Koalisi Besar Disebut Strategi Kepung PDIP, Langkah Megawati Dinilai Brilian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dinamika politik nasional menjelang Pemilu 2024 masih cair. Terakhir, muncul wacana koalisi besar yang berisi partai politik (parpol) pendukung pemerintah. Apa maksud di balik wacana pembentukan koalisi tersebut?
Pengamat politik Ahmad Khoirul Umam menilai langkah koalisi besar adalah strategi politik untuk mengepung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) agar bersedia menyerahkan golden ticket-nya. Seperti diketahui, PDIP satu-satunya parpol yang bisa mengusung calon presiden sendiri.
“Namun PDIP tampaknya tidak ingin mudah teperdaya oleh agenda kepentingan Koalisi Besar tersebut. PDIP membatasi ruang negosiasinya dengan menegaskan bahwa mereka siap bergabung asal posisi capres diserahkan kepada PDIP,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis (6/4/2023).
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) ini menilai sikap Megawati dan PDIP untuk tidak hadir dalam pertemuan yang menggagas Koalisi Besar merupakan keputusan brilian. Meskipun Ketum PAN mengatakan PDIP diundang, tapi jelas tidak satu pun perwakilan pengurus PDIP hadir.
“Ketiadaan perwakilan PDIP kemarin itu pastilah atas perintah atau sepengetahuan Megawati. Artinya, ketika ide Koalisi Besar diluncurkan, maka jelas dan terang bahwa PDIP bukan bagian dari gerbong Koalisi Besar tersebut,” tegas dosen Universitas Paramadina tersebut.
Khoirul Umam menerangkan dengan pengalaman matang Megawati di belantika politik nasional, PDIP tampaknya mencium aroma partainya sedang “dibujuk” atau “didikte” untuk menyerahkan tiketnya kepada pencapresan Prabowo yang hendak diusung oleh mesin Koalisi Besar. Belakangan, Jokowi memang terlihat sering berkunjung ke berbagai daerah bersama Prabowo.
“PDIP tampaknya juga paham bahwa gerbong Koalisi Besar tengah mengepung dirinya agar bersedia “berpuas diri” menempati posisi nomor sebagai posisi Cawapres. Karena itu, bagi PDIP, proposal pencapresan Prabowo yang diajukan Koalisi Besar itu bisa diartikan sebagai penghinaan. Karena PDIP memiliki elektabilitas partai yang lebih tinggi, punya Capres potensial yang elektabilitasnya juga lebih tinggi, dan bahkan punya Golden Ticket yang bisa mengusung calon sendiri,” paparnya.
Jika PDIP tersinggung, Umam mengibaratkan lebih baik tiketnya disobek daripada dipakai orang lain. “Karena itu, sikap Megawati dan PDIP untuk tidak menyerahkan golden ticket-nya dan mempertegas ruang negosiasi dengan mengkavling posisi Capres, merupakan langkah cerdas dan bijak untuk menyelamatkan marwah partainya,” terangnya.
Menurutnya, sikap diam PDIP kali ini mencerminkan keteguhan sikapnya. Ini menunjukkan PDIP yang tidak mudah tergiur untuk ramai-ramai ikut berhelatan pilpres bersama partai-partai yang hendak mendompleng kekuatan mesin politiknya. Lagi pula PDIP juga punya jagoan sendiri yang tetap punya kans untuk memenangkan Pilpres. Sikap PDIP ini menunjukkan kematangannya dalam berpolitik, yang siap dengan segala konsekuensi, baik menang maupun kalah dalam kontenstasi.
“PDIP tidak seperti partai-partai lain yang lemah dan tidak kuat berpuasa dari kekuasaan. PDIP memiliki cara pandang politik ideologis dan harga diri yang tinggi dalam berdemokrasi. Hal itu dibuktikan, dimana PDIP pernah berpengalaman 10 tahun menjalankan peran opisisi, dan juga ‘akan pernah’13 tahun berada di pemerintahan sebagai partai penyokong utama,” ucapnya.
Khoirul Umam memprediksi menguatnya strategi politik untuk mengepung PDIP ini memunculkan reaksi atas positioning Jokowi di mata internal PDIP. Dia menyebut Jokowi dianggap seperti “kacang lupa kulitnya”. Jokowi dinilai seolah tidak paham darimana dia berasal.
“Bagi PDIP, Jokowi lebih sibuk memikirkan partai lain dari pada partainya sendiri. Itulah mengapa ketika di forum Rakernas Harlah ke-50 PDIP pada 10 Januari 2023 lalu, Ketum PDIP Megawati kembali mengungkit posisi Jokowi sebagai ‘Petugas Partai’, untuk sekadar menegaskan agar Jokowi tidak lupa kedudukannya di hadapan PDIP sendiri,” pungkasnya.
Pengamat politik Ahmad Khoirul Umam menilai langkah koalisi besar adalah strategi politik untuk mengepung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) agar bersedia menyerahkan golden ticket-nya. Seperti diketahui, PDIP satu-satunya parpol yang bisa mengusung calon presiden sendiri.
“Namun PDIP tampaknya tidak ingin mudah teperdaya oleh agenda kepentingan Koalisi Besar tersebut. PDIP membatasi ruang negosiasinya dengan menegaskan bahwa mereka siap bergabung asal posisi capres diserahkan kepada PDIP,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis (6/4/2023).
Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) ini menilai sikap Megawati dan PDIP untuk tidak hadir dalam pertemuan yang menggagas Koalisi Besar merupakan keputusan brilian. Meskipun Ketum PAN mengatakan PDIP diundang, tapi jelas tidak satu pun perwakilan pengurus PDIP hadir.
“Ketiadaan perwakilan PDIP kemarin itu pastilah atas perintah atau sepengetahuan Megawati. Artinya, ketika ide Koalisi Besar diluncurkan, maka jelas dan terang bahwa PDIP bukan bagian dari gerbong Koalisi Besar tersebut,” tegas dosen Universitas Paramadina tersebut.
Khoirul Umam menerangkan dengan pengalaman matang Megawati di belantika politik nasional, PDIP tampaknya mencium aroma partainya sedang “dibujuk” atau “didikte” untuk menyerahkan tiketnya kepada pencapresan Prabowo yang hendak diusung oleh mesin Koalisi Besar. Belakangan, Jokowi memang terlihat sering berkunjung ke berbagai daerah bersama Prabowo.
“PDIP tampaknya juga paham bahwa gerbong Koalisi Besar tengah mengepung dirinya agar bersedia “berpuas diri” menempati posisi nomor sebagai posisi Cawapres. Karena itu, bagi PDIP, proposal pencapresan Prabowo yang diajukan Koalisi Besar itu bisa diartikan sebagai penghinaan. Karena PDIP memiliki elektabilitas partai yang lebih tinggi, punya Capres potensial yang elektabilitasnya juga lebih tinggi, dan bahkan punya Golden Ticket yang bisa mengusung calon sendiri,” paparnya.
Jika PDIP tersinggung, Umam mengibaratkan lebih baik tiketnya disobek daripada dipakai orang lain. “Karena itu, sikap Megawati dan PDIP untuk tidak menyerahkan golden ticket-nya dan mempertegas ruang negosiasi dengan mengkavling posisi Capres, merupakan langkah cerdas dan bijak untuk menyelamatkan marwah partainya,” terangnya.
Menurutnya, sikap diam PDIP kali ini mencerminkan keteguhan sikapnya. Ini menunjukkan PDIP yang tidak mudah tergiur untuk ramai-ramai ikut berhelatan pilpres bersama partai-partai yang hendak mendompleng kekuatan mesin politiknya. Lagi pula PDIP juga punya jagoan sendiri yang tetap punya kans untuk memenangkan Pilpres. Sikap PDIP ini menunjukkan kematangannya dalam berpolitik, yang siap dengan segala konsekuensi, baik menang maupun kalah dalam kontenstasi.
“PDIP tidak seperti partai-partai lain yang lemah dan tidak kuat berpuasa dari kekuasaan. PDIP memiliki cara pandang politik ideologis dan harga diri yang tinggi dalam berdemokrasi. Hal itu dibuktikan, dimana PDIP pernah berpengalaman 10 tahun menjalankan peran opisisi, dan juga ‘akan pernah’13 tahun berada di pemerintahan sebagai partai penyokong utama,” ucapnya.
Khoirul Umam memprediksi menguatnya strategi politik untuk mengepung PDIP ini memunculkan reaksi atas positioning Jokowi di mata internal PDIP. Dia menyebut Jokowi dianggap seperti “kacang lupa kulitnya”. Jokowi dinilai seolah tidak paham darimana dia berasal.
“Bagi PDIP, Jokowi lebih sibuk memikirkan partai lain dari pada partainya sendiri. Itulah mengapa ketika di forum Rakernas Harlah ke-50 PDIP pada 10 Januari 2023 lalu, Ketum PDIP Megawati kembali mengungkit posisi Jokowi sebagai ‘Petugas Partai’, untuk sekadar menegaskan agar Jokowi tidak lupa kedudukannya di hadapan PDIP sendiri,” pungkasnya.
(muh)