HNW Ingatkan MA Laksanakan Putusan MK soal Nikah Beda Agama
Kamis, 29 Desember 2022 - 10:07 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR M Hidayat Nur Wahid mengingatkan Mahkamah Agung (MA) dan para hakim untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal perkawinan beda agama. Dia juga meminta MA mengindahkan sikap ormas Islam seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah.
Hal ini disampaikan HNW merespons penetapan perkawinan pasangan beda agama oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pontianak. Penetapan serupa juga pernah dilakukan sejumlah hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, PN Yogyakarta, dan PN Tangerang. Padahal MUI dan Muhammadiyah di dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam persidangan judicial review berkaitan perkawinan beda agama di MK telah berulangkali mengungkapkan tidak dibolehkannya perkawinan beda agama berdasarkan aturan agama Islam dan UU Perkawinan.
“Ini seharusnya yang menjadi pegangan oleh hakim PN yang berada di bawah MA, apabila menghadapi permohonan ‘pengesahan’ perkawinan beda agama, di mana salah satu pasangannya beragama Islam,” kata HNW melalui keterangannya yang dikutip Kamis (29/12/2022).
Dengan adanya putusan MK, kata HNW, maka MA perlu menertibkan para hakim di bawah lingkungan kewenangan MA. Sehingga tidak terulang kembali masalah itu yang berulangkali meresahkan masyarakat. Serta tidak terjadi lagi laku hukum yang tidak sesuai dengan norma hukum tertinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945 dan agama yang diakui di Indonesia.
Selain itu, politikus PKS ini menegaskan bahwa konstitusi mengakui adanya perkawinan yang sah sesuai ajaran agama, sebagaimana Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2). Inilah yang menjadi rujukan MK dalam menolak berbagai permohonan uji materi UU Perkawinan yang ingin melegalkan perkawinan beda agama.
“Oleh karenanya, para hakim seharusnya merujuk kepada berbagai putusan MK tersebut, di antaranya putusan No. 06/PUU-XII/2014. Karena Putusan MK oleh UUDNRI 1945 dinyatakan sebagai bersifat final dan mengikat, termasuk dan terutama kepada atau untuk para penegak hukum, sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Itu semua dipentingkan demi keadilan dan tertib hukum di NKRI yang dinyatakan sebagai negara hukum oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” papar Wakil Ketua MPR ini.
Lebih lanjut, HNW menambahkan agar umat beragama, baik umat Islam dan agama lainnya, yang akan menikah hendaknya memahami hukum agama Islam atau agama lain yang dianutnya terkait dengan perkawinan. Juga memahami UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia jelas tidak membolehkan adanya perkawinan beda agama.
“Para orang tua juga mestinya mengingatkan atau mendidik anak-anaknya agar tidak salah memilih calon suami/istrinya, agar pilihannya sesuai dengan ajaran agamanya. Sehingga bisa menghadirkan masyarakat taat hukum dan keluarga yang sakinah mawaddah rahmah dan berkah,” tegasnya.
HNW juga memahami bahwa salah satu rujukan yang digunakan oleh hakim di PN adalah Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama. Namun, hakim-hakim yang memutus perkara tersebut seharusnya tidak hanya melihat pasal itu secara sepotong dan letterlijk, apalagi dengan mengabaikan ketentuan UUD dan putusan MK. Harusnya, demi keadilan dan kebenaran, para hakim harusnya juga memperhatikan risalah pembahasan RUU Adminduk untuk memahami maksud asli (original intent) ketentuan tersebut.
“Jadi, tidak menghasilkan penetapan yang serampangan, dan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia. Sehingga menimbulkan kerancuan dan ketidaksesuaian dengan keputusan MK serta ketentuan UUD,” tandasnya.
Hal ini disampaikan HNW merespons penetapan perkawinan pasangan beda agama oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pontianak. Penetapan serupa juga pernah dilakukan sejumlah hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, PN Yogyakarta, dan PN Tangerang. Padahal MUI dan Muhammadiyah di dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam persidangan judicial review berkaitan perkawinan beda agama di MK telah berulangkali mengungkapkan tidak dibolehkannya perkawinan beda agama berdasarkan aturan agama Islam dan UU Perkawinan.
“Ini seharusnya yang menjadi pegangan oleh hakim PN yang berada di bawah MA, apabila menghadapi permohonan ‘pengesahan’ perkawinan beda agama, di mana salah satu pasangannya beragama Islam,” kata HNW melalui keterangannya yang dikutip Kamis (29/12/2022).
Dengan adanya putusan MK, kata HNW, maka MA perlu menertibkan para hakim di bawah lingkungan kewenangan MA. Sehingga tidak terulang kembali masalah itu yang berulangkali meresahkan masyarakat. Serta tidak terjadi lagi laku hukum yang tidak sesuai dengan norma hukum tertinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945 dan agama yang diakui di Indonesia.
Selain itu, politikus PKS ini menegaskan bahwa konstitusi mengakui adanya perkawinan yang sah sesuai ajaran agama, sebagaimana Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2). Inilah yang menjadi rujukan MK dalam menolak berbagai permohonan uji materi UU Perkawinan yang ingin melegalkan perkawinan beda agama.
“Oleh karenanya, para hakim seharusnya merujuk kepada berbagai putusan MK tersebut, di antaranya putusan No. 06/PUU-XII/2014. Karena Putusan MK oleh UUDNRI 1945 dinyatakan sebagai bersifat final dan mengikat, termasuk dan terutama kepada atau untuk para penegak hukum, sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Itu semua dipentingkan demi keadilan dan tertib hukum di NKRI yang dinyatakan sebagai negara hukum oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” papar Wakil Ketua MPR ini.
Lebih lanjut, HNW menambahkan agar umat beragama, baik umat Islam dan agama lainnya, yang akan menikah hendaknya memahami hukum agama Islam atau agama lain yang dianutnya terkait dengan perkawinan. Juga memahami UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia jelas tidak membolehkan adanya perkawinan beda agama.
“Para orang tua juga mestinya mengingatkan atau mendidik anak-anaknya agar tidak salah memilih calon suami/istrinya, agar pilihannya sesuai dengan ajaran agamanya. Sehingga bisa menghadirkan masyarakat taat hukum dan keluarga yang sakinah mawaddah rahmah dan berkah,” tegasnya.
HNW juga memahami bahwa salah satu rujukan yang digunakan oleh hakim di PN adalah Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama. Namun, hakim-hakim yang memutus perkara tersebut seharusnya tidak hanya melihat pasal itu secara sepotong dan letterlijk, apalagi dengan mengabaikan ketentuan UUD dan putusan MK. Harusnya, demi keadilan dan kebenaran, para hakim harusnya juga memperhatikan risalah pembahasan RUU Adminduk untuk memahami maksud asli (original intent) ketentuan tersebut.
“Jadi, tidak menghasilkan penetapan yang serampangan, dan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia. Sehingga menimbulkan kerancuan dan ketidaksesuaian dengan keputusan MK serta ketentuan UUD,” tandasnya.
(muh)
tulis komentar anda