Pleidoi Ferdy Sambo: Hakikat Kebahagiaan yang Berganti Jadi Kesuraman
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terdakwa dugaan kasus pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo membacakan pleidoinya dalam persidangan pada Selasa (24/1/2023). Ferdy Sambo mencurahkan perasaannya selama di tahanan, yang mana hakikat kebahagiaan yang dahulu dimilikinya, kini menjadi kesuraman dan kegelapan.
Menurut Sambo, ini tepat 165 hari dia berada dalam tahanan untuk menjalani pemeriksaan perkara dugaan kasus pembunuhan Brigadir J ini.
Berada dalam tahanan kata dia, berarti kehilangan kemerdekaan dalam hidup sebagai manusia yang selama ini dia nikmati, jauh dari berbagai fasilitas, kehilangan kehangatan keluarga, sahabat, dan handai taulan.
"Semua hakikat kebahagiaan dalam kehidupan manusia yang sebelumnya saya rasakan sungguh telah sirna berganti menjadi suram, sepi, dan gelap," ujar Sambo di persidangan, Selasa (24/1/2023).
Baca juga: Ungkap Kekecewaan di Pleidoi, Sambo: Seolah Saya Penjahat Terbesar Sejarah Manusia
Sambo menambahkan, di dalam jeruji tahanan yang sempit itu, dia terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan dia sebagai manusia. Dia tak pernah terbayangkan jika sebelumnya kehidupan dia yang begitu terhormat dalam sekejap terperosok dalam nestapa dan kesulitan yang tidak terperikan.
"Demikianlah penyesalan kerab tiba belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang mendahului," tutup Sambo.
Menurut Sambo, ini tepat 165 hari dia berada dalam tahanan untuk menjalani pemeriksaan perkara dugaan kasus pembunuhan Brigadir J ini.
Berada dalam tahanan kata dia, berarti kehilangan kemerdekaan dalam hidup sebagai manusia yang selama ini dia nikmati, jauh dari berbagai fasilitas, kehilangan kehangatan keluarga, sahabat, dan handai taulan.
"Semua hakikat kebahagiaan dalam kehidupan manusia yang sebelumnya saya rasakan sungguh telah sirna berganti menjadi suram, sepi, dan gelap," ujar Sambo di persidangan, Selasa (24/1/2023).
Baca juga: Ungkap Kekecewaan di Pleidoi, Sambo: Seolah Saya Penjahat Terbesar Sejarah Manusia
Sambo menambahkan, di dalam jeruji tahanan yang sempit itu, dia terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan dia sebagai manusia. Dia tak pernah terbayangkan jika sebelumnya kehidupan dia yang begitu terhormat dalam sekejap terperosok dalam nestapa dan kesulitan yang tidak terperikan.
"Demikianlah penyesalan kerab tiba belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang mendahului," tutup Sambo.
(maf)