Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis

Kamis, 20 April 2023 - 11:33 WIB
loading...
Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis
Foto/dok.SINDOnews
A A A
Bambang Soesatyo

Ketua MPR RI
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD
Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA).

NEGARA bangsa harus mampu mengantisipasi, mengelola dan mengatasi aneka krisis demi tegaknya eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hanya dengan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif dan komprehensif, Indonesia akan dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik.

Selain berfungsi merespons, mengelola dan mengatasi ragam krisis, sistem hukum ketatanegaraan yang solutif dan efektif hendaknya juga dipahami sebagai instrumen yang sangat dibutuhkan, bahkan keniscayaan, untuk menjaga dan merawat aspek ketahanan nasional, serta aspek persatuan dan kesatuan negara-bangsa. Sistem Hukum ketatanegaraan tentu saja harus berlandaskan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila. Dan, berpijak pada kodrat kebhinekaan bangsa, sistem hukum ketatanegaraan Indonesia hendaknya selalu dijiwai oleh akar budaya serta kearifan lokal yang menjadi sistem nilai semua komunitas anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote.

Apa pun masalah atau krisis yang dihadapi negara-bangsa, termasuk krisis politik sekali pun, segala aspeknya harus dihadapkan pada sistem hukum ketatanegaraan. Strategi merespons krisis, mengelola dan mengatasi rangkaian masalah yang muncul akibat krisis, hingga kebijakan-kebijakan penyelesaiannya, harus tetap berpijak pada sistem hukum ketatanegaraan.

Setiap individu warga negara tentu saja memiliki hak untuk bereaksi dan bersikap menanggapi dampak atau ekses krisis. Namun, berpijak pada hukum ketatanegaraan itu pula, amuk krisis pada skala sebesar apa pun tidak pernah boleh menoleransi sikap dan tindakan-tindakan inskonstitusional yang berpotensi mengganggu ketahanan nasional atau mengarah pada upaya merusak persatuan dan kesatuan negara bangsa.

Dalam konteks ini, pernyataan atau catatan pakar hukum tata negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra patut digarisbawahi untuk direnungkan oleh segenap elemen bangsa. Patut pula disyukuri karena potensi masalah yang ditunjukkan Prof Yusril dikedepankan ke ruang publik ketika negara bersama segenap elemen bangsa sedang melakoni aneka perubahan.



Memang benar bahwa perubahan zaman menghadirkan banyak manfaat bagi kehidupan bernegara-berbangsa. Namun, perubahan itu nyata-nyata pula telah menghadirkan potensi masalah. Semua potensi masalah itu wajib diwaspadai untuk kemudian disikapi.

Prof Yusril mengajak semua pihak untuk mengenang kembali krisis politik tahun 1966/1967 dan krisis politik tahun 1998. Krisis politik 1966/1967 terjadi akibat pergolakan berdarah yang dikenang sebagai peristiwa G-30-S/PKI. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menilai Presiden Sukarno gagal memberi pertanggungjawaban. Pada Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno, untuk kemudian menetapkan Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1165 seconds (0.1#10.140)