IJTI: Tanggung Jawab Platform untuk Jurnalisme Berkualitas Upaya Menjaga Keberlanjutan Media
loading...
A
A
A
JAKARTA - Media Sustainability Task Force telah dibentuk pada awal 2020. Satgas ini dibentuk untuk mencari solusi atas masa depan jurnalisme berkualitas karena perusahaan media banyak yang gulung tikar atau memodifikasi sedemikian rupa konten demi keberlanjutan usahanya.
Menurut Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan, pengusulan draf regulasi hanya salah satu output dari Media Sustainability Task Force. Selebihnya menggelar diskusi dengan berbagai stakeholder, termasuk Telkom untuk membahas kemungkinan membangun platform digital nasional.
Gagasan ini match dengan gagasan Telkom yang kemudian membangun TADEX. Permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Banjarmasin dan Kendari agar disusun draf regulasi justru untuk menanggapi permintaan Satgas Media Sustainability. Bukan sebaliknya.
Catatan lain, tadinya draf Naskah Akademik untuk Perpres berbunyi Jurnalisme Berkualitas dan Tanggung Jawab Platform. Namun dalam konsinyering di Bandung diusulkan Tanggung Jawab Platform untuk Jurnalisme Berkualitas.
Menurut Herik, ada beberapa alasannya, pertama, jurnalisme berkualitas bukan urusan Perpres. Sebab, yang perlu diatur adalah tanggung jawab perusahaan platform terkait dua hal. Tanggung jawab bagi hasil dan bagi data yang adil terhadap publisher yang kontennya digunakan serta tanggung jawab menyisir dan menghilangkan konten buruk yang diklaim sebagai produk jurnalistik dari platform mereka.
"Dengan menempatkan frasa tanggung jawab perusahaan platform di depan, Perpres itu akan memberikan tekanan bahwa tanggung jawab perusahaan platform adalah variabel independennya. Meski tidak persis seperti itu," kata Herik.
Selanjutnya adalah terkait lembaga yang mengatur. Apakah lembaga di Dewan Pers atau di luar Dewan Pers. Menurut Herik, lembaga di bawah Dewan Pers lebih bisa menjamin bahwa tujuan regulasi ini adalah jurnalisme berkualitas bukan semata aspek kesehatan bisnis media melalui kerja sama yang adil dengan platform.
Artinya persyaratan, bargaining, dan lain-lain harus benar-benar mengacu pada kualitas produk jurnalisme yang dihasilkan media. Platform juga mesti bertanggung jawab mengatur dan membuang produk jurnalisme buruk yang muncul di platform.
"Karena bisa jadi media-media semacam itu bisa tetap beraktivitas dan hidup sejahtera lho, sekalipun mereka tidak ikut serta dalam program bargaining dengan platform. Jika lembaganya di bawah Dewan Pers harus benar benar jelas pola rekrutmen dan pendanaannya," katanya.
Lihat Juga: Tingkatkan Kompetensi Jurnalis, PEPC JTB dan IJTI Gelar Uji Kompetensi Wartawan di Bojonegoro
Menurut Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan, pengusulan draf regulasi hanya salah satu output dari Media Sustainability Task Force. Selebihnya menggelar diskusi dengan berbagai stakeholder, termasuk Telkom untuk membahas kemungkinan membangun platform digital nasional.
Gagasan ini match dengan gagasan Telkom yang kemudian membangun TADEX. Permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Banjarmasin dan Kendari agar disusun draf regulasi justru untuk menanggapi permintaan Satgas Media Sustainability. Bukan sebaliknya.
Catatan lain, tadinya draf Naskah Akademik untuk Perpres berbunyi Jurnalisme Berkualitas dan Tanggung Jawab Platform. Namun dalam konsinyering di Bandung diusulkan Tanggung Jawab Platform untuk Jurnalisme Berkualitas.
Menurut Herik, ada beberapa alasannya, pertama, jurnalisme berkualitas bukan urusan Perpres. Sebab, yang perlu diatur adalah tanggung jawab perusahaan platform terkait dua hal. Tanggung jawab bagi hasil dan bagi data yang adil terhadap publisher yang kontennya digunakan serta tanggung jawab menyisir dan menghilangkan konten buruk yang diklaim sebagai produk jurnalistik dari platform mereka.
"Dengan menempatkan frasa tanggung jawab perusahaan platform di depan, Perpres itu akan memberikan tekanan bahwa tanggung jawab perusahaan platform adalah variabel independennya. Meski tidak persis seperti itu," kata Herik.
Selanjutnya adalah terkait lembaga yang mengatur. Apakah lembaga di Dewan Pers atau di luar Dewan Pers. Menurut Herik, lembaga di bawah Dewan Pers lebih bisa menjamin bahwa tujuan regulasi ini adalah jurnalisme berkualitas bukan semata aspek kesehatan bisnis media melalui kerja sama yang adil dengan platform.
Artinya persyaratan, bargaining, dan lain-lain harus benar-benar mengacu pada kualitas produk jurnalisme yang dihasilkan media. Platform juga mesti bertanggung jawab mengatur dan membuang produk jurnalisme buruk yang muncul di platform.
"Karena bisa jadi media-media semacam itu bisa tetap beraktivitas dan hidup sejahtera lho, sekalipun mereka tidak ikut serta dalam program bargaining dengan platform. Jika lembaganya di bawah Dewan Pers harus benar benar jelas pola rekrutmen dan pendanaannya," katanya.
Lihat Juga: Tingkatkan Kompetensi Jurnalis, PEPC JTB dan IJTI Gelar Uji Kompetensi Wartawan di Bojonegoro
(abd)