Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis
loading...
A
A
A
Sudah bisa diperkirakan bahwa begitu Pemilu harus ditunda, ragam permasalahan pada aspek ketatanegaraan segera mengemuka. Paling utama misalnya, belum tentu semua elemen masyarakat dapat menerima keputusan penundaan Pemilu. Mengelola persoalan seperti ini jelas tidak mudah. Penolakan seperti itu praktis menjadi benih krisis politik.
Kemudian, Pemilu yang tertunda berkonsekuensi pada potensi kekosongan pemerintahan jika diasumsikan pemerintah hasil Pemilu sebelumnya sudah demisioner. Sambil menunggu hasil Pemilu untuk mendapatkan pemerintahan baru yang legitimate, haruskah Republik Indonesia dibiarkan begitu tanpa administrasi pemerintahan yang memerintah? Krisis politik menjadi kenyataan tak terhindarkan oleh karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan Pemilu.
Belajar dari catatan sejarah tentang krisis politik 1966/1967 dan krisis politik 1998, menjadi relevan ketika Prof Yusril menyuarakan aspirasi tentang urgensi penguatan atau pemulihan tugas dan fungsi MPR. Aspirasi yang sama sudah berulangkali disuarakan unsur pimpinan MPR RI. Aspirasi ini tentu saja tidak semata-mata tentang pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara, melainkan dilandasi keniscayaan negara-bangsa berkemampuan mengelola dan mengatasi krisis politik dengan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.
Untuk tujuan itu, kedudukan, fungsi dan tugas MPR patut diperkuat kembali tanpa harus mengubah UUD 1945. Penguatan itu bisa diwujudkan dengan kesediaan semua elemen bangsa untuk kembali pada hirarki perundang-undangan, agar negara-bangsa mampu mengantisipasi, mengelola dan mengatasi aneka krisis demi tegaknya eksistensi NKRI.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 2023. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Kemudian, Pemilu yang tertunda berkonsekuensi pada potensi kekosongan pemerintahan jika diasumsikan pemerintah hasil Pemilu sebelumnya sudah demisioner. Sambil menunggu hasil Pemilu untuk mendapatkan pemerintahan baru yang legitimate, haruskah Republik Indonesia dibiarkan begitu tanpa administrasi pemerintahan yang memerintah? Krisis politik menjadi kenyataan tak terhindarkan oleh karena tidak adanya ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundang-undangan yang mengatur tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan kekosongan pemerintahan akibat penundaan Pemilu.
Belajar dari catatan sejarah tentang krisis politik 1966/1967 dan krisis politik 1998, menjadi relevan ketika Prof Yusril menyuarakan aspirasi tentang urgensi penguatan atau pemulihan tugas dan fungsi MPR. Aspirasi yang sama sudah berulangkali disuarakan unsur pimpinan MPR RI. Aspirasi ini tentu saja tidak semata-mata tentang pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara, melainkan dilandasi keniscayaan negara-bangsa berkemampuan mengelola dan mengatasi krisis politik dengan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif.
Untuk tujuan itu, kedudukan, fungsi dan tugas MPR patut diperkuat kembali tanpa harus mengubah UUD 1945. Penguatan itu bisa diwujudkan dengan kesediaan semua elemen bangsa untuk kembali pada hirarki perundang-undangan, agar negara-bangsa mampu mengantisipasi, mengelola dan mengatasi aneka krisis demi tegaknya eksistensi NKRI.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 2023. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.
(muh)