Polemik Rencana Impor 2 Juta Ton Beras

Selasa, 04 April 2023 - 13:02 WIB
loading...
Polemik Rencana Impor...
Khudori (Foto: Ist)
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

POLEMIK
mengiringi keputusan pemerintah yang menugaskan Bulog untuk mengimpor beras sebesar 2 juta ton hingga akhir 2023. Dari jumlah itu, 500.000 ton beras di antaranya harus diimpor secepatnya.

Seperti kebijakan sebelumnya, beleid impor selalu memancing pro-kontra. Impor adalah wilayah sensitif. Karena itu, keputusan impor seringkali menjadi pelik dan rumit. Itu terjadi terutama pada komoditas yang kental muatan politik seperti beras.

Seperti umumnya di negara-negara Asia, di Indonesia beras adalah komoditas pemicu inflasi. Inflasi yang tinggi membuat kesejahteraan warga tergerus. Inflasi tinggi membuat jumlah kemiskinan bertambah dan sektor riil tertekan.

Baca Juga: koran-sindo.com

Bagi yang kontra, impor beras dinilai sebagai pengkhianatan pada petani. Selama ini petani didorong berproduksi tinggi dengan disuntik subsidi pupuk, dan bantuan alat dan mesin pertanian. Saat produksi surplus kok impor. Seperti perkiraan BPS, produksi beras Januari-April 2023 surplus sebesar 3,22 juta ton. Tahun 2022 lalu ada surplus 1,34 juta ton beras. Surplus kok impor? Jika Bulog terkendala menyerap gabah/beras petani domestik karena harga di pasar tinggi dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP), mengapa ini tak dicarikan jalan keluar. Impor bahkan dinilai cara mudah untuk menangguk cuan.

Impor juga menampar muka Presiden Jokowi. Bukankah pada Agustus 2022 lalu Presiden telah menerima pengakuan dari IRRI (International of Rice Research Institute) atas prestasi tiga tahun berturut-turut (2019-2021) tak impor beras (medium)? Apa makna pengakuan itu jika akhirnya Indonesia jatuh lagi sebagai importir beras 500.000 ton pada 2022 dan kini mengimpor lagi?

Keputusan impor beras bukan saja bagai menjilat ludah sendiri, tetapi juga bisa dimaknai menelikung petani. Petani hanya dinggap penting saat tahun politik lima tahun sekali, setelah itu mereka ditinggalkan dan ditanggalkan.

Akan tetapi, bagi yang pro, impor adalah rasional dan logis. Bagi kelompok ini, keputusan impor merupakan langkah terakhir ketika tidak tersedia alternatif solusi lain. Karena itu, meskipun pahit keputusan harus diambil. Diakui atau tidak, memutuskan impor saat ini adalah hal sulit.

Keputusan pahit dan sulit karena izin impor justru dikeluarkan/diberikan saat panen raya, sesuatu yang jarang terjadi. Sebab, saat panen raya biasanya pasokan gabah/beras melimpah dan harga turun. Masalahnya, saat ini pasokan gabah/beras belum benar-benar melimpah. Harga gabah/beras pun masih tetap tinggi.

Merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga beras medium pada 30 Maret 2023 bergerak antara Rp13.300-Rp13.450/kg. Selain lebih tinggi dari Januari (Rp12.600-Rp12.800/kg) dan Februari 2023 (Rp12.950-Rp13.100/kg), harga ini telah melampaui harga eceran tertinggi (HET) baru beras: Rp10.900-Rp11.800/kg (tergantung wilayah). Merujuk data BPS (Maret 2023), produksi padi masih terbatas.

Menurut BPS, Februari 2023 sudah mulai ada surplus beras. Produksi pada bulan itu apabila dikurangi kebutuhan konsumsi sekitar 2,53 juta ton beras ada surplus 0,32 juta ton. Lalu, Maret diproyeksikan ada surplus 2,84 juta ton, dan April ada surplus 1,26 juta ton beras.

Surplus pada Februari 2023 itu tergolong masih kecil. Surplus yang kecil ini jadi rebutan pelaku usaha, apakah penggilingan padi atau pedagang beras, untuk memastikan pengisian pipa (pipiline) distribusi mereka yang kering kerontang sejak musim paceklik Oktober tahun lalu. Karena pasar jauh dari jenuh, perebutan gabah/beras oleh pelaku pasar tidak terelakkan.

Panen di satu wilayah akan diperebutkan, termasuk oleh pembeli dari luar wilayah, hingga terjadi fenomena “gabah wisata”. Selain itu, dari panen hingga beras masuk ke pasar konsumen setidaknya memerlukan waktu 3-4 minggu. Ini semua jadi penjelas yang benderang bahwa pasar beras memanas karena suplai (masih) terbatas.

Dalam kondisi demikian adalah sesuatu yang logis apabila kemudian Bulog tidak mampu memperbesar penyerapan gabah/beras produksi petani domestik. Tahun 2023 ini Badan Pangan Nasional menugaskan Bulog menyerap beras domestik 2,4 juta ton, 70% di antaranya dilakukan kala panen raya Februari-Mei.

Sebanyak 1,2 juta ton dari 2,4 juta ton beras diharapkan jadi stok akhir 2023. Menimbang kondisi saat ini, target itu mustahil digapai. Per 30 Maret 2023, penyerapan Bulog baru 69.499 ton. Karena Mei produksi diperkirakan hanya 2,11 juta ton beras, peluang penyerapan hanya tersisa di April 2023.

Pada 27 Maret 2023, cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog hanya 227 ribu ton. Jumlah ini amat kecil. Sementara mulai Maret hingga Mei 2023 nanti Bulog harus menyalurkan bantuan sosial (bansos) beras untuk 21,35 juta keluarga kurang mampu. Masing-masing keluarga mendapatkan beras 10 kg. Artinya, perlu 630.000 ton beras.

Apabila mengandalkan pengadaan dari dalam negeri mustahil beras sebesar itu bisa disediakan lewat mekanisme pembelian yang ada. Meskipun Badan Pangan Nasional telah menaikkan HPP gabah kering panen (GKP) di petani jadi Rp5.000/kg dan beras di gudang Bulog Rp9.950/kg, tetapi langkah ini belum mampu menolong penyerapan.

Badan Pangan Nasional dan Kemenko Perekonomian juga telah mengumpulkan puluhan penggilingan besar dan menengah untuk membantu penyerapan beras Bulog. Tapi komitmen yang mampu diikat tidak besar, hanya 60 ribu ton. Cara-cara ini selain tak banyak membantu, boleh jadi juga tidak ramah pasar. Pemerintah mesti membuang jauh cara-cara tak ramah pasar. Cara lain, bisa saja Bulog menyerap lewat mekanisme komersial. Jika ini ditempuh, boleh jadi CBP akan membaik jumlahnya. Tapi langkah ini akan mendorong Bulog agresif masuk ke pasar dan berkompetisi dengan pelaku usaha lain untuk memperebutkan gabah/beras yang tipis. Langkah itu tak tepat dan menyalahi khittah keberadaan Bulog. Cara ini akan membuat harga tertarik ke atas alias kian tinggi.

Masalahnya, kalau jumlah CBP terbatas, pemerintah tak lagi memiliki instrumen intervensi yang bisa digerakan setiap saat untuk mengoreksi kegagalan pasar. Penguasa dominan di pasar amat mungkin mendikte harga pasar. Ini tentu harus dicegah. Dalam konteks ini, impor bisa dipahami. Sebetulnya, biang masalah munculnya impor ini adalah penugasan bansos beras. Selain mendadak, pembagian bansos saat panen raya adalah hal aneh. Yang lazim, bansos diberikan saat paceklik atau tatkala harga beras (amat) tinggi. Jika tak ada penugasan bansos, impor saat ini tak ada urgensinya. Nasi sudah jadi bubur. Yang harus dipastikan: jumlah impor harus terukur dan kedatangannya tepat waktu.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1370 seconds (0.1#10.140)