Sistem Proporsional Tertutup dalam Pemilu Dinilai Langkah Mundur Demokrasi
Sabtu, 31 Desember 2022 - 13:54 WIB
JAKARTA - Wacana penggunaan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 dinilai langkah mundur dalam demokrasi. Apabila kembali kepada sistem proporsional tertutup, maka yang terjadi adalah tampilnya anggota-anggota Parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakili.
"Karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih berdasarkan nomor urut teratas yang ditentukan oleh parpol," kata Anggota Dewan Pakar DPP Partai Golkar Henry Indraguna melalui keterangan tertulis, Sabtu (31/12/2022).
Anggota Tim Ahli Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini menjelaskan, dengan sistem proporsional tertutup, maka yang akan muncul adalah kader-kader di atas yang dekat dengan pimpinan parpol dan tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri.
Baca juga: Wacana Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024, Fahri Hamzah Singgung Tradisi Komunis
"Dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka, resepnya dekat kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting, yang penting branding partai tetap kuat di dapil," katanya.
"Cukup hanya tokoh utama partai yang berkampanye keliling. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Kasihan caleg nomor 2 yang kerja keras mungkin tidak terpilih. Sementara nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih," kata Henry yang saat ini fokus melakukan aksi sosial di sejumlah wilayah Jawa Tengah.
Memang ada kritikan sistem proporsional terbuka menyebabkan biaya politik tinggi, karena persaingan antarcalon di dalam partai. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan politik uang. Padahal politik uang tidak berasal dari sistem pemilu, tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elite itu sendiri.
"Kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang bisa menggunakan medsos secara gratis," katanya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota Parlemen dengan akuntabilitas kuat kepada rakyat. Seorang petahana pun tidak ada jaminan terpilih kembali meski nomor urut 1. Lolos tidaknya tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat.
"Karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih berdasarkan nomor urut teratas yang ditentukan oleh parpol," kata Anggota Dewan Pakar DPP Partai Golkar Henry Indraguna melalui keterangan tertulis, Sabtu (31/12/2022).
Anggota Tim Ahli Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini menjelaskan, dengan sistem proporsional tertutup, maka yang akan muncul adalah kader-kader di atas yang dekat dengan pimpinan parpol dan tidak mengakar ke rakyat. Oligarki partai merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri.
Baca juga: Wacana Sistem Proporsional Tertutup di Pemilu 2024, Fahri Hamzah Singgung Tradisi Komunis
"Dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka, resepnya dekat kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting, yang penting branding partai tetap kuat di dapil," katanya.
"Cukup hanya tokoh utama partai yang berkampanye keliling. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Kasihan caleg nomor 2 yang kerja keras mungkin tidak terpilih. Sementara nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap, hampir tidak ada harapan terpilih," kata Henry yang saat ini fokus melakukan aksi sosial di sejumlah wilayah Jawa Tengah.
Memang ada kritikan sistem proporsional terbuka menyebabkan biaya politik tinggi, karena persaingan antarcalon di dalam partai. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan politik uang. Padahal politik uang tidak berasal dari sistem pemilu, tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elite itu sendiri.
"Kalau soal politik biaya tinggi, itu relatif, tergantung orangnya dan daerahnya, serta campaign financing system. Apalagi, sekarang bisa menggunakan medsos secara gratis," katanya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota Parlemen dengan akuntabilitas kuat kepada rakyat. Seorang petahana pun tidak ada jaminan terpilih kembali meski nomor urut 1. Lolos tidaknya tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda