Warisan Identitas Bangsa AR Baswedan

Minggu, 28 Juni 2015 - 10:43 WIB
Warisan Identitas Bangsa AR Baswedan
Warisan Identitas Bangsa AR Baswedan
A A A
Salah satu nama pejuang Indonesia sebagai anggota Badan Perencanaan Upaya Persiapan Kemerdekaan (BUPK), yaitu AR Baswedan. Nama ini umumnya kurang dikenal.

Padahal, jasa dan sumbangsihnya terhadap bangsa Indonesia cukup besar. Salah satunya adalah menanamkan identitas keindonesiaan dan menumbuhkan rasa cinta Tanah Air, baik untuk pribumi maupun warga keturunan (Indo) seperti dirinya. AR Baswedan merupakan salah satu tokoh pejuang Indonesia yang berdarah Arab.

Dalam Peluncuran Buku AR Baswedan: Sang Perintis , dua pekan lalu, di Jakarta, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menilai, seorang AR Baswedan adalah tokoh perjuangan yang mengedepankan nilai-nilai santun yang edukatif. AR Baswedan, yang juga merupakan kakek kandung Menteri Pendidikan ini, adalah pribadi yang tak segan menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang Indonesia yang berdarah Arab.

Hal itu tergambar pada tahun 1930 ketika seorang AR Baswedan yang berdarah Arab mem-prioritaskan kemerdekaan Indonesia ketimbang kemerdekaan Palestina. Sontak, hal tersebut mengundang kemarahan warga Indonesia keturunan Arab yang ada di sekelilingnya. “Ketika 1930, saat Eyang (AR Baswedan) lebih memprioritaskan kemerdekaan Indonesia ketimbang Palestina, sontak ia dimusuhi oleh kolega-kolega Arabnya,” ujarnya, mengenang.

Namun, demi rasa cinta dan sikap nasionalismenya terhadap Indonesia, keteguhan tersebut terus diemban AR Baswedan. AR Baswedan tak menanggalkan identitasnya sebagai seorang Indo-Arab, tapi menjadikan identitasnya tersebut sebagai pengisi kebinekaan di Indonesia, sebuah negeri baru yang ia perjuangkan. Anies pun mengisahkan, bagaimana kakeknya, selain menjadi anggota BPUPK, juga pernah menggadaikan nyawa untuk Indonesia.

Ketika itu, di saat Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda tidak serta merta mengakui kemerdekaan tersebut. Pengakuan kemerdekaan dari negara-negara lain menjadi penting di masa itu untuk Indonesia. Maka, ketika Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, AR Baswedan yang menjadi pembawa surat pengakuan kemerdekaan tersebut ke Indonesia.

Di tengah situasi yang mencekam dengan pengawasan ketat Belanda, AR Baswedan menyembunyikan surat pengakuan kemerdekaan dari Mesir tersebut di dalam kaus kakinya. “Mungkin tidak banyak orang yang tahu perihal peran Eyang dalam kemerdekaan Indonesia. Beliaulah yang membawa surat pengakuan kemerdekaan dari Mesir. Surat itu diselipkan di kaus kakinya agar tidak direbut Belanda,” ujarnya.

Keberanian AR Baswedan dalam upaya memproklamasikan identitasnya sebagai Indo- Arab yang nasionalis tak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1934, AR Baswedan berfoto mengenakan blankon Jawa. Selain menuai kemarahan dari kolega-kolega Arabnya, AR Baswedan juga dituding menghina kebudayaan Jawa oleh pribumi. Namun, ia tetap kukuh terhadap pendiriannya membangun identitas sebagai seorang Indonesia.

Ia adalah generasi keempat Arab-Yaman, yang bersuku Jawa, dan bernegara Indonesia, seolah hal tersebutlah yang coba disampaikan AR Baswedan ketika itu. Perjuangan yang sungguh berat dan rumit. Direktur Yayasan National Building (NABIL) Didi menyatakan, banyak warisan AR Baswedan yang patut diapresiasi. Bukan hanya oleh generasi penerus, melainkan juga oleh negara. AR Baswedan menanamkan identitas sebagai seorang Indonesia.

Perjuangannya sebagai warisan untuk Indonesia di bidang sosial, politik, dan budaya sangat berharga. Sebuah pelajaran yang patut ditiru oleh generasi muda Indonesia yang dalam kondisi kritis identitas. Bagaimana globalisasi seolah menjadi hama penyerang generasi muda sehingga dengan mudah menanggalkan identitasnya sebagai seorang Indonesia.

Bagaimana dengan mudah gene-rasi muda menjunjung tinggi kebudayaan bangsa lain dan secara bersamaan tak menaruh rasa bangga terhadap budaya sendiri. Jangankan untuk bangga terhadap identitas Indonesia, mempertahankan identitas pun rasanya sulit jika generasi muda tak ingin belajar dari warisan-warisan pejuang semisal AR Baswedan.

Menurutnya, AR Baswedan sebagai tokoh silang budaya menarik diamati. Bagaimana ia yang merupakan Indo-Arab tak seperti Indo-Arab pada umumnya ketika itu, yang menganggap bahasa Belanda dan bahasabahasa di Eropa adalah bahasa kafir. Ia (AR Baswedan) justru mempelajari bahasa-bahasa “kafir” tersebut untuk mempelajari kelemahan Belanda dan mendukung perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan.

AR Baswedan yang berdarah Arab kemudian memproklamasikan identitasnya sebagai seorang Indonesia yang sekaligus tak takut untuk mempelajari ilmu dengan metode Barat. Sebuah paduan budaya yang menarik antara Arab, Barat, dan Indonesia. Apresiasi terbaik yang mestinya diberikan negara adalah gelar Pahlawan Nasional. Hal itu patut diberikan dari negara kepada AR Baswedan sebagai tokoh pejuang Indo yang berdarah Arab.

Di Indonesia, gelar Pahlawan Nasional untuk pejuang Indo- China sudah ada, namun gelar tersebut belum disematkan kepada tokoh pejuang Indo- Arab. Hal tersebutlah yang mendorong NABIL untuk mengajukan AR Baswedan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional karena dinilai tepat.

“Gelar Pahlawan Nasional untuk pejuang Indo-China sudah ada, namun gelar tersebut belum disematkan kepada pejuang Indo-Arab. Bagi kami (NABIL), kriteria terhadap AR Baswedan sudah tepat untuk diajukan sebagai penerima gelar Pahlawan Nasional,” ujarnya.

Imas damayanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7675 seconds (0.1#10.140)