Indonesia Sudah Darurat Pernikahan Anak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pernikahan anak di Indonesia saat ini dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Angka permintaan dispensasi nikah untuk anak di pengadilan agama sejumlah daerah terus meningkat.
Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) akan berusaha menekan angka dispensasi nikah anak dengan cara memperketat persyaratan.
"Dispensasi kawin (diska) untuk anak mau kita tekan banget, karena perkawinan usia anak sebabkan tingginya angka kematian ibu, kematian anak, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain," ujar Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Rini Handayani di Kabupaten Bogor, Rabu (1/2/2023).
Kasus perkawinan anak di Indonesia saat ini dinilai sudah darurat. Dari data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak pada tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus, dan tahun 2022 tercatat sekitar 52 ribu pengajuan.
"Itu yang tercatat. Sangat mungkin 4 tahun terakhir semakin banyak orang tua nikahkan anak usia 16 tahun," katanya.
Rini menegaskan bahwa perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan. Mulai dari perkawinan anak dengan anak, maupun anak dengan orang dewasa.
"Bisa anak-anak dipaksa nikah dengan anak-anak, anak dengan dewasa, pernikahan anak antarnegara, dan lain-lain," katanya.
Untuk diketahui, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia, syarat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) adalah minimal usia 19 tahun.
Namun akhir-akhir ini angka permintaan dispensasi nikah di pengadilan agama di sejumlah daerah semakin tinggi. Salah satunya di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang mencatat sebanyak 569 permintaan dispensasi nikah pada tahun 2022. Angka ini bahkan melampaui di Ponorogo yang berjumlah 191 permintaan.
Atas kedaruratan kondisi perkawinan anak di Indonesia itu, KemenPPPA bekerja sama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, Ikatan PIMTI Perempuan Indonesia, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyusun Risalah Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak.
"Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting (tengkes), putus sekolah hingga ancaman kanker serviks rahim pada anak," kata Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA Titi Eko Rahayu.
Menurut Titi, amandemen UU Perkawinan Tahun 2019 yang mengatur usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun, menjadi upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat. Namun, di lapangan permohoan pengajuan perkawinan masih terus terjadi dan saat ini sudah dalam level mengkhawatirkan.
"Anak-anak ini adalah harapan masa depan untuk membangun Indonesia dan kasus perkawinan anak menjadi penghambat besar. Ini tanggung jawab bersama karena Isu perkawinan anak rumit dan sifatnya multisektoral,” pungkas Titi.
Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) akan berusaha menekan angka dispensasi nikah anak dengan cara memperketat persyaratan.
"Dispensasi kawin (diska) untuk anak mau kita tekan banget, karena perkawinan usia anak sebabkan tingginya angka kematian ibu, kematian anak, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain," ujar Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Rini Handayani di Kabupaten Bogor, Rabu (1/2/2023).
Kasus perkawinan anak di Indonesia saat ini dinilai sudah darurat. Dari data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak pada tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus, dan tahun 2022 tercatat sekitar 52 ribu pengajuan.
"Itu yang tercatat. Sangat mungkin 4 tahun terakhir semakin banyak orang tua nikahkan anak usia 16 tahun," katanya.
Rini menegaskan bahwa perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan. Mulai dari perkawinan anak dengan anak, maupun anak dengan orang dewasa.
"Bisa anak-anak dipaksa nikah dengan anak-anak, anak dengan dewasa, pernikahan anak antarnegara, dan lain-lain," katanya.
Untuk diketahui, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia, syarat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) adalah minimal usia 19 tahun.
Namun akhir-akhir ini angka permintaan dispensasi nikah di pengadilan agama di sejumlah daerah semakin tinggi. Salah satunya di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang mencatat sebanyak 569 permintaan dispensasi nikah pada tahun 2022. Angka ini bahkan melampaui di Ponorogo yang berjumlah 191 permintaan.
Atas kedaruratan kondisi perkawinan anak di Indonesia itu, KemenPPPA bekerja sama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, Ikatan PIMTI Perempuan Indonesia, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyusun Risalah Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak.
"Tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Tidak hanya memberikan dampak secara fisik dan psikis, perkawinan di usia anak juga dapat memperparah angka kemiskinan, stunting (tengkes), putus sekolah hingga ancaman kanker serviks rahim pada anak," kata Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KemenPPPA Titi Eko Rahayu.
Menurut Titi, amandemen UU Perkawinan Tahun 2019 yang mengatur usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun, menjadi upaya pemerintah mencegah anak-anak menikah terlalu cepat. Namun, di lapangan permohoan pengajuan perkawinan masih terus terjadi dan saat ini sudah dalam level mengkhawatirkan.
"Anak-anak ini adalah harapan masa depan untuk membangun Indonesia dan kasus perkawinan anak menjadi penghambat besar. Ini tanggung jawab bersama karena Isu perkawinan anak rumit dan sifatnya multisektoral,” pungkas Titi.
(thm)