Ketua MA Hingga Dewas KPK Apresiasi Peluncuran Buku Pidana Korporasi

Sabtu, 18 Juli 2020 - 11:50 WIB
loading...
Ketua MA Hingga Dewas KPK Apresiasi Peluncuran Buku Pidana Korporasi
Sejumlah tokoh nasional mulai dari Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Akostar, mengapresiasi peluncuran buku pidana korporasi. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejumlah tokoh nasional mulai dari Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Artidjo Akostar, Kapolda Nusa Tenggara Barat Irjen Pol. M. Iqbal , Prof. Ridwan Khairandy dan Prof. Eddy Hiariej mengapresiasi terbitnya buku karya pengacara senior yang juga pakar hukum pidana korporasi Ari Yusuf Amir. Buku pertama, berjudul Doktrin-doktrin Pidana Korporasi , sedangkan buku kedua berjudul Pidana Untuk Pemegang Saham Korporasi.

“Buku ini menjadi salah satu referensi yang diperlukan bagi seorang hakim dalam menghadapi kasus pidana korporasi,” tulis Ketua MA Syarifuddin di sampul buku ini. (Baca juga: DPR Dukung KPK Terapkan Pidana Korporasi BUMN)

Dalam buku yang diterbitkan oleh Penerbit Arruzz Media ini dianalisis mengenai pertanggung jawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum pidana menurut hukum positif Indonesia. Selain itu juga dianalisis mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap pemegang saham korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, serta mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pemegang saham korporasi yang berlaku dan idealnya diterapkan di masa yang akan datang. (Baca juga: Menyasar Korupsi Korporasi)

“Diharapkan dua buku ini dapat memberikan manfaat teoritis akademis yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana. Juga dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh pemegang saham atau yang berkaitan dengan penyempurnaan rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP),” kata Ari Yusuf Amir kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (18/7/2020). (Baca juga: Aturan Tindak Pidana Korporasi Dorong Perbaikan Tata Kelola)

Ari menjelaskan dalam buku berjudul Doktrin-doktrin Pidana Korporasi, dipaparkan bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana karena Undang-undang di luar KUHP menyatakan korporasi dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Pendapat tersebut didasari dengan teori pelaku fungsional, dengan mengacu Pasal 118 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pelaku fungsional dijabarkan sebagai “dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha”.

Buku ini, lanjut Ari juga membahas secara detail beberapa doktrin dalam hukum bisnis terkait pertanggung jawaban pidana korporasi. “Selain doktrin hukum bisnis, juga dikaitkan dengan doktrin-doktrin hukum pidana, sehingga tulisan ini bisa disebut sebagai upaya mensinergikan dua pendekatan hukum,” ujar peraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, ini.

Sementara di buku berjudul Pidana Untuk Pemegang Saham Koorporasi, ungkap Ari, dipaparkan bahwa Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) pada Pasal 3 ayat (1) menganut asas separate corporate personality. Asas ini memberi tabir atau batas pemegang saham dengan perseroan terbatas sebagai legal entity tersendiri. Namun demikian, UU PT juga membatasi kekuasaan pemegang saham. Pembatasan itu tertuang dalam Pasal 3 ayat (2).

Diterangkan pula di buku ini bahwa, imunitas pemegang saham dapat berubah menjadi kondisi piercing the corporate veil atau hilangnya imunitas. Artinya pemegang saham dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, apabila terbukti tindakan perusahaan dipengaruhi oleh pemegang saham. “Kondisi seperti itu dapat terjadi apabila pemegang saham menjadi alter ego, dimana pemegang saham menganggap perusahaan sebagai miliknya sendiri,” ujar Ari..

Menurut Ari, UU PT dapat disebut sebagai Undang-undang induk di bidang korporasi. Argumennya, Pasal 154 UU PT mengatur bahwa bagi perseroan terbuka berlaku ketentuan undang-undang ini. “Konseskuensi dari ketentuan Pasal 154 tersebut maka semua undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang korporasi mutatis mutandis tunduk pada UU PT,” terangnya.

Ari berpendapat perlunya merevisi semua undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang korporasi, dengan memasukkan doktrin piercing the corporate veil dan doktrin alter egoke dalam perundang-undangan terkait korporasi, sehingga memberi peluang bagi pemegang saham yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.

Selain itu, lanjut Ari, bagi pemegang saham yang melakukan tindak pidana korporasi perlu diterapkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain. Sementara korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka dapat dikenakan pidana tambahan.

“Sanksi pidana tambahan untuk korporasi dapat berupa kewajiban menyerahkan keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana, memperbaiki segala kerusakan yang ditimbulkan, menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dilarang melakukan kegiatan tertentu baik sementara maupun selamanya, menghentikan kegiatan korporasi atau pencabutan izin baik dalam jangka waktu tertentu maupun selamanya,” urainya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1514 seconds (0.1#10.140)