Polemik Rencana Impor 2 Juta Ton Beras

Selasa, 04 April 2023 - 13:02 WIB
loading...
A A A
Menurut BPS, Februari 2023 sudah mulai ada surplus beras. Produksi pada bulan itu apabila dikurangi kebutuhan konsumsi sekitar 2,53 juta ton beras ada surplus 0,32 juta ton. Lalu, Maret diproyeksikan ada surplus 2,84 juta ton, dan April ada surplus 1,26 juta ton beras.

Surplus pada Februari 2023 itu tergolong masih kecil. Surplus yang kecil ini jadi rebutan pelaku usaha, apakah penggilingan padi atau pedagang beras, untuk memastikan pengisian pipa (pipiline) distribusi mereka yang kering kerontang sejak musim paceklik Oktober tahun lalu. Karena pasar jauh dari jenuh, perebutan gabah/beras oleh pelaku pasar tidak terelakkan.

Panen di satu wilayah akan diperebutkan, termasuk oleh pembeli dari luar wilayah, hingga terjadi fenomena “gabah wisata”. Selain itu, dari panen hingga beras masuk ke pasar konsumen setidaknya memerlukan waktu 3-4 minggu. Ini semua jadi penjelas yang benderang bahwa pasar beras memanas karena suplai (masih) terbatas.

Dalam kondisi demikian adalah sesuatu yang logis apabila kemudian Bulog tidak mampu memperbesar penyerapan gabah/beras produksi petani domestik. Tahun 2023 ini Badan Pangan Nasional menugaskan Bulog menyerap beras domestik 2,4 juta ton, 70% di antaranya dilakukan kala panen raya Februari-Mei.

Sebanyak 1,2 juta ton dari 2,4 juta ton beras diharapkan jadi stok akhir 2023. Menimbang kondisi saat ini, target itu mustahil digapai. Per 30 Maret 2023, penyerapan Bulog baru 69.499 ton. Karena Mei produksi diperkirakan hanya 2,11 juta ton beras, peluang penyerapan hanya tersisa di April 2023.

Pada 27 Maret 2023, cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog hanya 227 ribu ton. Jumlah ini amat kecil. Sementara mulai Maret hingga Mei 2023 nanti Bulog harus menyalurkan bantuan sosial (bansos) beras untuk 21,35 juta keluarga kurang mampu. Masing-masing keluarga mendapatkan beras 10 kg. Artinya, perlu 630.000 ton beras.

Apabila mengandalkan pengadaan dari dalam negeri mustahil beras sebesar itu bisa disediakan lewat mekanisme pembelian yang ada. Meskipun Badan Pangan Nasional telah menaikkan HPP gabah kering panen (GKP) di petani jadi Rp5.000/kg dan beras di gudang Bulog Rp9.950/kg, tetapi langkah ini belum mampu menolong penyerapan.

Badan Pangan Nasional dan Kemenko Perekonomian juga telah mengumpulkan puluhan penggilingan besar dan menengah untuk membantu penyerapan beras Bulog. Tapi komitmen yang mampu diikat tidak besar, hanya 60 ribu ton. Cara-cara ini selain tak banyak membantu, boleh jadi juga tidak ramah pasar. Pemerintah mesti membuang jauh cara-cara tak ramah pasar. Cara lain, bisa saja Bulog menyerap lewat mekanisme komersial. Jika ini ditempuh, boleh jadi CBP akan membaik jumlahnya. Tapi langkah ini akan mendorong Bulog agresif masuk ke pasar dan berkompetisi dengan pelaku usaha lain untuk memperebutkan gabah/beras yang tipis. Langkah itu tak tepat dan menyalahi khittah keberadaan Bulog. Cara ini akan membuat harga tertarik ke atas alias kian tinggi.

Masalahnya, kalau jumlah CBP terbatas, pemerintah tak lagi memiliki instrumen intervensi yang bisa digerakan setiap saat untuk mengoreksi kegagalan pasar. Penguasa dominan di pasar amat mungkin mendikte harga pasar. Ini tentu harus dicegah. Dalam konteks ini, impor bisa dipahami. Sebetulnya, biang masalah munculnya impor ini adalah penugasan bansos beras. Selain mendadak, pembagian bansos saat panen raya adalah hal aneh. Yang lazim, bansos diberikan saat paceklik atau tatkala harga beras (amat) tinggi. Jika tak ada penugasan bansos, impor saat ini tak ada urgensinya. Nasi sudah jadi bubur. Yang harus dipastikan: jumlah impor harus terukur dan kedatangannya tepat waktu.
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1566 seconds (0.1#10.140)