CHO dan Tugas Menjaga Kebahagiaan Karyawan di Era Gig Economy
Jum'at, 13 Januari 2023 - 10:39 WIB
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital tinggal di Jogjakarta
SAAT ini, pasar kerja mulai diserbu dengan angkatan kerja dari golongan muda. Anak-anak penuh energik yang berisi angkatan terakhir Generasi Y atau Generasi Milenial (kelahiran 1977-1994), dan juga gelombang-gelombang awal Generasi Z (kelahiran 1995-2010).
Angkatan kerja muda ini punya karakteristik berbeda dengan kakak-kakak angkatannya. Salah satu sikap khas mereka kemudian memunculkan istilah baru ‘gig economy’.
Gig economy merupakan fenomena pasar tenaga kerja yang identik dengan karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer). Anak-anak muda zaman sekarang tampaknya enggan terikat kerja dalam jangka waktu lama. Mereka lebih merasa nyaman bekerja bebas tanpa ikatan.
Kalaupun masuk dalam korporasi besar, paling banter mereka bertahan dua tahun. Salah satu alasannya adalah: tidak menemukan kebahagiaan di tempat kerja. Bisa karena perilaku atasannya menyebalkan, bisa karena sistem kerjanya terlalu mengikat untuk hadir secara fisik, dan faktor-faktor lain yang membuat generasi sekarang merasa tak tabu untuk jadi ‘kutu loncat’.
Apa yang diharuskan perusahaan untuk mengantisipasi salah satu alasan mudahnya karyawan berpindah-pindah kerja karena merasa tak bahagia di tempatnya bekerja?
Beberapa perusahaan modern macam Amazon, Airbnb, SAP, Google, Cyberclik, dan Fortune PR membuat satu fungsi yang berperan untuk memastikan kebahagiaan karyawan terjaga, yaitu CHO atau Chief Happiness Officer (CHO). Peran CHO ini tak kalah pentingnya dengan level eksekutif lain seperti CEO (Chief Executive Officer), CFO (Chief Financial Officer), dan COO (Chief Operation Officer), yang kesemuanya bertugas memiliki untuk memastikan roda perusahaan berjalan dengan baik.
Sesuai namanya, CHO wajib membuat kepuasan seluruh karyawan perusahaan itu terjaga. Dengan karyawan bahagia, maka tingkat turn over pun akan berkurang, yang artinya memangkas biaya rekrutmen, biaya pelatihan karyawan baru, dan lain-lain.
Pemerhati Human Capital tinggal di Jogjakarta
SAAT ini, pasar kerja mulai diserbu dengan angkatan kerja dari golongan muda. Anak-anak penuh energik yang berisi angkatan terakhir Generasi Y atau Generasi Milenial (kelahiran 1977-1994), dan juga gelombang-gelombang awal Generasi Z (kelahiran 1995-2010).
Angkatan kerja muda ini punya karakteristik berbeda dengan kakak-kakak angkatannya. Salah satu sikap khas mereka kemudian memunculkan istilah baru ‘gig economy’.
Gig economy merupakan fenomena pasar tenaga kerja yang identik dengan karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer). Anak-anak muda zaman sekarang tampaknya enggan terikat kerja dalam jangka waktu lama. Mereka lebih merasa nyaman bekerja bebas tanpa ikatan.
Kalaupun masuk dalam korporasi besar, paling banter mereka bertahan dua tahun. Salah satu alasannya adalah: tidak menemukan kebahagiaan di tempat kerja. Bisa karena perilaku atasannya menyebalkan, bisa karena sistem kerjanya terlalu mengikat untuk hadir secara fisik, dan faktor-faktor lain yang membuat generasi sekarang merasa tak tabu untuk jadi ‘kutu loncat’.
Apa yang diharuskan perusahaan untuk mengantisipasi salah satu alasan mudahnya karyawan berpindah-pindah kerja karena merasa tak bahagia di tempatnya bekerja?
Beberapa perusahaan modern macam Amazon, Airbnb, SAP, Google, Cyberclik, dan Fortune PR membuat satu fungsi yang berperan untuk memastikan kebahagiaan karyawan terjaga, yaitu CHO atau Chief Happiness Officer (CHO). Peran CHO ini tak kalah pentingnya dengan level eksekutif lain seperti CEO (Chief Executive Officer), CFO (Chief Financial Officer), dan COO (Chief Operation Officer), yang kesemuanya bertugas memiliki untuk memastikan roda perusahaan berjalan dengan baik.
Sesuai namanya, CHO wajib membuat kepuasan seluruh karyawan perusahaan itu terjaga. Dengan karyawan bahagia, maka tingkat turn over pun akan berkurang, yang artinya memangkas biaya rekrutmen, biaya pelatihan karyawan baru, dan lain-lain.
tulis komentar anda