Perpres Baru Program Kartu Prakerja Timbulkan Permasalahan Anyar
Senin, 13 Juli 2020 - 11:07 WIB
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut terbitnya Peraturan Presiden Nomor 76 tahun 2020 terkait aturan perubahan mengenai Kartu Prakerja malah menimbulkan masalah baru. Padahal sebelumnya Program Kartu prakerja yang diluncurkan oleh pemerintah pada 11 April 2020, telah menuai banyak kritik dari masyarakat.
"Untuk meredam kritik dari masyarakat, pemerintah malah menerbitkan aturan perubahan mengenai pelaksanaan program Kartu Prakerja melalui Peraturan Presiden Nomor 76 tahun 2020. Alih-alih Perpres baru ini merespons berbagai catatan kelemahan program prakerja, terdapat empat persoalan baru yang muncul," ujar peneliti ICW, Wana Alamsyah dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/7/2020).
Persoalan pertama yakni Presiden Joko Widodo dinilai bersikap sewenang-wenang dengan memberikan impunitas kepada Komite Cipta Kerja dan Manajemen Pelaksana melalui Pasal 31B Perpres 76/2020. Dalam laporan dugaan maladministrasi yang telah ICW sampaikan kepada Ombudsman Republik Indonesia pada 2 Juni 2020 lalu, salah satu hal yang menjadi permasalahan yakni dilakukannya perjanjian kerja sama sebelum terbitnya aturan teknis yakni Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020.( )
"Selain itu, Presiden Joko Widodo menormalisasi praktik konflik kepentingan yang dilakukan oleh Platform Digital melalui Pasal 31 B ayat (1) dan Pasal 31B ayat (2) huruf c. Berdasarkan temuan dari KPK, 5 dari 8 Platform Digital memiliki konflik kepentingan karena sekaligus bertindak sebagai lembaga pelatihan. Hal ini menandakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak mementingkan aspek integritas dalam pembuatan kebijakan," katanya.
Persoalan kedua yakni pemerintah tidak memiliki konsep yang jelas mengenai Pogram Kartu Prakerja, sehingga menimbulkan inkonsistensi dan kerancuan. Dalam Rencana Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Program Kartu Prakerja menjadi strategi untuk meningkatkan sumber daya manusia. Namun, Pasal 12A ayat (1), disebutkan bahwa pelaksanaan Program Kartu Prakerja sebagai bentuk bantuan sosial dalam masa pandemi COVID-19.
"Pencantuman klausul ini patut diduga hanya untuk menjustifikasi skema penanggulangan Kartu Prakerja sebagai mekanisme bantuan sosial sehingga tidak perlu menerapkan mekanisme tender untuk memilih mitra platform," ungkapnya.( )
Ketiga, pemerintah mengenyampingkan mekanisme pengadaan barang dan jasa sebagai instrumen untuk memilih delapan platform digital. Hal tersebut tercermin dari Pasal 31A. Dalam klausul tersebut juga dijelaskan bahwa pelaksanaan tetap memperhatikan prinsip pengadaan barang di antaranya transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
"Namun pada saat proses pemilihan delapan platform digital nyatanya pemerintah abai untuk menggunakan prinsip pengadaan," katanya.
Persoalan terakhir, pemerintah terkesan berpihak kepada pengusaha dibanding ke masyarakat. Apabila melihat proporsi anggaran yang diberikan, negara memberikan insentif sebesar Rp5,6 triliun kepada delapan platform digital. Sedangkan insentif yang diterima oleh individu -tanpa biaya bantuan pelatihan- hanya Rp2,55 juta.
"Selain itu, keberpihakan Presiden Joko Widodo dapat terlihat dari skema program yang menitikberatkan pada aspek jual beli pelatihan daring yang sebenarnya dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Jika merujuk pada survei Indikator Politik, sebanyak 48,9% responden yang ditanya tidak setuju apabila sebagian dana di Kartu Prakerja digunakan untuk pelatihan daring," katanya.
"Untuk meredam kritik dari masyarakat, pemerintah malah menerbitkan aturan perubahan mengenai pelaksanaan program Kartu Prakerja melalui Peraturan Presiden Nomor 76 tahun 2020. Alih-alih Perpres baru ini merespons berbagai catatan kelemahan program prakerja, terdapat empat persoalan baru yang muncul," ujar peneliti ICW, Wana Alamsyah dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/7/2020).
Persoalan pertama yakni Presiden Joko Widodo dinilai bersikap sewenang-wenang dengan memberikan impunitas kepada Komite Cipta Kerja dan Manajemen Pelaksana melalui Pasal 31B Perpres 76/2020. Dalam laporan dugaan maladministrasi yang telah ICW sampaikan kepada Ombudsman Republik Indonesia pada 2 Juni 2020 lalu, salah satu hal yang menjadi permasalahan yakni dilakukannya perjanjian kerja sama sebelum terbitnya aturan teknis yakni Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020.( )
"Selain itu, Presiden Joko Widodo menormalisasi praktik konflik kepentingan yang dilakukan oleh Platform Digital melalui Pasal 31 B ayat (1) dan Pasal 31B ayat (2) huruf c. Berdasarkan temuan dari KPK, 5 dari 8 Platform Digital memiliki konflik kepentingan karena sekaligus bertindak sebagai lembaga pelatihan. Hal ini menandakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak mementingkan aspek integritas dalam pembuatan kebijakan," katanya.
Persoalan kedua yakni pemerintah tidak memiliki konsep yang jelas mengenai Pogram Kartu Prakerja, sehingga menimbulkan inkonsistensi dan kerancuan. Dalam Rencana Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Program Kartu Prakerja menjadi strategi untuk meningkatkan sumber daya manusia. Namun, Pasal 12A ayat (1), disebutkan bahwa pelaksanaan Program Kartu Prakerja sebagai bentuk bantuan sosial dalam masa pandemi COVID-19.
"Pencantuman klausul ini patut diduga hanya untuk menjustifikasi skema penanggulangan Kartu Prakerja sebagai mekanisme bantuan sosial sehingga tidak perlu menerapkan mekanisme tender untuk memilih mitra platform," ungkapnya.( )
Ketiga, pemerintah mengenyampingkan mekanisme pengadaan barang dan jasa sebagai instrumen untuk memilih delapan platform digital. Hal tersebut tercermin dari Pasal 31A. Dalam klausul tersebut juga dijelaskan bahwa pelaksanaan tetap memperhatikan prinsip pengadaan barang di antaranya transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
"Namun pada saat proses pemilihan delapan platform digital nyatanya pemerintah abai untuk menggunakan prinsip pengadaan," katanya.
Persoalan terakhir, pemerintah terkesan berpihak kepada pengusaha dibanding ke masyarakat. Apabila melihat proporsi anggaran yang diberikan, negara memberikan insentif sebesar Rp5,6 triliun kepada delapan platform digital. Sedangkan insentif yang diterima oleh individu -tanpa biaya bantuan pelatihan- hanya Rp2,55 juta.
"Selain itu, keberpihakan Presiden Joko Widodo dapat terlihat dari skema program yang menitikberatkan pada aspek jual beli pelatihan daring yang sebenarnya dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Jika merujuk pada survei Indikator Politik, sebanyak 48,9% responden yang ditanya tidak setuju apabila sebagian dana di Kartu Prakerja digunakan untuk pelatihan daring," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda