Rekomendasi Izin Praktik Dokter dan Kemandirian Profesi
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (2012–2015)
Sejak Ahad (29/01) malam, dunia kesehatan secara khusus dunia kedokteran Indonesia dihebohkan oleh pernyatan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang menyinggung adanya uang setoran yang harus disampaikan dokter ke pihak tertentu untuk mendapatkan rekomendasi izin praktik. Ia juga menuding Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukanabuse of power.
Hal ini menjadi perhatian serius sebab pernyataan Menkes pada webinar IDI Wilayah Riau dikutip oleh berbagai media. Dan, menjadi lebih serius lagi sebab pernyatan tersebut ditanggapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melalui media.
Pihak KPK minta agar Menkes mau melaporkan temuan jual beli izin praktik dokter itu ke KPK. Artinya, Menkes betul-betul harus membutkikan pernyataannya bila tidak mau disebut penyebar fitnah.
Terkait rekomendasi IDI yang dipersoalkan oleh mantan dirut MIND ID itu, sebetulnya syaratnya tidak banyak. Dokter pemohon hanya diminta mengajukan permohonan kepada IDI Cabang agar dibuatkan surat rekomendasi dalam rangka mengurus surat izin praktik (SIP) di dinas kesehatan.
Kemudian menunjukan ijazah legalisir asli, surat tanda registrasi (SRT), bukti lunas iuan anggota, membayar biaya pengurusan rekomendasi, tidak sedang menjalani sanksi berat organisasi/etik/disiplin/hukum dan mengikuti pembekalan oleh Komite Rekomendasi Izin Praktik (KRIP).
Rekomendasi IDI
Sebenarnya, dokter yang meminta surat rekomendasi izin praktik hanya perlu menunjukkan kesungguhan untuk menjaga perilaku dan kemampuan profesinya. Tujuannya, agar dinas kesehatan yang akan mengeluarkan surat izin praktik (SIP) tidak repot dan percaya bahwa orang yang akan melayanani kesehatan masyarat di daerahnya memang benar dokter atau dokter spesialis yang kompetan serta tidak bermasalah secara etik, disiplin dan hukum.
Bahwa pemohon perlu mengeluarkan biaya untuk pengurusan rekomendasi memang betul dan itu resmi. Bukan pungutan liar. Bagi dokter yang selama lima tahun lalai membayar iuran bulanan, tentu akan diminta melunasi sesuai tententuan IDI.
Menurutwww.idikotabekasi.org, iuran bulanan anggota IDI mengacu kepada Keputusan Muktamar IDI ke-XXX, yakni Rp30.000/bulan. Dengan pendistribusian: Pengurus Besar (Rp1.500), Pengurus Wilayah (Rp3.000), dan Pengurus Cabang (Rp25.500)
Dalam pemberian surat rekomendasi, Pengurus Cabang IDI tidak ikut campur dalam urusan penempatan dokter, lokasi tempat praktik, dan asal-muasal dokter yang meminta. Hal ini untuk menghindari kemungkinanlike and dislike.
Karena itu, tidak berdasar jika Menkes mengatakan pemberian surat rekomendasi IDI menghambat penempatan dokter di daerah. Lagi pula, bukankah permohonan rekomendasi kepada IDI Cabang itu terjadi setelah dokter tersebut ditempatkan atau didistribuskan di daerah?
Terkait tudingan Menkes bahwa IDI menerima setoran danabuse of power,tentu hal tersebut perlu dibuktikan sendiri olehnya. IDI pasti sangat berlapang dada menerima bila semua kritik dan tudingan itu dapat dibuktikan dan disampaikan kepada IDI. Bukti ini juga dapat menjadi dasar bagi IDI untuk melakukan pembenahan secara internal.
Namun, jika tudingan itu hanya dimaksudkan untuk melemahkan fungsi dan wewenang IDI dalam menerbitkan surat rekomendasi izin praktik dokter dan sebagai jalan memudahkan masuknya dokter asing berpraktik ke Indonesia, tentu persolannya menjadi lain. IDI yang beranggotakan kaum profesional dan cendekia tentu boleh bersuara dan bersikap kritis kepada Menkes.
Selama ini memang dokter asing itu hanya diperkenakan berpraktik di Indonesia untuk keperluan alih ilmu pengetahuan dan teknologi. Itu pun harus ada permintaan dari institusi pendidikan kedokteran, organisasi profesi (PB IDI), dan Kementerain Kesehatan. Dengan ketentuan bahwa kompetensi yang dimiliki dokter asing tersebut memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat bangsa Indonesia, sementara dokter Indonesia sendiri belum ada yang memiliki penguasaan atas kompetensi tersebut.
Dokter asing untuk alih ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut juga wajib memiliki surat tanda registrasi (STR) sementara dan surat izin praktik (SIP) sementara sesuai UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.
Syarat masuknya dokter asing berpraktik di Indonesia memang cukup ketat. Sebab, kita tidak ingin dokter asing masuk itu adalah dokter tidak kompeten. Kita juga tidak ingin dokter asing itu buangan karena buruk perilaku dan tidak laku di negara asalnya. Karena itu, syaratnya tidak semudah masuknya tenaga kerja/buruh kasar asing bekerja di Indonesia tanpa perlu seleksi dan rekomensai dari organisasi pekerja Indonesia.
Profesi Mandiri
Orang awam tidak akan mampu memahami secara jelas suasana batin dan hal yang baik serta hal yang buruk dari profesi dokter. Hal ini sejalan dengan pandangan Bernard Knigh, yang dikutip Dr. Kartono Mohamad dalam buku “Dari Halal-Haramnya Rokok hingga Hukum Kebiri”.
Bernard Knigh mengatakan:There was nothing to enable the public to distinguish properly training doctor from quacks.“Tidak ada kemampuan pada orang awam untuk dapat membedakan mana dokter yang sungguh-sungguh terdidik baik dan mana yang palsu.”
Karena itu masyarakat awam sangat memercayai bahwa kelompok profesi inilah yang seharusnya mengatur dirinya sendiri. Masyarakat juga percaya bahwa kelompok profesi ini akan selalu menjaga citra mereka secara mandiri dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadapnya. Kemandirian profesi ini diperoleh melalui pengakuan (recognized) masyarakat karena kekhususan bilang ilmu yang mendasarinya.
Mengapa masyarakat awam sangat percaya? Karena pada diri profesi dokter itu melekat kriteria khusus yang selalu terpelihara.Pertama, memiliki ilmu dan pengetahuan kedokteran optimal yang diperolehnya melalui suatu pendidikan formal di sekolah kedokteran.Kedua, memberikan pelayanan yang dinilai dan dipercaya oleh masyarakat sebagai suatu yang sangat bermanfaat.Ketiga, memiliki otonomi untuk memutuskan dan mengawasi pekerjaannya sendiri.
Kempat, menghormati apa yang menjadi hak orang lain (pasien) sebagai wujud prinsip keadilan.Kelima, bersikap ikhlas dalam memberi pelayanan dengan mengutamakan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadi atau keluarganya (altruistik).Keenam,selalu mempertahankan etika profesinya sekalipun masyarakat atau bahkan pemerintah dan negara berkehendak lain.
Kemandirian atau independensi ini pula yang menjadi alasan mengapa organisasi profesi dokter tidak boleh menjadi bawahan (subordinated) instansi tertentu, termasuk pemerintah. Sebab, hanya dengan posisi semacam itu organisasi profesi dokter akan mampu mengatur dirinya sendiri demi menjaga kepercayaan masyarakat.
Bahwa dalam kesehariannya bisa saja timbul sikap egois yang bertentangan dengan sifat altruisme profesi. Hal tersebut tentu perlu disanggah dan diluruskan. Karena itu, bagi masyarakat yang mengetahui adanya penyimpangan tersebut diharapkan menyampaikan kepada IDi sebagai induk organisasi para dokter di Indonesia untuk dilakukan perbaikan.
Catatan Akhir
Pemberian rekomendasi IDI bagi dokter yang ingin mengurus surat izin praktik di dinas kesehatan merupakan bagian dari kemandirian organisasi profesi dokter. Pemberian rekomendasi tersebut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral organisasi profesi untuk menilai apakah pemohon benar adalah dokter atau dokter spesialis. Juga menilai apakah yang pemohon masih kompeten serta tidak sedang bermasalah secara etik, disiplin, dan hukum.
Pemberian rekomendasi juga menunjukkan bahwa IDI berkomitmen untuk membantu pemerintah memantau dokter penerima rekomendasi dalam praktik kesehariannya. Baik terkait kompetensinya maupun perilakuknya, sebagaimana pendapat Bernard Knigh di atas.
Soal pernyataan Menkes bahwa ada jual beli izin praktik dokter, uang setoran, danabuse of power,biar yang bersangkutan sendiri yang membuktikannya.Wallahu a'lam bishawab.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (2012–2015)
Sejak Ahad (29/01) malam, dunia kesehatan secara khusus dunia kedokteran Indonesia dihebohkan oleh pernyatan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang menyinggung adanya uang setoran yang harus disampaikan dokter ke pihak tertentu untuk mendapatkan rekomendasi izin praktik. Ia juga menuding Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melakukanabuse of power.
Hal ini menjadi perhatian serius sebab pernyataan Menkes pada webinar IDI Wilayah Riau dikutip oleh berbagai media. Dan, menjadi lebih serius lagi sebab pernyatan tersebut ditanggapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melalui media.
Pihak KPK minta agar Menkes mau melaporkan temuan jual beli izin praktik dokter itu ke KPK. Artinya, Menkes betul-betul harus membutkikan pernyataannya bila tidak mau disebut penyebar fitnah.
Terkait rekomendasi IDI yang dipersoalkan oleh mantan dirut MIND ID itu, sebetulnya syaratnya tidak banyak. Dokter pemohon hanya diminta mengajukan permohonan kepada IDI Cabang agar dibuatkan surat rekomendasi dalam rangka mengurus surat izin praktik (SIP) di dinas kesehatan.
Kemudian menunjukan ijazah legalisir asli, surat tanda registrasi (SRT), bukti lunas iuan anggota, membayar biaya pengurusan rekomendasi, tidak sedang menjalani sanksi berat organisasi/etik/disiplin/hukum dan mengikuti pembekalan oleh Komite Rekomendasi Izin Praktik (KRIP).
Rekomendasi IDI
Sebenarnya, dokter yang meminta surat rekomendasi izin praktik hanya perlu menunjukkan kesungguhan untuk menjaga perilaku dan kemampuan profesinya. Tujuannya, agar dinas kesehatan yang akan mengeluarkan surat izin praktik (SIP) tidak repot dan percaya bahwa orang yang akan melayanani kesehatan masyarat di daerahnya memang benar dokter atau dokter spesialis yang kompetan serta tidak bermasalah secara etik, disiplin dan hukum.
Bahwa pemohon perlu mengeluarkan biaya untuk pengurusan rekomendasi memang betul dan itu resmi. Bukan pungutan liar. Bagi dokter yang selama lima tahun lalai membayar iuran bulanan, tentu akan diminta melunasi sesuai tententuan IDI.
Menurutwww.idikotabekasi.org, iuran bulanan anggota IDI mengacu kepada Keputusan Muktamar IDI ke-XXX, yakni Rp30.000/bulan. Dengan pendistribusian: Pengurus Besar (Rp1.500), Pengurus Wilayah (Rp3.000), dan Pengurus Cabang (Rp25.500)
Dalam pemberian surat rekomendasi, Pengurus Cabang IDI tidak ikut campur dalam urusan penempatan dokter, lokasi tempat praktik, dan asal-muasal dokter yang meminta. Hal ini untuk menghindari kemungkinanlike and dislike.
Karena itu, tidak berdasar jika Menkes mengatakan pemberian surat rekomendasi IDI menghambat penempatan dokter di daerah. Lagi pula, bukankah permohonan rekomendasi kepada IDI Cabang itu terjadi setelah dokter tersebut ditempatkan atau didistribuskan di daerah?
Terkait tudingan Menkes bahwa IDI menerima setoran danabuse of power,tentu hal tersebut perlu dibuktikan sendiri olehnya. IDI pasti sangat berlapang dada menerima bila semua kritik dan tudingan itu dapat dibuktikan dan disampaikan kepada IDI. Bukti ini juga dapat menjadi dasar bagi IDI untuk melakukan pembenahan secara internal.
Namun, jika tudingan itu hanya dimaksudkan untuk melemahkan fungsi dan wewenang IDI dalam menerbitkan surat rekomendasi izin praktik dokter dan sebagai jalan memudahkan masuknya dokter asing berpraktik ke Indonesia, tentu persolannya menjadi lain. IDI yang beranggotakan kaum profesional dan cendekia tentu boleh bersuara dan bersikap kritis kepada Menkes.
Selama ini memang dokter asing itu hanya diperkenakan berpraktik di Indonesia untuk keperluan alih ilmu pengetahuan dan teknologi. Itu pun harus ada permintaan dari institusi pendidikan kedokteran, organisasi profesi (PB IDI), dan Kementerain Kesehatan. Dengan ketentuan bahwa kompetensi yang dimiliki dokter asing tersebut memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat bangsa Indonesia, sementara dokter Indonesia sendiri belum ada yang memiliki penguasaan atas kompetensi tersebut.
Dokter asing untuk alih ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut juga wajib memiliki surat tanda registrasi (STR) sementara dan surat izin praktik (SIP) sementara sesuai UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.
Syarat masuknya dokter asing berpraktik di Indonesia memang cukup ketat. Sebab, kita tidak ingin dokter asing masuk itu adalah dokter tidak kompeten. Kita juga tidak ingin dokter asing itu buangan karena buruk perilaku dan tidak laku di negara asalnya. Karena itu, syaratnya tidak semudah masuknya tenaga kerja/buruh kasar asing bekerja di Indonesia tanpa perlu seleksi dan rekomensai dari organisasi pekerja Indonesia.
Profesi Mandiri
Orang awam tidak akan mampu memahami secara jelas suasana batin dan hal yang baik serta hal yang buruk dari profesi dokter. Hal ini sejalan dengan pandangan Bernard Knigh, yang dikutip Dr. Kartono Mohamad dalam buku “Dari Halal-Haramnya Rokok hingga Hukum Kebiri”.
Bernard Knigh mengatakan:There was nothing to enable the public to distinguish properly training doctor from quacks.“Tidak ada kemampuan pada orang awam untuk dapat membedakan mana dokter yang sungguh-sungguh terdidik baik dan mana yang palsu.”
Karena itu masyarakat awam sangat memercayai bahwa kelompok profesi inilah yang seharusnya mengatur dirinya sendiri. Masyarakat juga percaya bahwa kelompok profesi ini akan selalu menjaga citra mereka secara mandiri dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadapnya. Kemandirian profesi ini diperoleh melalui pengakuan (recognized) masyarakat karena kekhususan bilang ilmu yang mendasarinya.
Mengapa masyarakat awam sangat percaya? Karena pada diri profesi dokter itu melekat kriteria khusus yang selalu terpelihara.Pertama, memiliki ilmu dan pengetahuan kedokteran optimal yang diperolehnya melalui suatu pendidikan formal di sekolah kedokteran.Kedua, memberikan pelayanan yang dinilai dan dipercaya oleh masyarakat sebagai suatu yang sangat bermanfaat.Ketiga, memiliki otonomi untuk memutuskan dan mengawasi pekerjaannya sendiri.
Kempat, menghormati apa yang menjadi hak orang lain (pasien) sebagai wujud prinsip keadilan.Kelima, bersikap ikhlas dalam memberi pelayanan dengan mengutamakan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadi atau keluarganya (altruistik).Keenam,selalu mempertahankan etika profesinya sekalipun masyarakat atau bahkan pemerintah dan negara berkehendak lain.
Kemandirian atau independensi ini pula yang menjadi alasan mengapa organisasi profesi dokter tidak boleh menjadi bawahan (subordinated) instansi tertentu, termasuk pemerintah. Sebab, hanya dengan posisi semacam itu organisasi profesi dokter akan mampu mengatur dirinya sendiri demi menjaga kepercayaan masyarakat.
Bahwa dalam kesehariannya bisa saja timbul sikap egois yang bertentangan dengan sifat altruisme profesi. Hal tersebut tentu perlu disanggah dan diluruskan. Karena itu, bagi masyarakat yang mengetahui adanya penyimpangan tersebut diharapkan menyampaikan kepada IDi sebagai induk organisasi para dokter di Indonesia untuk dilakukan perbaikan.
Catatan Akhir
Pemberian rekomendasi IDI bagi dokter yang ingin mengurus surat izin praktik di dinas kesehatan merupakan bagian dari kemandirian organisasi profesi dokter. Pemberian rekomendasi tersebut merupakan salah satu bentuk tanggung jawab moral organisasi profesi untuk menilai apakah pemohon benar adalah dokter atau dokter spesialis. Juga menilai apakah yang pemohon masih kompeten serta tidak sedang bermasalah secara etik, disiplin, dan hukum.
Pemberian rekomendasi juga menunjukkan bahwa IDI berkomitmen untuk membantu pemerintah memantau dokter penerima rekomendasi dalam praktik kesehariannya. Baik terkait kompetensinya maupun perilakuknya, sebagaimana pendapat Bernard Knigh di atas.
Soal pernyataan Menkes bahwa ada jual beli izin praktik dokter, uang setoran, danabuse of power,biar yang bersangkutan sendiri yang membuktikannya.Wallahu a'lam bishawab.
(ynt)