Soeharto. Jenderal S dimaksud mengarah pada Soemitro.
Ramadi adalah ketua Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Belakangan dia diketahui bekas kolonel korps hukum dan dekat dengan Ali Moertopo.
Tak dimungkiri, tragedi Malari telah memunculkan catatan sejarah tentang rivalitas Soemitro dan Ali Moertopo, dua jenderal di ring 1 Soeharto. Ali, sang jenderal intelijen itu, jelas lebih dekat dengan Soeharto. Sejak Soeharto meraih kekuasaan pada pertengahan 1960-an, dia menyandarkan diri pada kelompok kecil penasihat dari AD.
Menurut David Jenkins, pada Agustus 1966 Soeharto membentuk Staf Pribadi (Spri) yang terdiri atas enam orang perwira tinggi AD dan dua tim sipil spesialis bidang ekonomi. Mereka secara luas dipandang sebagai ‘pemerintah bayangan’ yang punya kekuasaan lebih besar dibanding kabinet.
Koordinator Spri yakni Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara. Dua orang lainnya yakni Ali Moertopo dan Yoga Sugama. Meskipun Spri akhirnya dibubarkan pada 1968 karena kritik keras mahasiswa, lingkaran dalam Soeharto itu tak benar-benar hilang.
“Ali Moertopo diangkat jadi Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto. Opsus di bawah Ali terus menjalankan ‘operasi khusus’ atas nama presiden meskipun terdapat oposisi dari sejumlah perwira senior (terutama Soemitro),” kata Jenkins dalam ‘Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’ (hal 28).
Pada akhirnya, gara-gara peristiwa Malari, Soemitro mengundurkan diri dari jabatannya. Itu sekaligus mengakhiri karier militernya. Dia mengutarakan langsung pengunduran diri itu ke Soeharto di Istana, tak lama setelah PM Tanaka kembali ke Jepang.
“Pak saya minta maaf. Saya sudah berbuat apa yang bisa saya lakukan. Semua ini tanggung jawab saya. Karena itu, izinkan saya mengundurkan diri,” tutur Mitro.
“Sayang Saudara perempuan. Kalau lelaki sudah saya sobek mulutmu sekarang juga!” kata Mitro ditulis Ramadhan KH dalam buku ‘Jenderal Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib’ (hal 17), dikutip Kamis (11/5/2023).
Murka Soemitro belum reda. Meski perempuan itu akhirnya minta maaf, serdadu kelahiran Probolinggo, Jawa Timur itu kembali meluapkan emosinya. Kata-kata pedas disertai bentakan berhamburan. “Kali ini saya maafkan. Jangan terjadi untuk kedua kalinya,” ancam dia.
Baca Juga: Mengenal Soemitro, Jenderal TNI Bintang Empat Mantan Prajurit PETA Bentukan Jepang
Kemarahan Mitro bukan tanpa alasan. Malam sebelumnya dia merasa dipermalukan di depan publik. Itu bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, April 1965. Mitro kala itu berpangkat Brigjen dan menjabat Pangdam Mulawarman.
Peringatan Hari Kartini di Balikpapan kala itu diwarnai dengan resepsi dan berbagai pertunjukan. Dalam perayaan itu muncul perempuan yang membacakan sajak. Anehnya, dia mengucapkan kata-kata yang tidak disukai Mitro.
“Ada jenderal kanan yang tidak mengerti revolusi,” kata perempuan itu.
Kontan darah Mitro mendidih. Tentara yang memulai karier sebagai prajurit Pembela Tanah Air (Peta) itu mencium aroma Partai Komunis Indonesia (PKI) dari ucapan aktivis tersebut. Dan, ‘jenderal kanan’ yang terlontar dari mulut perempuan itu seperti ditujukan kepadanya.
PKI memang tak senang dengan kehadirannya sebagai Pangdam Mulawarman. Belakangan terungkap, perempuan yang membaca sajak itu ternyata anggota Gerwani (organisasi perempuan sayap PKI).
Membersihkan PKI di Kaltim
Soemitro sedang santai bersama keluarga di Bandung ketika ditelepon untuk menghadap Menpangad Jenderal Ahmad Yani. Saat itu Februari 1965, beberapa bulan sebelum peristiwa G30 S/PKI. Oleh Yani, Mitro diperintah untuk menjadi Pangdam Mulawarman menggantikan Haryo Kecik.
Hari-hari pertama di Balikpapan tidak mudah bagi Mitro. Ada saja omongan buruk tentang dirinya, terutama dari kalangan PKI. Seorang ketua partai komunis di kota itu menyebutnya jenderal kanan yang tak tahu revolusi.
Ucapan itulah yang kemudian diulang lagi oleh perempuan pembaca sajak di Hari Kartini, beberapa pekan setelahnya. Mendengar sebutan itu, Mitro merasa terhina. Ketua PKI Balikpapan itu pun dipanggilnya.
“Jangan dikira saya tidak mendengar ucapanmu ya. Kalau sekali lagi kamu mengucapkan begitu, kamu tahu akibatnya. Saya jebloskan kamu ke bui,” hardik jenderal yang pernah mencecap pendidikan Fuhrung’s Akademider Bundeswehr atau setingkat Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI di Hamburg, Jerman Barat itu.
Sayangnya, hinaan terhadap Mitro belum berhenti. Pada 1 Mei saat Hari Buruh, berlangsung rapat raksasa di Balikpapan. Massa berkumpul. Ketika ketua Sobsi (organisasi buruh sayap PKI) berpidato, lagi-lagi telinga Mitro merah dibuatnya.
Ketua Sobsi yang bicara berapi-api itu mengulangi kalimat yang membuat Mitro murka. Disebutnya, “Jenderal kanan. Jenderal kanan enggak mengerti revolusi.”
Amarahnya kembali meledak. Usai acara Hari Buruh itu, Mitro mengumpulkan semua perwiranya. Hari itu juga mereka diperintahkan menangkap semua pengurus PKI dan underbow-nya mulai Gerwani, Sobsi, Perbum, hingga Pemuda Rakyat. Tak hanya pengurus di provinsi, tetapi hingga kabupaten. Wilayah pelabuhan dan bandara ditutup saat pembersihan orang-orang PKI itu.
Kepercayaan Soeharto
Pada 1953 Soemitro diangkat menjadi Kepala Staf Resimen XVII, TT V/Brawijaya. Tahun berikutnya dia naik pangkat menjadi mayor. Jabatan baru kembali dipercayakan padanya yakni sebagai Pejabat sementara Komandan Resimen 18.
Karier Mitro terus menanjak. Anak dari pasangan Sastrodiharjo-Meilaeni itu ditugasi sebagai Komandan Sektor Operasi Brawijaya pada 1956 dan dikirim ke Kabupaten Luwu serta Toraja, Sulawesi Selatan. Dua tahun setelahnya, Mitro dikirim ke Amerika Serikat untuk belajar Sekolah Lanjutan Perwira II (regular oficer’s advance course) di Fort Benning.
Pada November 1965, dia ditarik dari Balikpapan ke Jakarta. Kali ini ditunjuk sebagai Asisten II Menteri Panglima Angkatan Darat atau Menpangad (Sebelumnya disebut KSAD). Adapun Menpangad dijabat Soeharto. Dengan demikian, dia kini masuk lingkaran satu jenderal dari Kemusuk, Yogyakarta itu.
Masih sebagai Asisten II, pada Juni 1966 dia diminta rangkap jabatan sebagai Pangdam Brawijaya. Seiring waktu, kariernya terus meroket. Mantan Wakil Komandan Sub-Wehkreise di Malang saat zaman penjajahan Belanda itu juga kian lengket dengan Pak Harto.
Mitro mendapat tiga bintang emas di pundak (Letnan Jenderal) kala ditunjuk sebagai Kashankam. Soeharto langsung yang memintanya. Meski Mitro telah mengusulkan beberapa nama, namun penguasa Cendana itu tetap bersikukuh menunjuknya.
Setelah itu dia dipercaya sebagai Wakil Kepala Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Untuk diketahui, Kopkamtib dibentuk Soeharto pada 10 Oktober 1965. Mula-mula lembaga ini dibentuk untuk memulihkan situasi keamanan setelah kudeta yang gagal oleh PKI.
Karier militer Mitro mencapai puncak dengan menjadi jenderal penuh (bintang empat) pada 1970 saat dipercaya sebagai Pangkopkamtib. Itu artinya dia menggantikan ‘bos’-nya langsung selama ini, yaitu Soeharto.
Peristiwa Malari
Selama beberapa tahun, Soemitro dapat disebut tangan kanan penguasa Orde Baru itu. Namun peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) mengakhiri kariernya. Malari istilah untuk menggambarkan demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang berujung kerusuhan.
Aksi unjuk rasa meletus jelang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 14-17 Januari 1974. Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan memprotes kebijakan Soeharto yang dianggap sangat berpihak pada investasi asing.
Kerusuhan itu sungguh mengerikan. Setidaknya 11 orang tewas dan 137 orang terluka dalam aksi demo ini. Ratusan toko hancur dan lebih dari 600 mobil hangus dibakar. Mahasiswa berhadapan dengan tentara yang mengamankan Ibu Kota. Mahasiswa menepis mereka yang berbuat kerusuhan.
Soemitro menuding aksi demonstrasi itu didalangi Ali Moertopo, wakil kepala Bakin yang juga pemimpin Operasi Khusus (Opsus) bentukan Soeharto, di balik amuk massa yang menunggangi aksi mahasiswa. Ali, kata Soemitro, menggerakkan jaringan Opsus yang dipimpinnya.
Baca Juga
“Soemitro merasa hendak disingkirkan, bersama Kepala Bakin Sutopo Juwono,” tulis Arif Zulkifli dalam ‘Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru’.
Di sisi lain, nama Soemitro juga dituding sebagai biang kerusuhan tersebut. Ini setelah beredar Dokumen Ramadi yang menyebut adanya jenderal ‘S’ yang bakal mendongkel kekuasaan Soeharto. Jenderal S dimaksud mengarah pada Soemitro.
Ramadi adalah ketua Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Belakangan dia diketahui bekas kolonel korps hukum dan dekat dengan Ali Moertopo.
Tak dimungkiri, tragedi Malari telah memunculkan catatan sejarah tentang rivalitas Soemitro dan Ali Moertopo, dua jenderal di ring 1 Soeharto. Ali, sang jenderal intelijen itu, jelas lebih dekat dengan Soeharto. Sejak Soeharto meraih kekuasaan pada pertengahan 1960-an, dia menyandarkan diri pada kelompok kecil penasihat dari AD.
Menurut David Jenkins, pada Agustus 1966 Soeharto membentuk Staf Pribadi (Spri) yang terdiri atas enam orang perwira tinggi AD dan dua tim sipil spesialis bidang ekonomi. Mereka secara luas dipandang sebagai ‘pemerintah bayangan’ yang punya kekuasaan lebih besar dibanding kabinet.
Koordinator Spri yakni Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara. Dua orang lainnya yakni Ali Moertopo dan Yoga Sugama. Meskipun Spri akhirnya dibubarkan pada 1968 karena kritik keras mahasiswa, lingkaran dalam Soeharto itu tak benar-benar hilang.
“Ali Moertopo diangkat jadi Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto. Opsus di bawah Ali terus menjalankan ‘operasi khusus’ atas nama presiden meskipun terdapat oposisi dari sejumlah perwira senior (terutama Soemitro),” kata Jenkins dalam ‘Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983’ (hal 28).
Pada akhirnya, gara-gara peristiwa Malari, Soemitro mengundurkan diri dari jabatannya. Itu sekaligus mengakhiri karier militernya. Dia mengutarakan langsung pengunduran diri itu ke Soeharto di Istana, tak lama setelah PM Tanaka kembali ke Jepang.
“Pak saya minta maaf. Saya sudah berbuat apa yang bisa saya lakukan. Semua ini tanggung jawab saya. Karena itu, izinkan saya mengundurkan diri,” tutur Mitro.
(rca)