Bicara Industri Pers, Dekan Fikom Unpad Tekankan Pentingnya Merevisi UU Pers yang Futuristis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjajaran (Unpad) Dadang Rahmat Hidayat melihat sebuah lingkaran yang rumit untuk mengurai bahkan memetakan kondisi pers Indonesia seperti apa. Walaupun disebut oleh sejumlah narasumber sedang tidak baik-baik saja, ia justru mempertanyakan kapan sebetulnya kondisi pers Indonesia pernah baik-baik saja.
“Sebenarnya secara kontekstual, kapan kondisi pers kita baik-baik saja? Kan begitu. Itupun ada perdebatan, pada masa ini pernah ini, masa ini pernah apa? Bahkan ada pengakuan di kalangan media sendiri kita pernah merasakan masa-masa emas pers. (Tapi) Dalam konteks apa? dalam konteks kebebasan atau konteks lain, ini multikompleks sekali,” ujar Dadang dalam Polemik MNC Trijaya yang bertajuk “Mau Dibawa ke Mana Industri Pers Kita?” secara daring, Sabtu (4/2/2023).
Untuk kebebasan, Dadang melihat bahwa kebebasan pers relatif cukup bebas, meskipun ada ancaman kebebasan tertentu dari segi ekonomi dan politik. Lalu dari sudut pandang bisnis, bisa dilihat juga media apa, seperti misalnya media televisi ada yang sebagian berdarah-darah untuk bertahan, ada juga yang masih mendapatkan keuntungan cukup besar, dan ada juga yang harus bertahan dengan cara bergabung dengan bisnis atau usaha lain.
Kemudian, lanjut Dadang, untuk media cetak, hasil riset menunjukkan bahwa media cetak lokal di beberapa tempat masih berjalan dengan baik. Apalagi jika mereka juga punya platform lain, seperti digital dan sebagainya.
“Ada riset media cetal lokal di beberapa tempat berjalan dengan sangat baik, apalagi punya platform lain, digital dan sebagainya, masih sangat eksis,” terangnya.
Tapi, kata Dadang, kalau mau berbicara secara lebih kompleks lagi, kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Dirinya sebagai akademisi bersama teman-teman akademisi lainnya menemukan dalam kajian bahwa terjadi orientasi yang sama, yakni terjadinya perubahan yang cukup besar mengenai bagaimana media ke depan. Sementara, masih sangat sedikit kajian media yang sifatnya futuristis atau melihat jauh ke masa depan.
“Kajian akademis masih sangat sedikit kajian akademis yang futurolog, ke depan seperti apa, pers kita ke depan seperti apa. Bicara pers dan jurnalisme sangat unik, pers dengan fungsinya menjadi perpanjangan tangan dan garda terdepan kepentingan publik,” terang Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia itu.
Oleh karena itu, Dadang menegaskan kedaulatan komunikasi ini penting sehingga semua yang berkepentingan harus sama-sama menguatkan. Saat ini, semua negara juga sedang dalam masalah dan sedang mencari-cari pola supaya media bisa bertahan dan bisa berkembang, juga tidak terganggu oleh kepentingan global. Sehingga, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) perlu direvisi, meskipun akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
“Kira harus dorong, UU Pers kita perlu direvisi, tapi kalau ngomongnya pemerintah dan politisi di luar medianya akan curiga, masuk ke masa ketidakbebasan,” tandasnya.
Dadang menambahkan bicara pers tidak lepas dari masalah jurnalisme, masalah bisnis dan tidak kalah penting masalah kepentingan publik. Untuk itu, semua harus duduk bersama untuk membuat sebuah regulasi yang jauh melihat masa depan pers dan media di masa mendatang.
“Regulasi penting meskipun tidak terlalu yakin, (regulasi) yang tidak kuat dan tidak melihat jauh ke depan bagaimana pers kita, bagaimana media massa kita. Dunia pendidikan juga sama, jurusan jurnalistik kita sedang menerka-nerka kurikulum kita seperti apa, 5 tahun ke depan, 10 tahun ke depan seperti apa, ada sebuah garis yang kita optimalkan. Mau dikemanakan industri pers kita, pers sebagai industri, pers tidak hanya industri pers, tapi sebagai entitas, sesuatu yang diharapkan menyuarakan kepentingan masyarakat,” jelasnya.
“Apakah media tidak sedang baik-baik saja, jawabannya dikatakan (narsum) tadi tidak ya. Sebetulnya bisa kita lihat juga apakah kondisi global sedang baik-baik saja, jangan-jangan sedang tidak baik-baik saja. Kalau konteks lokal kita menghadapi Pemilu 2024, kalau politik baik-baik saja go ahead, media menjaga aja, ada hal yang lebih penting, bisa enggak media menjadi bagian menciptakan demokrasi kita menjadi adem,” pungkasnya.
“Sebenarnya secara kontekstual, kapan kondisi pers kita baik-baik saja? Kan begitu. Itupun ada perdebatan, pada masa ini pernah ini, masa ini pernah apa? Bahkan ada pengakuan di kalangan media sendiri kita pernah merasakan masa-masa emas pers. (Tapi) Dalam konteks apa? dalam konteks kebebasan atau konteks lain, ini multikompleks sekali,” ujar Dadang dalam Polemik MNC Trijaya yang bertajuk “Mau Dibawa ke Mana Industri Pers Kita?” secara daring, Sabtu (4/2/2023).
Untuk kebebasan, Dadang melihat bahwa kebebasan pers relatif cukup bebas, meskipun ada ancaman kebebasan tertentu dari segi ekonomi dan politik. Lalu dari sudut pandang bisnis, bisa dilihat juga media apa, seperti misalnya media televisi ada yang sebagian berdarah-darah untuk bertahan, ada juga yang masih mendapatkan keuntungan cukup besar, dan ada juga yang harus bertahan dengan cara bergabung dengan bisnis atau usaha lain.
Kemudian, lanjut Dadang, untuk media cetak, hasil riset menunjukkan bahwa media cetak lokal di beberapa tempat masih berjalan dengan baik. Apalagi jika mereka juga punya platform lain, seperti digital dan sebagainya.
“Ada riset media cetal lokal di beberapa tempat berjalan dengan sangat baik, apalagi punya platform lain, digital dan sebagainya, masih sangat eksis,” terangnya.
Tapi, kata Dadang, kalau mau berbicara secara lebih kompleks lagi, kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Dirinya sebagai akademisi bersama teman-teman akademisi lainnya menemukan dalam kajian bahwa terjadi orientasi yang sama, yakni terjadinya perubahan yang cukup besar mengenai bagaimana media ke depan. Sementara, masih sangat sedikit kajian media yang sifatnya futuristis atau melihat jauh ke masa depan.
“Kajian akademis masih sangat sedikit kajian akademis yang futurolog, ke depan seperti apa, pers kita ke depan seperti apa. Bicara pers dan jurnalisme sangat unik, pers dengan fungsinya menjadi perpanjangan tangan dan garda terdepan kepentingan publik,” terang Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia itu.
Oleh karena itu, Dadang menegaskan kedaulatan komunikasi ini penting sehingga semua yang berkepentingan harus sama-sama menguatkan. Saat ini, semua negara juga sedang dalam masalah dan sedang mencari-cari pola supaya media bisa bertahan dan bisa berkembang, juga tidak terganggu oleh kepentingan global. Sehingga, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) perlu direvisi, meskipun akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
“Kira harus dorong, UU Pers kita perlu direvisi, tapi kalau ngomongnya pemerintah dan politisi di luar medianya akan curiga, masuk ke masa ketidakbebasan,” tandasnya.
Dadang menambahkan bicara pers tidak lepas dari masalah jurnalisme, masalah bisnis dan tidak kalah penting masalah kepentingan publik. Untuk itu, semua harus duduk bersama untuk membuat sebuah regulasi yang jauh melihat masa depan pers dan media di masa mendatang.
“Regulasi penting meskipun tidak terlalu yakin, (regulasi) yang tidak kuat dan tidak melihat jauh ke depan bagaimana pers kita, bagaimana media massa kita. Dunia pendidikan juga sama, jurusan jurnalistik kita sedang menerka-nerka kurikulum kita seperti apa, 5 tahun ke depan, 10 tahun ke depan seperti apa, ada sebuah garis yang kita optimalkan. Mau dikemanakan industri pers kita, pers sebagai industri, pers tidak hanya industri pers, tapi sebagai entitas, sesuatu yang diharapkan menyuarakan kepentingan masyarakat,” jelasnya.
“Apakah media tidak sedang baik-baik saja, jawabannya dikatakan (narsum) tadi tidak ya. Sebetulnya bisa kita lihat juga apakah kondisi global sedang baik-baik saja, jangan-jangan sedang tidak baik-baik saja. Kalau konteks lokal kita menghadapi Pemilu 2024, kalau politik baik-baik saja go ahead, media menjaga aja, ada hal yang lebih penting, bisa enggak media menjadi bagian menciptakan demokrasi kita menjadi adem,” pungkasnya.
(kri)