Mengawal Kualitas Produksi Dokter
loading...
A
A
A
Syarat-syarat ini tercantum jelas dalam berbagai aturan, seperti Permenkes Nomor 53/2017 tentang Standar Pendidikan Dokter, Permendikbud Nomor 49/2014 tentang Standar Pendidikan Nasional, Permenristek Nomor 44/2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Secara kasar, syarat pentingnya adalah mahasiswanya harus pintar dan punya mental baja; tidak bisa setengah hati dan mental kerupuk.
Mereka harus dididik oleh tenaga pendidik yang berkualitas serta memiliki jam terbang tinggi. Mereka harus bekerja di rumah sakit yang memiliki alat standar dan fasilitas pendukung yang memadai. Kurikulm yang ada mengharuskan mereka untuk pernah berinteraksi dan merawat sejumlah tertentu pasien, termasuk melakukan sejumlah tindakan medis dengan benar. Ini yang disebut sebagai kompetensi dan semua hal ini tercatat di log book mereka. Mereka hanya bisa lulus bila semua syarat kompetensi ini terpenuhi.
Artinya apa? Sebelum ujug-ujug menggenjot jumlah dokter, terlebih dulu harus disiapkan fasilitas, struktur, dan infrastruktur yang memadai. Apalagi pendidikan kedokteran ke depan sangat challenging; calon dokter akan berhadapan dengan dunia digital dan artificial intelligence yang makin kompleks dan luas. Mereka harus bisa menghadapi tantangan tersebut.
Makanya, mahasiswa yang diterima harus diseleksi dengan baik. Mereka harus memiliki kematangan kognitif dan emosional. Di Amerika, sebelum masuk FK mahasiswa harus terlebih dulu punya gelar sarjana di bidang lain. Di Australia, sebelum masuk FK mahasiswa harus menjalani bridging program tertentu.
Jadi, bukan seleksi seadanya. institusi harus punya tenaga didik yang mumpuni, pengalaman, dan terakreditasi. Jumlahnya pun harus cukup karena terkait pemenuhan rasio tenaga pendidik terhadap mahasiswa. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi menetapkan standar rasio minimal 1:10. Artinya, minimal harus ada satu pendidik qualified untuk membimbing 10 mahasiswa kedokteran.
Bila jumlah dokter ingin digenjot, apakah kebutuhan standar pendidik ini telah cukup? Pendidikan kedokteran juga membutuhkan tempat pendidikan standar, termasuk rumah sakit terakreditasi. Apakah fasilitas ini telah tersedia dan memenuhi untuk akselerasi jumlah dokter?
Jangan sampai terjadi satu rumah sakit atau satu bangsal dipenuhi calon dokter yang berebutan lihat pasien. Rumah sakit juga harus punya alat standar. Calon dokter mesti tahu secara sederhana pemeriksaan laboratorium, X-ray, USG, CT scan, dan sebagainya. Apakah semua fasilitas ini tersedia? Jangan sampai terjadi seorang telah menjadi dokter tetapi belum pernah lihat atau pegang alat USG atau CT scan.
Selain itu, calon dokter pun harus pernah merawat sejumlah pasien tertentu. Jangan sampai terjadi satu pasien dikerubuti 10-20 mahasiswa sekadar untuk anamnesis. Atau jangan sampai mahasiswa berebutan melakukan tindakan medis pada satu pasien. Banyak lagi aspek yang harus dihitung. Semua ini harus disiapkan secara matang sebelum menggenjot produksi dokter.
Bila ini tidak disiapkan dengan baik, akan banyak terproduksi dokter yang tidak memenuhi standar kompetensi. Beberapa waktu lalu saja sekitar 2.500-an dokter tidak lulus ujian kompetensi standar. Salah satu penyebab utamanya adalah proses pendidikan yang tidak adekuat.
Memproduksi dokter itu tidak sama dengan memproduksi komoditas. Tidak sama dengan membeli kacang di toko. Adanya demand besar dari peminat bukan alasan untuk menggenjot seenaknya jumlah dokter. Bila ini terjadi, artinya produksi dokter hanya dipicu oleh persoalan bisnis. Dokter dianggap komoditas bisnis.
Mereka harus dididik oleh tenaga pendidik yang berkualitas serta memiliki jam terbang tinggi. Mereka harus bekerja di rumah sakit yang memiliki alat standar dan fasilitas pendukung yang memadai. Kurikulm yang ada mengharuskan mereka untuk pernah berinteraksi dan merawat sejumlah tertentu pasien, termasuk melakukan sejumlah tindakan medis dengan benar. Ini yang disebut sebagai kompetensi dan semua hal ini tercatat di log book mereka. Mereka hanya bisa lulus bila semua syarat kompetensi ini terpenuhi.
Artinya apa? Sebelum ujug-ujug menggenjot jumlah dokter, terlebih dulu harus disiapkan fasilitas, struktur, dan infrastruktur yang memadai. Apalagi pendidikan kedokteran ke depan sangat challenging; calon dokter akan berhadapan dengan dunia digital dan artificial intelligence yang makin kompleks dan luas. Mereka harus bisa menghadapi tantangan tersebut.
Makanya, mahasiswa yang diterima harus diseleksi dengan baik. Mereka harus memiliki kematangan kognitif dan emosional. Di Amerika, sebelum masuk FK mahasiswa harus terlebih dulu punya gelar sarjana di bidang lain. Di Australia, sebelum masuk FK mahasiswa harus menjalani bridging program tertentu.
Jadi, bukan seleksi seadanya. institusi harus punya tenaga didik yang mumpuni, pengalaman, dan terakreditasi. Jumlahnya pun harus cukup karena terkait pemenuhan rasio tenaga pendidik terhadap mahasiswa. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi menetapkan standar rasio minimal 1:10. Artinya, minimal harus ada satu pendidik qualified untuk membimbing 10 mahasiswa kedokteran.
Bila jumlah dokter ingin digenjot, apakah kebutuhan standar pendidik ini telah cukup? Pendidikan kedokteran juga membutuhkan tempat pendidikan standar, termasuk rumah sakit terakreditasi. Apakah fasilitas ini telah tersedia dan memenuhi untuk akselerasi jumlah dokter?
Jangan sampai terjadi satu rumah sakit atau satu bangsal dipenuhi calon dokter yang berebutan lihat pasien. Rumah sakit juga harus punya alat standar. Calon dokter mesti tahu secara sederhana pemeriksaan laboratorium, X-ray, USG, CT scan, dan sebagainya. Apakah semua fasilitas ini tersedia? Jangan sampai terjadi seorang telah menjadi dokter tetapi belum pernah lihat atau pegang alat USG atau CT scan.
Selain itu, calon dokter pun harus pernah merawat sejumlah pasien tertentu. Jangan sampai terjadi satu pasien dikerubuti 10-20 mahasiswa sekadar untuk anamnesis. Atau jangan sampai mahasiswa berebutan melakukan tindakan medis pada satu pasien. Banyak lagi aspek yang harus dihitung. Semua ini harus disiapkan secara matang sebelum menggenjot produksi dokter.
Bila ini tidak disiapkan dengan baik, akan banyak terproduksi dokter yang tidak memenuhi standar kompetensi. Beberapa waktu lalu saja sekitar 2.500-an dokter tidak lulus ujian kompetensi standar. Salah satu penyebab utamanya adalah proses pendidikan yang tidak adekuat.
Memproduksi dokter itu tidak sama dengan memproduksi komoditas. Tidak sama dengan membeli kacang di toko. Adanya demand besar dari peminat bukan alasan untuk menggenjot seenaknya jumlah dokter. Bila ini terjadi, artinya produksi dokter hanya dipicu oleh persoalan bisnis. Dokter dianggap komoditas bisnis.