Istitaah Haji antara Persepsi dan Implementasi

Rabu, 25 Januari 2023 - 16:54 WIB
loading...
A A A
Dalam kitab Nihayat al-Zain halaman 202-203, Syekh Nawawi al-Bantani seorang ulama Nusantara yang menetap di Mekkah dan setiap tahun melayani jemaah haji asal Indonesia telah menjabarkan 7 standar istitaah: (1) mengantongi ongkos haji (wujud mu’tanat al-safar); (2) tersedia sarana transportasi yang laik jalan; (3) jaminan keamanan selama perjalanan; (4) ketersediaan bahan konsumsi selama perjalanan; (5) khusus bagi perempuan terdapat pihak yang melindunginya; (6) kenyamanan transportasi dan akomodasi selama di Tanah Suci, dan (7) longgar waktu menunaikan ibadah haji.

Syekh Nawawi al-Bantani sebagaimana ulama lainnya memandang penting adanya standardisasi istitaah sebab dalam ibadah haji istitaah sifatnya personalitas (istitaah bi al-nafs). Beda halnya dengan hukum memakmurkan Baitullah yang bersifat istitaah kolektif, di mana harus ada setiap waktu orang-orang yang dipandang mampu (mustati’) memakmurkan Baitullah dengan cara tawaf dan lainnya

Istitaah bi al-nafs diukur berdasarkan tujuh standar itu ada kaitannya dengan tujuan menjaga dan memelihara kesakralan Baitullah sebagaimana firman-Nya: “Dan keduanya supaya mensucikan rumah-Ku buat orang-orang yang bertawaf, beriktikaf, beruku’ dan bersujud.” (QS. Al-Baqarah ayat 125)

Seseorang yang istitaah bi al-nafs menjalankan ibadah haji merupakan orang yang tidak memiliki beban ekonomi dan sosial, sehingga khusyu dan khidmat beribadah di Tanah Suci serta tidak “mengotori” Baitullah.

Di zaman Rasulullah pernah terjadi sekelompok orang yang menjalankan ibadah haji dengan meminta-minta belas kasihan orang lain karena mereka datang bukan dari golongan mustati’ bi al-nafs. Dari peristiwa itulah turun ayat “wa tazawwadu” (QS. Al-Baqarah ayat 197).

Rasulullah Saw pun sempat menyabdakan sebuah hadis: “Barangsiapa meminta ditanggung Allah dengan tidak meminta-minta bantuan kepada orang lain maka akan ditanggung Allah dengan kenikmatan surga (HR. Abu Dawud).

Usulan Menteri Agama Perspektif Istitaah
Usulan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di hadapan DPR RI untuk penyesuaian biaya haji 2023 hendaknya dipahami sebagai usaha rekonstruksi prinsip istitaah bi al-nafs dalam merencanakan ibadah haji. Toh ini baru usulan dan BPIH 2023, belum diputuskan pemerintah.

Usulan itu disampakaian berdasarkan kebutuhan normal jamaah haji sesuai asas istitaah bi al-nafs, serta tetap menggunakan skema optimalisasi hasil efisiensi dana haji (30%).

BPIH di Indonesia terbilang paling rendah di antara negara-negara lain di ASEAN karena selama ini ditopang dengan optimalisasi keuntungan dana haji. Dalam empat tahun terakhir sebelum masa pandemi, BPIH Indonesia dalam dollar adalah sebesar USD2.717 (2015),USD2.585 (2016), USD2.606 (2017), dan USD2.632 (2018).

Kita dapat membandingkannya BPIH Indonesia dengan negara-negara tetangga. Misalnya biaya haji Brunei Darussalam rata-rata berkisar di atas USD8000. Persisnya, USD8.738 (2015), USD8.788 (2016), USD8.422 (2017), dan USD8.980 (2018). Untuk Singapura, rata-rata di atas USD5000 yaitu: USD5.176 (2015), USD5.354 (2016), USD4.436 (2017), dan USD5.323 (2018). Sementara Malaysia, rata-rata biaya haji sebesar USD2.750 (2015), USD2.568 (2016), USD2.254 (2017), dan USD2.557 (2018).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1824 seconds (0.1#10.140)