Analisa Hukum Kasus Rekening Jumbo Rafael
loading...
A
A
A
Dalam praktik lazim pelanggaran UU Perpajakan selalu dihubungkan kepada ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), khusus Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal ini berintikan ada/tidaknya kerugian keuangan negara atau perekonominan negara terutama pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang telah mengubah dua ketentuan tersebut dari delik formil kepada delik materiil, yang mengutamakan ada tidaknya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sebagai unsur utama delik Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Dalam kasus rekening jumbo temuan PPATK dan yang telah dilansir Menkopolhukam Prof Mahfud MD agak berbeda baik dari aspek hukum pidana materiel maupun hukum pidana formil. Hal ini disebabkan saat ini telah tersedia UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (UU TPPU) Nomor 8 Tahun 2010, yang ditujukan kepada aliran dana yang diduga harta kekayaan berasal dari 23 (duapuluh tiga) tindak pidana, termasuk antara lain tindak pidana pajak dan tipikor.
Tugas dan wewenang PPATK, satu-satunya lembaga negara yang khusus menelusuri dan menemukan aliran dana yang di duga berasal dari tindak pidana, masih memiliki kewenangan terbatas antara lain melakukan penangkapan atau penahanan terhadap pemilik aset di diduga berasal dari tindak pidana. Dari aspek hukum formil, kewenangan terbatas PPATK tidak dapat memasuki wilayah kewenangan penyelidikan dan penyidikan pro Justitia.
Sedangkan dalam aspek hukum pidana materiil, masih dipersoalkan efisiensi penanganan aliran dana yang di duga berasal dari tindak pidana sehingga pada laporan PPATK koordinasi dengan penyidik, selalu dicantumkan frasa, laporan indikasi transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction). Itu bukti adanya aliran dana berasal dari tindak pidana; tindak pidananya diselesaikan oleh dan dalam kewenangan penyelidikan dan dilanjutkan penyidik menurut KUHAP.
Berdasarkan kajian atas UU TPPU dihubungkan dengan tindak pidana asal dan penyelesaiannya, tampak lambat dan bahkan sering terlambat karena perpindahan dana melalui tranfer dana lebih cepat dalam hitungan waktu dibandingkan dengan Langkah hukum yang dilakukan tim penyidik pada aparat penegak hukum (APH). Sehingga aliran dana aset tindak pidana tidak lagi terdeteksi secara akurat dan tepat sekalipun tersedia Mutual Assistance in Criminal Matters ( MLA) antar Negara--PPATK.
Saat ini yang diperlukan pasti sangat membantu pemulihan kerugian keuangan negara adalah percepatan pemulihan aset dari prosedur pemblokiran (freezing) dan perampasan aset tindak pidana ( forfeiture). Cara tersebut hanya dapat dilaksanakan berdasarkan UU Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PA). Draft RUU PA saat ini sedang menunggu surpres untuk disampaikan ke DPR RI.
Di dalam RUU PA telah diatur baik aspek materiel dan aspek formilnya melalui metode perampasan aset secara keperdataan --civil based forfeiture, tidak digunakan criminal based forfeiture. Bahasa hukum yang digunakan adalah permohonan, bukan penuntutan, dan objek UU PA adalah, harta kekayaan atau aset yang berasal dari tindak pidana atau in rem forfeiture; bukan pemilik aset tindak pidananya- in personam forfeiture.
Konsekuensi hukum dari pendekatan hukum perampasan aset sedemikian, dalam UU PA, pemilik aset tindak pidana bukan target yang harus ditemukan sekalipun benda atau aset tersebut tidak diketahui pemiliknya. Dengan UU PA tetap dapat dirampas setelah melalui tahapan tertentu.
Berdasarkan kajian atas RUU PA, dapat disimpulkan bahwa, jangankan diketahui pemiliknya, tidak diketahuipun, tetap asetnya dapat dirampas. Sehingga di dalam UU PA yang berlaku adalah prinsip praduga bersalah (presumption of guilt)--karenanya objeknya benda/aset bukan presumption of innocence- objeknya orang perorangan termasuk korporasiya.
Namun demikian UU PA tetap menjaga /melindungi hak asasi pemilik aset yang di diduga berasal dari tindak pidana atau aset yang tidak diketahui pemiliknya kepada pihak yang mengajukan keberatan. Sehingga UU PA --sekalipun mengakui praduga bersalah-- terhadap objek asetnya tetapi hak asasi pemilik aset dilindungai ketika mengajukan keberatan atas penguasaan asetnya di tangan kejaksaan.
Dalam kasus rekening jumbo temuan PPATK dan yang telah dilansir Menkopolhukam Prof Mahfud MD agak berbeda baik dari aspek hukum pidana materiel maupun hukum pidana formil. Hal ini disebabkan saat ini telah tersedia UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (UU TPPU) Nomor 8 Tahun 2010, yang ditujukan kepada aliran dana yang diduga harta kekayaan berasal dari 23 (duapuluh tiga) tindak pidana, termasuk antara lain tindak pidana pajak dan tipikor.
Tugas dan wewenang PPATK, satu-satunya lembaga negara yang khusus menelusuri dan menemukan aliran dana yang di duga berasal dari tindak pidana, masih memiliki kewenangan terbatas antara lain melakukan penangkapan atau penahanan terhadap pemilik aset di diduga berasal dari tindak pidana. Dari aspek hukum formil, kewenangan terbatas PPATK tidak dapat memasuki wilayah kewenangan penyelidikan dan penyidikan pro Justitia.
Sedangkan dalam aspek hukum pidana materiil, masih dipersoalkan efisiensi penanganan aliran dana yang di duga berasal dari tindak pidana sehingga pada laporan PPATK koordinasi dengan penyidik, selalu dicantumkan frasa, laporan indikasi transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction). Itu bukti adanya aliran dana berasal dari tindak pidana; tindak pidananya diselesaikan oleh dan dalam kewenangan penyelidikan dan dilanjutkan penyidik menurut KUHAP.
Berdasarkan kajian atas UU TPPU dihubungkan dengan tindak pidana asal dan penyelesaiannya, tampak lambat dan bahkan sering terlambat karena perpindahan dana melalui tranfer dana lebih cepat dalam hitungan waktu dibandingkan dengan Langkah hukum yang dilakukan tim penyidik pada aparat penegak hukum (APH). Sehingga aliran dana aset tindak pidana tidak lagi terdeteksi secara akurat dan tepat sekalipun tersedia Mutual Assistance in Criminal Matters ( MLA) antar Negara--PPATK.
Saat ini yang diperlukan pasti sangat membantu pemulihan kerugian keuangan negara adalah percepatan pemulihan aset dari prosedur pemblokiran (freezing) dan perampasan aset tindak pidana ( forfeiture). Cara tersebut hanya dapat dilaksanakan berdasarkan UU Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PA). Draft RUU PA saat ini sedang menunggu surpres untuk disampaikan ke DPR RI.
Di dalam RUU PA telah diatur baik aspek materiel dan aspek formilnya melalui metode perampasan aset secara keperdataan --civil based forfeiture, tidak digunakan criminal based forfeiture. Bahasa hukum yang digunakan adalah permohonan, bukan penuntutan, dan objek UU PA adalah, harta kekayaan atau aset yang berasal dari tindak pidana atau in rem forfeiture; bukan pemilik aset tindak pidananya- in personam forfeiture.
Konsekuensi hukum dari pendekatan hukum perampasan aset sedemikian, dalam UU PA, pemilik aset tindak pidana bukan target yang harus ditemukan sekalipun benda atau aset tersebut tidak diketahui pemiliknya. Dengan UU PA tetap dapat dirampas setelah melalui tahapan tertentu.
Berdasarkan kajian atas RUU PA, dapat disimpulkan bahwa, jangankan diketahui pemiliknya, tidak diketahuipun, tetap asetnya dapat dirampas. Sehingga di dalam UU PA yang berlaku adalah prinsip praduga bersalah (presumption of guilt)--karenanya objeknya benda/aset bukan presumption of innocence- objeknya orang perorangan termasuk korporasiya.
Namun demikian UU PA tetap menjaga /melindungi hak asasi pemilik aset yang di diduga berasal dari tindak pidana atau aset yang tidak diketahui pemiliknya kepada pihak yang mengajukan keberatan. Sehingga UU PA --sekalipun mengakui praduga bersalah-- terhadap objek asetnya tetapi hak asasi pemilik aset dilindungai ketika mengajukan keberatan atas penguasaan asetnya di tangan kejaksaan.