Ferdy Sambo Divonis Hukuman Mati, Kinerja Polri Diapresiasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terdakwa Ferdy Sambo telah divonis hukuman mati dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengapresiasi kinerja Polri, Kejaksaan, dan Majelis Hakim dalam menangani kasus tersebut.
Pasalnya, kasus pembunuhan yang melibatkan Mantan Kepala Divisi (Kadiv) Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo itu dianggap bukan perkara mudah. “Kasus Ferdy Sambo ini bukan perkara mudah, dengan berbagai alat bukti yang sudah tidak ideal. Tapi kita apresiasi kinerja tiga lembaga ini (Polri, kejaksaan, dan pengadilan, red) secara keseluruhan,” ujar Eva, Kamis (16/2/2023).
Dia menuturkan, kasus Ferdy Sambo akhinya dibawa ke pengadilan dengan berbagai kesulitan yang dialami polisi maupun jaksa. Hukuman maksimal yang dijatuhkan kepada para terdakwa merupakan hasil proses yang dilakukan aparat penegak hukum mulai dari polisi, kejaksaan, hingga hakim.
Diakuinya bahwa kasus pembunuhan Brigadir J memang unik karena pelakunya adalah polisi. Di samping itu ada obstruction of justice dalam kasus tersebut, sehingga banyak alat bukti yang sudah hilang.
Dia melanjutkan, karena dikasih alat bukti seadanya, Jaksa cukup mengalami kesulitan dan bekerja dengan keterbatasan. “Ibarat mau motong daging pakai pisau, tapi adanya hanya sendok atau garpu,” ungkapnya.
Namun, lanjut dia, untungnya hakim sangat aktif dalam proses hukum kasus tersebut. Berbeda dengan penanganan kasus-kasus lain, yang hakimnya cenderung pasif dan menyerahkan pertanyaan-pertanyaan, pembuktian, dan analisis kepada Jaksa.
Dia melihat hakim sangat aktif bertanya langsung di persidangan dalam kasus Ferdy Sambo. Hal tersebut didukung oleh keterangan dari justice collaborator Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E. Peran Richard Eliezer dalam persidangan pun membantu Hakim maupun Jaksa Penuntut Umum menggali lebih dalam kasus tersebut di persidangan.
Mengenai hukuman mati terhadap suami Putri Candrawathi itu, dia menilai dakwaan Ferdy Sambo kumulatif. Bukan hanya perencanaan pembunuhan tetapi juga obstruction of justice. "Dan tindakan itu dilakukan dalam jabatannya, sehingga lebih mudah. Dia perwira polisi, pegang senjata. Itu lebih mudah dari kita yang sipil yang tidak pegang senjata,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan hitungan matematika hukum pidana, hukumannya memang hukuman mati. “Jadi wajar Hakim menjatuhkan hukuman mati (ke Ferdy Sambo, Red),” pungkasnya.
Diketahui, Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menyampaikan bahwa tidak ada hal yang meringankan Ferdy Sambo dalam kasus tersebut.
Ada tujuh hal yang memberatkan hukuman Ferdy Sambo. Salah satunya, perbuatan Ferdy Sambo dilakukan terhadap ajudan sendiri yang telah mengabdi selama tiga tahun.
Kedua, perbuatannya mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga Brigadir J. Sedangkan yang ketiga adalah perbuatan Ferdy Sambo menyebabkan kegaduhan di masyarakat.
Lalu, keempat, perbuatannya dianggap tidak pantas dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Selanjutnya, yakni kelima bahwa Ferdy Sambo dianggap telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia.
Keenam, perbuatannya menyebabkan anggota Polri lainnya terlibat. Ketujuh, Ferdy Sambo dianggap berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya.
Pasalnya, kasus pembunuhan yang melibatkan Mantan Kepala Divisi (Kadiv) Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo itu dianggap bukan perkara mudah. “Kasus Ferdy Sambo ini bukan perkara mudah, dengan berbagai alat bukti yang sudah tidak ideal. Tapi kita apresiasi kinerja tiga lembaga ini (Polri, kejaksaan, dan pengadilan, red) secara keseluruhan,” ujar Eva, Kamis (16/2/2023).
Dia menuturkan, kasus Ferdy Sambo akhinya dibawa ke pengadilan dengan berbagai kesulitan yang dialami polisi maupun jaksa. Hukuman maksimal yang dijatuhkan kepada para terdakwa merupakan hasil proses yang dilakukan aparat penegak hukum mulai dari polisi, kejaksaan, hingga hakim.
Diakuinya bahwa kasus pembunuhan Brigadir J memang unik karena pelakunya adalah polisi. Di samping itu ada obstruction of justice dalam kasus tersebut, sehingga banyak alat bukti yang sudah hilang.
Dia melanjutkan, karena dikasih alat bukti seadanya, Jaksa cukup mengalami kesulitan dan bekerja dengan keterbatasan. “Ibarat mau motong daging pakai pisau, tapi adanya hanya sendok atau garpu,” ungkapnya.
Namun, lanjut dia, untungnya hakim sangat aktif dalam proses hukum kasus tersebut. Berbeda dengan penanganan kasus-kasus lain, yang hakimnya cenderung pasif dan menyerahkan pertanyaan-pertanyaan, pembuktian, dan analisis kepada Jaksa.
Dia melihat hakim sangat aktif bertanya langsung di persidangan dalam kasus Ferdy Sambo. Hal tersebut didukung oleh keterangan dari justice collaborator Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E. Peran Richard Eliezer dalam persidangan pun membantu Hakim maupun Jaksa Penuntut Umum menggali lebih dalam kasus tersebut di persidangan.
Mengenai hukuman mati terhadap suami Putri Candrawathi itu, dia menilai dakwaan Ferdy Sambo kumulatif. Bukan hanya perencanaan pembunuhan tetapi juga obstruction of justice. "Dan tindakan itu dilakukan dalam jabatannya, sehingga lebih mudah. Dia perwira polisi, pegang senjata. Itu lebih mudah dari kita yang sipil yang tidak pegang senjata,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dengan hitungan matematika hukum pidana, hukumannya memang hukuman mati. “Jadi wajar Hakim menjatuhkan hukuman mati (ke Ferdy Sambo, Red),” pungkasnya.
Diketahui, Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menyampaikan bahwa tidak ada hal yang meringankan Ferdy Sambo dalam kasus tersebut.
Ada tujuh hal yang memberatkan hukuman Ferdy Sambo. Salah satunya, perbuatan Ferdy Sambo dilakukan terhadap ajudan sendiri yang telah mengabdi selama tiga tahun.
Kedua, perbuatannya mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga Brigadir J. Sedangkan yang ketiga adalah perbuatan Ferdy Sambo menyebabkan kegaduhan di masyarakat.
Lalu, keempat, perbuatannya dianggap tidak pantas dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Selanjutnya, yakni kelima bahwa Ferdy Sambo dianggap telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia.
Keenam, perbuatannya menyebabkan anggota Polri lainnya terlibat. Ketujuh, Ferdy Sambo dianggap berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya.
(rca)