Solusi Depo Plumpang, Politis atau Strategis?
loading...
A
A
A
BAGAIMANAKAH nasib Depo Pertamina Plumpang pascakebakaran pada Jumat (3/3) malam lalu? Inilah yang tengah menjadi fokus pandangan masyarakat seluruh Tanah Air.
Publik tentu berharap ada solusi terbaik yang mengarah pada adanya mitigasi terhadap apa pun risiko yang terjadi di depo tersebut ke depan tidak akan berdampak kepada masyarakat.
Solusi seperti apa? Inilah yang menjadi persoalan. Publik justru disuguhi perbedaan sikap substantif di antara para decision maker, dalam hal ini antara Menteri BUMN Erick Thohir versus Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Erick dengan sigap telah memutuskan merelokasi Depo Pertamina Plumpang ke Lahan milik PT Pelindo pada akhir 2024. Adapun Luhut secara tegas menolak keputusan tersebut. Luhut menegaskan bahwa masyarakat yang tinggal di buffer zone-lah yang seharusnya dipindahkan, bukan deponya.
Keputusan mana yang paling benar memang sulit ditentukan. Apalagi, kedua pilihan itu merupakan opsi yang sama-sama diberikan Presiden Joko Widodo. Namun, yang pasti, perbedaan sikap yang tajam mengindikasikan tidak adanya koordinasi di internal pemerintahan. Realitas tersebut sekaligus membuka tabir tidak adanya pembahasan komprehensif untuk mencari akar masalah dan solusi yang dibutuhkan.
Keputusan yang diambil Erick harus diakui sangat mengagetkan. Bagaimana tidak, keputusan strategis itu sudah diambil dalam tempo tiga hari semenjak terjadinya kebakaran. Apalagi, keputusan tersebut “mengalahkan” Pertamina, bukan masyarakat yang secara ilegal telah merangsek dan menempati lahan buffer zone depo yang terlarang dan berbahaya.
Logika inilah yang menurut Luhut dibolak-balik. Ibarat adanya permukiman liar yang memenuhi sempadan sungai, bukan pemukiman liarnya yang dibersihkan, tapi sungainya yang harus dipindahkan.
Karena itulah, kebijakan Erick dalam kolom komentar media sosial banyak memicu kritik publik. Pilihan itu bukan hanya membenarkan anarkisme massa dalam konteks kepemilikan lahan, tapi juga akan menimbulkan preseden buruk terhadap penegakan hukum. Ke depan, siapa pun akan lebih mudah menduduki lahan, terutama milik pemerintah atau BUMN.
Kebijakan Erick juga dicurigai bermuatan politis. Dengan memilih memindahkan depo Pertamina dari tanahnya sendiri, dia dianggap ingin membangun populisme dan memanen dukungan masyarakat demi memuluskan jalannya tampil di kontestasi Pemilihan Presiden 2024.
Benarkah tendensi politis demikian?
Tentu, tergantung sejauh mana Erick ngotot memperjuangkan kebijakan kontroversial tersebut. Bila tidak mau dicap berperilaku politis, tidak ada pilihan baginya selain kembali membahas berbagai opsi yang tersedia secara komprehensif. Dengan demikian, kebijakan yang diambil bersifat strategis, bukan politis.
Erick misalnya harus menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan Pertamina untuk membuat depo baru, yang tentu tidak kecil. Juga, apakah pemindahan ke lahan milik Pelindo tidak menjadi beban baru Pertamina, misalnya, karena harus mengeluarkan uang sewa dengan waktu tak terbatas? Penghitungan ini tentu membutuhkan audit dan kajian komprehensif, yang tidak bisa dilakukan hanya dalam tempo tiga hari.
Erick juga harus membuka opsi lebih luas. Misalnya, memindahkan permukiman masyarakat dengan kompensasi, seperti diusulkan Luhut. Opsi lain mengalokasikan sebagian lahan buffer zone depo yang dianggap aman untuk bangunan rumah susun sebagai hunian relokasi warga. Muara solusi bukan hanya menghindari terulangnya musibah, tapi juga tidak menimbulkan beban untuk Pertamina dan tetap memanusiakan masyarakat.
Di sisi lain, pemimpin negeri ini dalam membuat keputusan perlu belajar dari kasus pemukiman ilegal yang menguasai buffer zone depo Pertamina bahwa kebijakan populis yang berorientasi politis—seperti memberi KTP dan izin mendirikan bangunan (IMB)—hanya akan menimbulkan masalah. Karena itulah, kebijakan harus tetap berdasarkan akal sehat dan aturan hukum yang berlaku.
Publik tentu berharap ada solusi terbaik yang mengarah pada adanya mitigasi terhadap apa pun risiko yang terjadi di depo tersebut ke depan tidak akan berdampak kepada masyarakat.
Solusi seperti apa? Inilah yang menjadi persoalan. Publik justru disuguhi perbedaan sikap substantif di antara para decision maker, dalam hal ini antara Menteri BUMN Erick Thohir versus Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Erick dengan sigap telah memutuskan merelokasi Depo Pertamina Plumpang ke Lahan milik PT Pelindo pada akhir 2024. Adapun Luhut secara tegas menolak keputusan tersebut. Luhut menegaskan bahwa masyarakat yang tinggal di buffer zone-lah yang seharusnya dipindahkan, bukan deponya.
Keputusan mana yang paling benar memang sulit ditentukan. Apalagi, kedua pilihan itu merupakan opsi yang sama-sama diberikan Presiden Joko Widodo. Namun, yang pasti, perbedaan sikap yang tajam mengindikasikan tidak adanya koordinasi di internal pemerintahan. Realitas tersebut sekaligus membuka tabir tidak adanya pembahasan komprehensif untuk mencari akar masalah dan solusi yang dibutuhkan.
Keputusan yang diambil Erick harus diakui sangat mengagetkan. Bagaimana tidak, keputusan strategis itu sudah diambil dalam tempo tiga hari semenjak terjadinya kebakaran. Apalagi, keputusan tersebut “mengalahkan” Pertamina, bukan masyarakat yang secara ilegal telah merangsek dan menempati lahan buffer zone depo yang terlarang dan berbahaya.
Logika inilah yang menurut Luhut dibolak-balik. Ibarat adanya permukiman liar yang memenuhi sempadan sungai, bukan pemukiman liarnya yang dibersihkan, tapi sungainya yang harus dipindahkan.
Karena itulah, kebijakan Erick dalam kolom komentar media sosial banyak memicu kritik publik. Pilihan itu bukan hanya membenarkan anarkisme massa dalam konteks kepemilikan lahan, tapi juga akan menimbulkan preseden buruk terhadap penegakan hukum. Ke depan, siapa pun akan lebih mudah menduduki lahan, terutama milik pemerintah atau BUMN.
Kebijakan Erick juga dicurigai bermuatan politis. Dengan memilih memindahkan depo Pertamina dari tanahnya sendiri, dia dianggap ingin membangun populisme dan memanen dukungan masyarakat demi memuluskan jalannya tampil di kontestasi Pemilihan Presiden 2024.
Benarkah tendensi politis demikian?
Tentu, tergantung sejauh mana Erick ngotot memperjuangkan kebijakan kontroversial tersebut. Bila tidak mau dicap berperilaku politis, tidak ada pilihan baginya selain kembali membahas berbagai opsi yang tersedia secara komprehensif. Dengan demikian, kebijakan yang diambil bersifat strategis, bukan politis.
Erick misalnya harus menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan Pertamina untuk membuat depo baru, yang tentu tidak kecil. Juga, apakah pemindahan ke lahan milik Pelindo tidak menjadi beban baru Pertamina, misalnya, karena harus mengeluarkan uang sewa dengan waktu tak terbatas? Penghitungan ini tentu membutuhkan audit dan kajian komprehensif, yang tidak bisa dilakukan hanya dalam tempo tiga hari.
Erick juga harus membuka opsi lebih luas. Misalnya, memindahkan permukiman masyarakat dengan kompensasi, seperti diusulkan Luhut. Opsi lain mengalokasikan sebagian lahan buffer zone depo yang dianggap aman untuk bangunan rumah susun sebagai hunian relokasi warga. Muara solusi bukan hanya menghindari terulangnya musibah, tapi juga tidak menimbulkan beban untuk Pertamina dan tetap memanusiakan masyarakat.
Di sisi lain, pemimpin negeri ini dalam membuat keputusan perlu belajar dari kasus pemukiman ilegal yang menguasai buffer zone depo Pertamina bahwa kebijakan populis yang berorientasi politis—seperti memberi KTP dan izin mendirikan bangunan (IMB)—hanya akan menimbulkan masalah. Karena itulah, kebijakan harus tetap berdasarkan akal sehat dan aturan hukum yang berlaku.
(bmm)