Nyamuk dan Masalah Kesehatan
loading...
A
A
A
Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI /Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Kepala Balitbangkes
NYAMUK dikenal adalah salah binatang pembunuh manusia terbanyak di dunia, jutaan orang meninggal setiap tahunnya melalui gigitan nyamuk. Malaria saja menimbulkan ratusan ribu kematian di dunia dalam setahunnya. Insidens Dengue meningkat 30 kali dalam 30 tahun belakangan ini, ditambah lagi penyakit-penyakit lain seperti Zika, chikungunya, demam kuning (yellow fever) dll.
Baca Juga: koran-sindo.com
Penularan malaria berkelanjutan masih ditemui di 95 negara dan teritori di dunia, termasuk di Indonesia. Ada sekitar 3 miliar manusia yang berisiko terkena malaria, hampir setengah penduduk bumi, dan semua tentu melalui nyamuk. Sementara itu, dengue dilaporkan sudah ada di 128 negara, sekitar 2/3 dari seluruh dunia , dan ada hampir 4 miliar orang yang berisiko tertular penyakit ini.
Penyakit lain yang berhubungan dengan nyamuk juga tidak kalah mencengangkan datanya. Chikungunya dilaporkan ada di lebih 60 negara di dunia, yellow fever banyak ditemukan di Afrika (sehingga diperlukan vaksinasi bagi yang akan ke daerah itu) dan hutan Amerika Latin, West Nile ditemukan di banyak benua, Japanese Encephalitis bahkan dilaporkan juga ada di Indonesia, serta penyakit Zika yang sudah pernah ditetapkan WHO sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) pada 2016.
Secara umum, diperkirakan ada lebih dari 300 juta kasus berbagai penyakit setiap tahunnya akibat gigitan nyamuk. Kita kenal aedes aegypti berhubungan dengan penyakit dengue, yellow fever, chikungunya, dan Zika, aedes albopictus dengan Chikungunya, dan dengue, Culex quinquefasciatus dengan Lymphatic filariasis, Genus Culex dengan Japanese Encephalitis, lebih dari 60 spesies Anopheles dengan Malaria dll.
Lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di daerah yang ada nyamuk aedes aegypti-nya, belum lagi spesies nyamuk yang lain. Bukan main memang ekspansi si "nyamuk" kita ini, baik Aedes, Culex, maupun juga Anopheles.
Pernah pula ada penelitian menarik dari Colorado State University (CSU) yang di presentasikan di pertemuan tahunan American Society of Tropical Medicine & Hygiene di Atlanta, Georgia, di mana para penelitinya mengatakan bahwa nyamuk aedes aegypti dapat menularkan tiga penyakit sekaligus dalam satu gigitannya, zika, chikunguya dan dengue.
Memang para penelitinya menyampaikan bahwa tiga penyakit yang dapat ditularkan itu belum tentu akan menimbulkan tiga penyakit pada manusia yang digigitnya, dan juga tidak memberi dampak klinik yang berarti, mungkin tidaklah berat. Para peneliti ini kini mencoba memulai apakah selain 3 penyakit itu maka seekor nyamuk kecil itu dapat juga sekaligus ada yellow fever dalam dirinya. Tentu saja publikasi ini perlu analisa lebih lanjut dan lebih tajam lagi.
Unik
Selain soal penyakit, ternyata masing-masing jenis nyamuk punya keunikan dalam frekuensi mengepakkan sayapnya. Culex stigmatosoma betina misalnya, mengepakkan sayapnya (wingbeat) dalam frekuensi 350 hertz, sementara Culex tarsalis dapat sampai 550 hertz. Karena perbedaan ini maka frekuensi kepak sayap dapat menjadi semacam “sidik jari” (finger print) untuk identifikasi nyamuk, suatu hal yang mungkin menarik dalam kerangka riset vektor yang dilakukan di Indonesia.
Sebenarnya ini bukan hal baru. Robert Hooke pada abad ke 17 dapat menyelaraskan suara kepak saya serangga dengan bunyi nada, tentu dengan ketajaman telinganya. Pada tahun 1952 seorang entomologist Finlandia, Sotovalta, menulis di Jurnal Nature yang menyebutkan bahwa dia dapat
mengobservasi kepak sayap tidak hanya dengan kamera (melalui metode chronophotograhic) tapi juga dengan mendengarnya langsung di alam terbuka. Sotovalta menulis:”The acoustic method makes it possible to observe insects in free flight”.
Para ahli tadinya menduga bahwa nyamuk betina pada dasarnya tuli, atau setidaknya tidaklah terlalu memperhatikan nada. Kenyataannya mungkin berbeda. Laboratorium Laura Harrington’s di Cornell melakukan penelitian dengan”mendekatkan” nyamuk betina dan jantan serta memasang mikrofon di dekat mereka berdua. Hasilnya cukup mencengangkan dan disebut sebagai terobosan dalam penelitian “sound and entomology”.
Rupanya nyamuk jantan menari dan mengeluarkan suara tertentu, kirakira merayu ngajak “kawin”, dan nyamuk betina ternyata merespons suara yang dikeluarkan sang nyamuk jantan, dan bahkan mereka berkomunikasi dalam “nada” yang sama.
Penelitinya mengatakan: “we discover that male and female actually sing to each other. They harmonise just prior to mating”. “Suara rayuan” (penelitinya menyebutnya sebagai mating song) ini bukan berasal dari pita suara, tapi dari kepak sayap nyamuk itu. Nampaknya pengetahuan “sound and entomology” ini perlu terus dikembangkan sehingga bukan tidak mungkin akan dapat cara mengendalikan nyamuk lewat pendekatan suara ini.
Penelitian
Sudah banyak dikenal bentuk program penanggulangan nyamuk ini, yang pelaksanaannya akan tergantung dari karakteristik nyamuk, situasi epidemiologi penyakit, perilaku manusianya, sosio ekonomi budaya, aspek lingkungan dll. Secara umum ada juga yang menggolongkannya dalam penggunaan kelambu berinsektisida (long-lasting insecticidal nets), penyemprotan di dalam dan luar rumah(indoor residual spraying and outdoor spraying), pemberikan bahan kimian ke air, pakaian tertentu, penggunaan repelen, pengendalian secara biologik dan genetik, pengelolaaan sampah sehat, modifikasi tata ruang rumah dll.
Yang kemudian menarik adalah penelitian-penelitian untuk mencari “bentuk baru”, antara lain di kursi, sabun dan pakaian. Fredros Okumu dari Ifakara Health Institute Tanzania keluar dengan ide bahwa repellent dapat di pasang di kursi. Mereka membuat prototype kursi yang di lapisan dalamnya diberi repellent (supaya tidak kontak langsung dengan kulit manusia), yang konon dapat tahan sampai 6 bulan lamanya.
Kelompok ini juga meneliti kemungkinan penggunaan repellent pada sandal, karena mereka beranggapan bahwa semiskin-miskinnya orang maka pasti punya semacam alas kaki/sandal, yang ketika dipakai dapat juga berfungsi mengusir nyamuk. Penelitian ini juga bekerja sama dengan Harvard T.H. Chan School of Public Health, yang antara lain menyebutkan: “"The fight against malaria is so difficult, we'll need all tools. It's important to explore methods at the community or village level, these may be effective."
Sementara itu, peneliti dari Johns Hopkins Center for Bioengineering Innovation and Design melakukan penelitian dengan permethrin pada sabun. Penelitian serupa dilakukan juga di Burkina faro, dalam bentuk “Faso soap”. Bentuk penelitian lain adalah dengan menanamkan repellent pada baju, atau tas, topi atau aksesoris pakaian lainnya, yang digagas peneliti dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.
Salah satu contohnya adalah ada yang dilakukan di Thailand, di mana 1.800 anak-anak menggunakan baju seragam yang sudah diolah dengan permethrin dan dibandingkan dengan kontrol yang menggunakan seragam biasa, dan hasil awalnya cukup menjanjikan.
Memang masih perlu penelitian lanjutan dalam berbagai “bentuk baru” ini, tapi setidaknya ini akan membukakan cakrawala penanggulangan nyamuk menjadi lebih luas lagi, dan mungkin lebih user friendly pula. Indonesia tentu juga dapat menyumbangkan ilmunya pada kancah penelitian ini.
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI /Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Kepala Balitbangkes
NYAMUK dikenal adalah salah binatang pembunuh manusia terbanyak di dunia, jutaan orang meninggal setiap tahunnya melalui gigitan nyamuk. Malaria saja menimbulkan ratusan ribu kematian di dunia dalam setahunnya. Insidens Dengue meningkat 30 kali dalam 30 tahun belakangan ini, ditambah lagi penyakit-penyakit lain seperti Zika, chikungunya, demam kuning (yellow fever) dll.
Baca Juga: koran-sindo.com
Penularan malaria berkelanjutan masih ditemui di 95 negara dan teritori di dunia, termasuk di Indonesia. Ada sekitar 3 miliar manusia yang berisiko terkena malaria, hampir setengah penduduk bumi, dan semua tentu melalui nyamuk. Sementara itu, dengue dilaporkan sudah ada di 128 negara, sekitar 2/3 dari seluruh dunia , dan ada hampir 4 miliar orang yang berisiko tertular penyakit ini.
Penyakit lain yang berhubungan dengan nyamuk juga tidak kalah mencengangkan datanya. Chikungunya dilaporkan ada di lebih 60 negara di dunia, yellow fever banyak ditemukan di Afrika (sehingga diperlukan vaksinasi bagi yang akan ke daerah itu) dan hutan Amerika Latin, West Nile ditemukan di banyak benua, Japanese Encephalitis bahkan dilaporkan juga ada di Indonesia, serta penyakit Zika yang sudah pernah ditetapkan WHO sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) pada 2016.
Secara umum, diperkirakan ada lebih dari 300 juta kasus berbagai penyakit setiap tahunnya akibat gigitan nyamuk. Kita kenal aedes aegypti berhubungan dengan penyakit dengue, yellow fever, chikungunya, dan Zika, aedes albopictus dengan Chikungunya, dan dengue, Culex quinquefasciatus dengan Lymphatic filariasis, Genus Culex dengan Japanese Encephalitis, lebih dari 60 spesies Anopheles dengan Malaria dll.
Lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di daerah yang ada nyamuk aedes aegypti-nya, belum lagi spesies nyamuk yang lain. Bukan main memang ekspansi si "nyamuk" kita ini, baik Aedes, Culex, maupun juga Anopheles.
Pernah pula ada penelitian menarik dari Colorado State University (CSU) yang di presentasikan di pertemuan tahunan American Society of Tropical Medicine & Hygiene di Atlanta, Georgia, di mana para penelitinya mengatakan bahwa nyamuk aedes aegypti dapat menularkan tiga penyakit sekaligus dalam satu gigitannya, zika, chikunguya dan dengue.
Memang para penelitinya menyampaikan bahwa tiga penyakit yang dapat ditularkan itu belum tentu akan menimbulkan tiga penyakit pada manusia yang digigitnya, dan juga tidak memberi dampak klinik yang berarti, mungkin tidaklah berat. Para peneliti ini kini mencoba memulai apakah selain 3 penyakit itu maka seekor nyamuk kecil itu dapat juga sekaligus ada yellow fever dalam dirinya. Tentu saja publikasi ini perlu analisa lebih lanjut dan lebih tajam lagi.
Unik
Selain soal penyakit, ternyata masing-masing jenis nyamuk punya keunikan dalam frekuensi mengepakkan sayapnya. Culex stigmatosoma betina misalnya, mengepakkan sayapnya (wingbeat) dalam frekuensi 350 hertz, sementara Culex tarsalis dapat sampai 550 hertz. Karena perbedaan ini maka frekuensi kepak sayap dapat menjadi semacam “sidik jari” (finger print) untuk identifikasi nyamuk, suatu hal yang mungkin menarik dalam kerangka riset vektor yang dilakukan di Indonesia.
Sebenarnya ini bukan hal baru. Robert Hooke pada abad ke 17 dapat menyelaraskan suara kepak saya serangga dengan bunyi nada, tentu dengan ketajaman telinganya. Pada tahun 1952 seorang entomologist Finlandia, Sotovalta, menulis di Jurnal Nature yang menyebutkan bahwa dia dapat
mengobservasi kepak sayap tidak hanya dengan kamera (melalui metode chronophotograhic) tapi juga dengan mendengarnya langsung di alam terbuka. Sotovalta menulis:”The acoustic method makes it possible to observe insects in free flight”.
Para ahli tadinya menduga bahwa nyamuk betina pada dasarnya tuli, atau setidaknya tidaklah terlalu memperhatikan nada. Kenyataannya mungkin berbeda. Laboratorium Laura Harrington’s di Cornell melakukan penelitian dengan”mendekatkan” nyamuk betina dan jantan serta memasang mikrofon di dekat mereka berdua. Hasilnya cukup mencengangkan dan disebut sebagai terobosan dalam penelitian “sound and entomology”.
Rupanya nyamuk jantan menari dan mengeluarkan suara tertentu, kirakira merayu ngajak “kawin”, dan nyamuk betina ternyata merespons suara yang dikeluarkan sang nyamuk jantan, dan bahkan mereka berkomunikasi dalam “nada” yang sama.
Penelitinya mengatakan: “we discover that male and female actually sing to each other. They harmonise just prior to mating”. “Suara rayuan” (penelitinya menyebutnya sebagai mating song) ini bukan berasal dari pita suara, tapi dari kepak sayap nyamuk itu. Nampaknya pengetahuan “sound and entomology” ini perlu terus dikembangkan sehingga bukan tidak mungkin akan dapat cara mengendalikan nyamuk lewat pendekatan suara ini.
Penelitian
Sudah banyak dikenal bentuk program penanggulangan nyamuk ini, yang pelaksanaannya akan tergantung dari karakteristik nyamuk, situasi epidemiologi penyakit, perilaku manusianya, sosio ekonomi budaya, aspek lingkungan dll. Secara umum ada juga yang menggolongkannya dalam penggunaan kelambu berinsektisida (long-lasting insecticidal nets), penyemprotan di dalam dan luar rumah(indoor residual spraying and outdoor spraying), pemberikan bahan kimian ke air, pakaian tertentu, penggunaan repelen, pengendalian secara biologik dan genetik, pengelolaaan sampah sehat, modifikasi tata ruang rumah dll.
Yang kemudian menarik adalah penelitian-penelitian untuk mencari “bentuk baru”, antara lain di kursi, sabun dan pakaian. Fredros Okumu dari Ifakara Health Institute Tanzania keluar dengan ide bahwa repellent dapat di pasang di kursi. Mereka membuat prototype kursi yang di lapisan dalamnya diberi repellent (supaya tidak kontak langsung dengan kulit manusia), yang konon dapat tahan sampai 6 bulan lamanya.
Kelompok ini juga meneliti kemungkinan penggunaan repellent pada sandal, karena mereka beranggapan bahwa semiskin-miskinnya orang maka pasti punya semacam alas kaki/sandal, yang ketika dipakai dapat juga berfungsi mengusir nyamuk. Penelitian ini juga bekerja sama dengan Harvard T.H. Chan School of Public Health, yang antara lain menyebutkan: “"The fight against malaria is so difficult, we'll need all tools. It's important to explore methods at the community or village level, these may be effective."
Sementara itu, peneliti dari Johns Hopkins Center for Bioengineering Innovation and Design melakukan penelitian dengan permethrin pada sabun. Penelitian serupa dilakukan juga di Burkina faro, dalam bentuk “Faso soap”. Bentuk penelitian lain adalah dengan menanamkan repellent pada baju, atau tas, topi atau aksesoris pakaian lainnya, yang digagas peneliti dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.
Salah satu contohnya adalah ada yang dilakukan di Thailand, di mana 1.800 anak-anak menggunakan baju seragam yang sudah diolah dengan permethrin dan dibandingkan dengan kontrol yang menggunakan seragam biasa, dan hasil awalnya cukup menjanjikan.
Memang masih perlu penelitian lanjutan dalam berbagai “bentuk baru” ini, tapi setidaknya ini akan membukakan cakrawala penanggulangan nyamuk menjadi lebih luas lagi, dan mungkin lebih user friendly pula. Indonesia tentu juga dapat menyumbangkan ilmunya pada kancah penelitian ini.
(bmm)