Analisa Hukum Kasus Rekening Jumbo Rafael

Jum'at, 17 Maret 2023 - 07:15 WIB
loading...
Analisa Hukum Kasus Rekening Jumbo Rafael
Romli Atmasasmita (Foto: Dok. Sindonews)
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

MASALAH temuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai harta kekayaan pegawai pajak, Rafael Alun Trisambodo menyulut kehebohan dan rasa ketidakadilan masyarakat luas. Itu terutama terhadap wajib pajak yang mematuhi ketentuan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Di satu sisi, ada kesulitan pemerintah dalam meningkatkan pemasukan pajak, namun di sisi lain ada oknum pajak yang telah menggaruk kekayaan dengan mudahya; kontradiksi dengan wajib pajak yang terus menerus ditagih pajak terutang setiap akhir tahun anggaran.

Baca Juga: koran-sindo.com

Keadaan dan masalah pegawai pajak dengan harta jumbo tersebut pada rekening dan deposito sebesar Rp37 miliar dan Rp56 miliar telah menjadi pertanyaan mengenai asal muasal perolehannya.

Dipastikan harta kekayaan jumbo adalah hasil dari suap atau pemberian uang sebagian wajib pajak yang seharusnya disetor ke kas negara; diberikan kepada fiskus melalui negosiasi yang sering berakhir dengan keringanan nilai pajak yang harus dipenuhi wajib pajak atau karena pemerasan yang dilakukan oknum fiskus untuk menekan wajib pajak agar memberikan sesuatu.

Peristiwa tersebut terjadi disebabkan di dalam Undang-Undang (UU) Tata Cara Perpajakan, boleh dikatakan, “negosiasi” antara wajiba pajak (WP) dan fiskus merupakan keniscayaan khususnya manakala wajib pajak mengajukan keberatan atas penetapan pajak terutang yang harus dilunasi.

Bahkan di dalam UU aquo, pengajuan keberatan wajib pajak dimungkinkan sampai pada level Dirjen Pajak (eselon 1) bahkan juga dapat diselesaikan pada level Direktur (eselon II). Dalam kesempatan “negosiasi” inilah terjadi suap atau pemerasan dalam jabatan yang terang dan jelas melanggar Pasal 36 A ayat (4).

Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana. Ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.

Sikap fiskus melanggar UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN terutama prinsip-prinsip penyelenggaraan negara khususnya korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam praktik lazim pelanggaran UU Perpajakan selalu dihubungkan kepada ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khusus Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal ini berintikan ada/tidaknya kerugian keuangan negara atau perekonominan negara terutama pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang telah mengubah dua ketentuan tersebut dari delik formil kepada delik materiil, yang mengutamakan ada tidaknya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagai unsur utama delik Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Dalam kasus rekening jumbo temuan PPATK dan yang telah dilansir Menkopolhukam Prof Mahfud MD agak berbeda baik dari aspek hukum pidana materiel maupun hukum pidana formil. Hal ini disebabkan saat ini telah tersedia UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (UU TPPU) Nomor 8 Tahun 2010, yang ditujukan kepada aliran dana yang diduga harta kekayaan berasal dari 23 (duapuluh tiga) tindak pidana, termasuk antara lain tindak pidana pajak dan tipikor.

Tugas dan wewenang PPATK, satu-satunya lembaga negara yang khusus menelusuri dan menemukan aliran dana yang di duga berasal dari tindak pidana, masih memiliki kewenangan terbatas antara lain melakukan penangkapan atau penahanan terhadap pemilik aset di diduga berasal dari tindak pidana. Dari aspek hukum formil, kewenangan terbatas PPATK tidak dapat memasuki wilayah kewenangan penyelidikan dan penyidikan pro Justitia.

Sedangkan dalam aspek hukum pidana materiil, masih dipersoalkan efisiensi penanganan aliran dana yang di duga berasal dari tindak pidana sehingga pada laporan PPATK koordinasi dengan penyidik, selalu dicantumkan frasa, laporan indikasi transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction). Itu bukti adanya aliran dana berasal dari tindak pidana; tindak pidananya diselesaikan oleh dan dalam kewenangan penyelidikan dan dilanjutkan penyidik menurut KUHAP.

Berdasarkan kajian atas UU TPPU dihubungkan dengan tindak pidana asal dan penyelesaiannya, tampak lambat dan bahkan sering terlambat karena perpindahan dana melalui tranfer dana lebih cepat dalam hitungan waktu dibandingkan dengan Langkah hukum yang dilakukan tim penyidik pada aparat penegak hukum (APH). Sehingga aliran dana aset tindak pidana tidak lagi terdeteksi secara akurat dan tepat sekalipun tersedia Mutual Assistance in Criminal Matters ( MLA) antar Negara--PPATK.

Saat ini yang diperlukan pasti sangat membantu pemulihan kerugian keuangan negara adalah percepatan pemulihan aset dari prosedur pemblokiran (freezing) dan perampasan aset tindak pidana ( forfeiture). Cara tersebut hanya dapat dilaksanakan berdasarkan UU Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PA). Draft RUU PA saat ini sedang menunggu surpres untuk disampaikan ke DPR RI.

Di dalam RUU PA telah diatur baik aspek materiel dan aspek formilnya melalui metode perampasan aset secara keperdataan --civil based forfeiture, tidak digunakan criminal based forfeiture. Bahasa hukum yang digunakan adalah permohonan, bukan penuntutan, dan objek UU PA adalah, harta kekayaan atau aset yang berasal dari tindak pidana atau in rem forfeiture; bukan pemilik aset tindak pidananya- in personam forfeiture.

Konsekuensi hukum dari pendekatan hukum perampasan aset sedemikian, dalam UU PA, pemilik aset tindak pidana bukan target yang harus ditemukan sekalipun benda atau aset tersebut tidak diketahui pemiliknya. Dengan UU PA tetap dapat dirampas setelah melalui tahapan tertentu.

Berdasarkan kajian atas RUU PA, dapat disimpulkan bahwa, jangankan diketahui pemiliknya, tidak diketahuipun, tetap asetnya dapat dirampas. Sehingga di dalam UU PA yang berlaku adalah prinsip praduga bersalah (presumption of guilt)--karenanya objeknya benda/aset bukan presumption of innocence- objeknya orang perorangan termasuk korporasiya.

Namun demikian UU PA tetap menjaga /melindungi hak asasi pemilik aset yang di diduga berasal dari tindak pidana atau aset yang tidak diketahui pemiliknya kepada pihak yang mengajukan keberatan. Sehingga UU PA --sekalipun mengakui praduga bersalah-- terhadap objek asetnya tetapi hak asasi pemilik aset dilindungai ketika mengajukan keberatan atas penguasaan asetnya di tangan kejaksaan.

Dalam UU PA, fungsi dan peranan Jamdatun lebih mengemuka dibandingkan dengan Jampidsus dan fungsi pegelolaan aset tindak pidana yang telah dirampas menjadi tugas dan wewenang Jaksa Agung.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1003 seconds (0.1#10.140)