Jakarta yang Terlalu Longgar
loading...
A
A
A
PANDEMI Covid-19 jauh dari akhir. Hingga hari ini, belum satu Negara pun yang berhasil menemukan vaksin virus asal Wuhan, China itu. Meski banyak yang mengaku sudah menemukan vaksin virus yang penularannya cepat itu, namun baru sebatas klaim. Belum ada uji klinis yang menunjukkan bahwa klaim tersebut benar. Belum tuntasnya pandemi, dan potensi adanya gelombang kedua wabah membuat negara-negara di dunia tetap waspada dan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Meskipun ada pula negara yang percaya diri dengan melonggarkan dan membebaskan warganya pergi kemana saja tanpa menerapkan protokol yang ketat. Seperti tanpa menggunakan masker dan tak menghiraukan jaga jarak. Di Amerika Serikat (AS), dan beberapa negara Eropa perilaku itu semakin terlihat. Mungkin, masyarakat di negara-negara itu yakin dengan kemampuan negaranya dalam menangani wabah. Fasilitas kesehatannya lengkap, terakses dengan baik, begitu pula tenaga medisnya. Sehingga, bepergian tanpa menggunakan masker dianggap hal yang biasa. Bahkan, saat melakukan demonstrasi seperti yang terjadi di AS.
Namun, tindakan tersebut tak layak jika diadopsi di Indonesia. Dengan infrastruktur dan sistem kesehatan yang jauh tertinggal, sangat riskan mengabaikan protokol kesehatan seperti yang dilakukan masyarakat di negara-negara maju itu. Lihat saja Jakarta, yang sejak dilakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan tagline PSBB transisi, jumlah kasus warga yang terpapar Covid-19 terus naik. Bahkan, pekan lalu, Jakarta menjadi daerah dengan penambahan kasus tertinggi di Indonesia. Selama tiga kali dalam kurun satu pekan.
Protokol kesehatan berupa penggunaan masker selama pandemi Covid-19 seharusnya sudah menjadi kewajiban tak sekadar kebiasaan. Tetapi, tetap saja banyak yang melanggar aturan itu. Banyak warung yang sudah diperbolehkan buka tak menerapkan protokol kesehatan. Pemilik warung atau pramusaji kerap terlihat tidak menggunakan masker. Bisa dibayangkan apabila pelayan sebuah warung makan terpapar Covid-19, tentu penularan akan terjadi secara masif.
Pusat perbelanjaan juga setali tiga uang. Mal papan atas seperti Senayan City maupun Kota Kasablanka misalnya, tak mampu melakukan pengawasan yang layak kepada pengunjung dan tenant-nya. Masih ditemui pengunjung yang tak menggunakan masker bebas melenggang di dalam mal. Juga di mal Kota Kasablanka, dimana ada tenant makanan pelayannya tidak menggunakan masker. Padahal mereka meracik dan menyiapkan makanan yang akan disantap pengunjung.
Pada saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor yang diterapkan setiap hari Minggu banyak warga ibukota yang berlalu lalang di jalan tanpa menggunakan masker. Hal yang sama juga sering terlihat di daerah perkampungan. Protokol kesehatan yang seharusnya dipatuhi, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan banyak diabaikan oleh warga Jakarta.
Padahal, kedisiplinan masyarakat menjadi salah satu kunci utama pengendalian Covid-19. Pemprov DKI seharusnya bisa membuat masyarakat lebih disiplin menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah membludaknya penduduk yang terserang virus. Para ahli menilai, tingginya kasus baru Covid-19 di Jakarta salah satunya disebabkan sejumlah pelonggaran pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Padahal, dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang sangat rendah, PSBB di Jakarta seharusnya tidak dilonggarkan. Sejumlah pelonggaran itu membuat seluruh sektor tampak kembali berjalan normal. Masyarakat merasa pandemi Covid-19 sudah berakhir. Kelengahan itulah yang berimbas pada kembali naiknya penularan Covid-19.
Pelonggaran dengan dalih masa transisi, menyebabkan kontrol dan pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan juga menjadi longgar. Meskipun sejatinya, Pemprov DKI Jakarta tak benar-benar melakukan protokol kesehatan yang ketat saat puncak pandemi pada April-Mei 2020 lalu. Buktinya, banyak gerai makanan di kawasan Kemang dan Cipete yang buka hingga menjelang pagi. Dan tak ada satupun yang mendapat teguran. Bahkan, para pegawai yang bekerja di gerai makanan di kawasan itu, tak pernah melakukan tes kesehatan termasuk screening apakah terpapar Covid-19 atau tidak. Mereka dibiarkan bebas berinteraksi dengan siapapun, sampai sekarang. Yang terjadi di Jakarta saat ini, protokol kesehatan belum ditegakkan, tetapi kontrol kesehatan sudah dilonggarkan. Penegakan hukum pun tak tegas. Sehingga masyarakat maupun pelaku usaha kini semakin bebas melakukan apa saja tanpa khawatir mendapatkan sanksi.
Meskipun ada pula negara yang percaya diri dengan melonggarkan dan membebaskan warganya pergi kemana saja tanpa menerapkan protokol yang ketat. Seperti tanpa menggunakan masker dan tak menghiraukan jaga jarak. Di Amerika Serikat (AS), dan beberapa negara Eropa perilaku itu semakin terlihat. Mungkin, masyarakat di negara-negara itu yakin dengan kemampuan negaranya dalam menangani wabah. Fasilitas kesehatannya lengkap, terakses dengan baik, begitu pula tenaga medisnya. Sehingga, bepergian tanpa menggunakan masker dianggap hal yang biasa. Bahkan, saat melakukan demonstrasi seperti yang terjadi di AS.
Namun, tindakan tersebut tak layak jika diadopsi di Indonesia. Dengan infrastruktur dan sistem kesehatan yang jauh tertinggal, sangat riskan mengabaikan protokol kesehatan seperti yang dilakukan masyarakat di negara-negara maju itu. Lihat saja Jakarta, yang sejak dilakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan tagline PSBB transisi, jumlah kasus warga yang terpapar Covid-19 terus naik. Bahkan, pekan lalu, Jakarta menjadi daerah dengan penambahan kasus tertinggi di Indonesia. Selama tiga kali dalam kurun satu pekan.
Protokol kesehatan berupa penggunaan masker selama pandemi Covid-19 seharusnya sudah menjadi kewajiban tak sekadar kebiasaan. Tetapi, tetap saja banyak yang melanggar aturan itu. Banyak warung yang sudah diperbolehkan buka tak menerapkan protokol kesehatan. Pemilik warung atau pramusaji kerap terlihat tidak menggunakan masker. Bisa dibayangkan apabila pelayan sebuah warung makan terpapar Covid-19, tentu penularan akan terjadi secara masif.
Pusat perbelanjaan juga setali tiga uang. Mal papan atas seperti Senayan City maupun Kota Kasablanka misalnya, tak mampu melakukan pengawasan yang layak kepada pengunjung dan tenant-nya. Masih ditemui pengunjung yang tak menggunakan masker bebas melenggang di dalam mal. Juga di mal Kota Kasablanka, dimana ada tenant makanan pelayannya tidak menggunakan masker. Padahal mereka meracik dan menyiapkan makanan yang akan disantap pengunjung.
Pada saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor yang diterapkan setiap hari Minggu banyak warga ibukota yang berlalu lalang di jalan tanpa menggunakan masker. Hal yang sama juga sering terlihat di daerah perkampungan. Protokol kesehatan yang seharusnya dipatuhi, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan banyak diabaikan oleh warga Jakarta.
Padahal, kedisiplinan masyarakat menjadi salah satu kunci utama pengendalian Covid-19. Pemprov DKI seharusnya bisa membuat masyarakat lebih disiplin menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah membludaknya penduduk yang terserang virus. Para ahli menilai, tingginya kasus baru Covid-19 di Jakarta salah satunya disebabkan sejumlah pelonggaran pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Padahal, dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang sangat rendah, PSBB di Jakarta seharusnya tidak dilonggarkan. Sejumlah pelonggaran itu membuat seluruh sektor tampak kembali berjalan normal. Masyarakat merasa pandemi Covid-19 sudah berakhir. Kelengahan itulah yang berimbas pada kembali naiknya penularan Covid-19.
Pelonggaran dengan dalih masa transisi, menyebabkan kontrol dan pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan juga menjadi longgar. Meskipun sejatinya, Pemprov DKI Jakarta tak benar-benar melakukan protokol kesehatan yang ketat saat puncak pandemi pada April-Mei 2020 lalu. Buktinya, banyak gerai makanan di kawasan Kemang dan Cipete yang buka hingga menjelang pagi. Dan tak ada satupun yang mendapat teguran. Bahkan, para pegawai yang bekerja di gerai makanan di kawasan itu, tak pernah melakukan tes kesehatan termasuk screening apakah terpapar Covid-19 atau tidak. Mereka dibiarkan bebas berinteraksi dengan siapapun, sampai sekarang. Yang terjadi di Jakarta saat ini, protokol kesehatan belum ditegakkan, tetapi kontrol kesehatan sudah dilonggarkan. Penegakan hukum pun tak tegas. Sehingga masyarakat maupun pelaku usaha kini semakin bebas melakukan apa saja tanpa khawatir mendapatkan sanksi.
(ras)