Pemberantasan Kejahatan Perikanan
loading...
A
A
A
Kedelapan, pemberantasan kejahatan perikanan sepanjang 2014-2019 meredam intensitas konflik antar nelayan. Terutama nelayan pengguna alat tangkap merusak dengan pengguna alat tangkap ramah lingkungan. Indonesia melarang kejahatan perikanan di wilayah yurisdiksinya merupakan kewajibannya negara pantai selaras dengan Fisheries Management Organizations (RFMOs). Semua fakta ini membuktikan pemberantasan kejahatan perikanan memperbaiki tata kelola perikanan, sumber dayanya, kinerja ekonomi dan kehidupan nelayan.
Kesembilan, berdampak bagi negara pencuri ikan di Indonesia. Bank Dunia mencatat akibat kebijakan ketat pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia, kontribusi perikanan Thailand terhadap PDB-nya merosot hingga minus 13.3% di tahun 2014 dan minus 2,3% di tahun 2015 (Karim 2020). Di samping itu, ekspor ikan tuna Thailand ke Amerika Serikat sepanjang Januari-September 2015 merosot 17,36% sedangkan Filipina 32,59% ketimbang periode yang sama 2014. Sebaliknya, ekspor Indonesia melonjak 7,73% selama periode itu 2015 dibandingkan 2014 (US-Comtrade, 2015).
Melanjutkan
Kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia sepanjang 2014-2019 memang belum sepenuhnya berjalan optimal. Masih ada resistensi dari nelayan pengguna cantrang. Meski pelbagai daerah mendukungnya, seperti Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. Kini kebijakan itu berubah. Otomatis bakal memicu kegaduhan baru. Pasca keluarnya Permen KP Nomor 12/2020, Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), gerakan masyarakat sipil dan intelektual, bereaksi keras serta menolaknya. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dibalik kebijakan ini?
Sebelum kebijakan pemberantasan IUUF berlaku ketat 2014, Indonesia jadi surga pelaku kejahatan perikanan. Beberapa fakta, (i) ditemukannya neraca perdagangan Tuna Albacore ke Thailand tahun 2010 punya selisih fantastis 271.419 kg (52%) senilai USD1.070.630 yang tak tercatat di Indonesia (Santosa, 2019); (ii) perdagangan produk seafood ilegal ke Amerika Serikat sebesar USD319,56 juta (Ganapathiraju, et al, 2011); dan temuan IUUF jenis ikan karang, tuna, ikan teri, hiu, teripang dan lobster di Raja Ampat tahun 2006 melebihi tangkapan yang dilaporkan hingga 40 ribu ton senilai USD40 juta (Varkey et al, 2010). Berbagai fakta inilah pemerintah sejak tahun 2014 memasifkan pemberantasan kejahatan perikanan. Mengapa? Dampak merugikan negara akibat kehilangan PNBP, dan pajak juga rumah tangga nelayan (RTN) menurun drastis selama satu dekade dari 1,6 juta (2003) menjadi 868.414 (2013). Mereka semakin terpinggirkan mengakses sumber daya ikan.
Kejahatan perikanan masuk kategori ocean grabbing yaitu perampasan ruang dan sumber dayanya lewat perubahan rezim “alokasikan”. Perubahan itu diantaranya: (i) memberi izin dan akses kapal asing di Indonesia hingga mengurangi aktivitas nelayan lokal menangkap ikan; (ii) Kebijakan alokasi kuota, dan pengurangan zona perikanan skala kecil; serta (iii) Aktivitas IUUF yang mendegradasi stok sumber daya ikan (Bennet et al, 2015). Merujuk beragam fakta di atas, kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan yang telah diatur mesti dilanjutkan. Pasalnya ia tak hanya merugikan negara, melainkan kapalnya juga digunakan menyelundupkan obat terlarang, perbudakan, perdagangan senjata dan penyaluran imigran gelap berkedok menangkap ikan sehingga melanggar HAM (UNDOC, 2011). Menyangkut HAM, Indonesia telah mengaturnya lewat Permen KP Nomor 35/2015 tentang sistem dan sertifikasi HAM usaha perikanan. Kini pemerintah sebaiknya mengurungkan niatnya mereduksi kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan. Supaya ruang dan sumber daya perikanan kita tak dijarah pemilik modal dan negara lain. Imbasnya, kita berdaulat atas laut dan sumber dayanya, serta tak menambah kemiskinan dan kesenjangan baru di wilayah pesisir apalagi selama wabah Covid-19 ini. Semoga!
Kesembilan, berdampak bagi negara pencuri ikan di Indonesia. Bank Dunia mencatat akibat kebijakan ketat pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia, kontribusi perikanan Thailand terhadap PDB-nya merosot hingga minus 13.3% di tahun 2014 dan minus 2,3% di tahun 2015 (Karim 2020). Di samping itu, ekspor ikan tuna Thailand ke Amerika Serikat sepanjang Januari-September 2015 merosot 17,36% sedangkan Filipina 32,59% ketimbang periode yang sama 2014. Sebaliknya, ekspor Indonesia melonjak 7,73% selama periode itu 2015 dibandingkan 2014 (US-Comtrade, 2015).
Melanjutkan
Kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan di Indonesia sepanjang 2014-2019 memang belum sepenuhnya berjalan optimal. Masih ada resistensi dari nelayan pengguna cantrang. Meski pelbagai daerah mendukungnya, seperti Sumatera Utara dan Kepulauan Riau. Kini kebijakan itu berubah. Otomatis bakal memicu kegaduhan baru. Pasca keluarnya Permen KP Nomor 12/2020, Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), gerakan masyarakat sipil dan intelektual, bereaksi keras serta menolaknya. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dibalik kebijakan ini?
Sebelum kebijakan pemberantasan IUUF berlaku ketat 2014, Indonesia jadi surga pelaku kejahatan perikanan. Beberapa fakta, (i) ditemukannya neraca perdagangan Tuna Albacore ke Thailand tahun 2010 punya selisih fantastis 271.419 kg (52%) senilai USD1.070.630 yang tak tercatat di Indonesia (Santosa, 2019); (ii) perdagangan produk seafood ilegal ke Amerika Serikat sebesar USD319,56 juta (Ganapathiraju, et al, 2011); dan temuan IUUF jenis ikan karang, tuna, ikan teri, hiu, teripang dan lobster di Raja Ampat tahun 2006 melebihi tangkapan yang dilaporkan hingga 40 ribu ton senilai USD40 juta (Varkey et al, 2010). Berbagai fakta inilah pemerintah sejak tahun 2014 memasifkan pemberantasan kejahatan perikanan. Mengapa? Dampak merugikan negara akibat kehilangan PNBP, dan pajak juga rumah tangga nelayan (RTN) menurun drastis selama satu dekade dari 1,6 juta (2003) menjadi 868.414 (2013). Mereka semakin terpinggirkan mengakses sumber daya ikan.
Kejahatan perikanan masuk kategori ocean grabbing yaitu perampasan ruang dan sumber dayanya lewat perubahan rezim “alokasikan”. Perubahan itu diantaranya: (i) memberi izin dan akses kapal asing di Indonesia hingga mengurangi aktivitas nelayan lokal menangkap ikan; (ii) Kebijakan alokasi kuota, dan pengurangan zona perikanan skala kecil; serta (iii) Aktivitas IUUF yang mendegradasi stok sumber daya ikan (Bennet et al, 2015). Merujuk beragam fakta di atas, kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan yang telah diatur mesti dilanjutkan. Pasalnya ia tak hanya merugikan negara, melainkan kapalnya juga digunakan menyelundupkan obat terlarang, perbudakan, perdagangan senjata dan penyaluran imigran gelap berkedok menangkap ikan sehingga melanggar HAM (UNDOC, 2011). Menyangkut HAM, Indonesia telah mengaturnya lewat Permen KP Nomor 35/2015 tentang sistem dan sertifikasi HAM usaha perikanan. Kini pemerintah sebaiknya mengurungkan niatnya mereduksi kebijakan pemberantasan kejahatan perikanan. Supaya ruang dan sumber daya perikanan kita tak dijarah pemilik modal dan negara lain. Imbasnya, kita berdaulat atas laut dan sumber dayanya, serta tak menambah kemiskinan dan kesenjangan baru di wilayah pesisir apalagi selama wabah Covid-19 ini. Semoga!
(ras)