Dewan Pers Ingatkan Pentingnya Integritas Pers Hadapi Kontestasi Politik
Senin, 26 Desember 2022 - 22:01 WIB
JAKARTA - Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana menyebut perlunya integritas pers dalam menghadapi tahun politik. Integritas tersebut dapat diimplementasikan dengan terus menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan regulasi yang ada.
"Integritas pers dalam menghadapi kontestasi politik menjadi sangat penting. Bagaimana kualitas pers kita menghadapi intervensi tersebut, karena tidak semua awak awak pers di kita profesional," kata Yadi dalam Refleksi Akhir Tahun 2022 IJTI yang disiarkan secara daring, Senin (26/12/2022).
"Kualitas profesional itu menjunjung tinggi kode etik dan regulasi yang ada di Dewan Pers sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab," kata Yadi.
Dia pun turut menyinggung terkait jurnalisme positif dalam kontestasi politik yakni harus mampu memberikan pilihan kepada publik, sehingga masyarakat dapat memilih pilihan politik dengan tepat. "Itu adalah fungsi dari jurnalisme, artinya jurnalisme tidak melulu memberitakan fakta-fakta yang ada tanpa ada maksud tapi maksud publik seperti apa," katanya.
Pada kesempatan itu, Yadi turut membahas KUHP yang disahkan 6 Desember 2022. Menurutnya, ada 19 pasal dari beberapa kluster yang berpotensi merenggut kebebasan pers. Sebagai anggota Dewan Pers, Yadi mengaku telah menguji sejumlah pasal tersebut dengan sejumlah lembaga dari KejaksaanAagung, Kepolisian, dan Mahkamah Agung. Hasilnya, KUHP yang disahkan memang berpotensi mekriminalkan wartawan.
"Pasal tersebut bisa dimainkan karena kita khawatirkan justru ini adalah bagaimana tantangan kita pers itu betul-betul harus membuat pemerintah yakin bahwa apa yang dilakukan, tadi yang disampaikan, di 19 pasal itu betul-betul mengganggu kebebasan pers," katanya.
Baca juga: IJTI Ungkap Ada 19 sampai 22 Pasal dalam KUHP yang Ganggu Kemerdekaan Pers
Yadi lantas menganalogikan sebuah media membuat karikatur kepala negara sebagai wujud kritik terhadap pemerintah. Namun dalam KUHP baru dapat diduga sebagai wujud penghinaan terhadap kepala negara.
"Kritik terhadap pemerintah apa pun bisa dilakukan, ada cover media, baik koran ataupun majalah, yang membuat karikatur kepala negara itu bisa dikriminalisasikan. Bisa dikatakan penghinaan terhadap kekuasaan yang sedang berlangsung dan ini bisa dipidanakan. Ini yang kita khawatirkan kalau melihat dari undang-undang KUHP yang disahkan Desember ini," katanya.
"Kerja kita sangat rawan, ini yang kemudian kita harus bersama-sama memang harus menyakinkan pemerintah selama 2 tahun supaya tersadar apa yang disampaikan Dewan Pers kepada pemerintah betul-betul dilihat. Karena pers saat ini menghadapi hal-hal yang krusial dalam menghadapi KUHP karena multitafsir," katanya.
"Integritas pers dalam menghadapi kontestasi politik menjadi sangat penting. Bagaimana kualitas pers kita menghadapi intervensi tersebut, karena tidak semua awak awak pers di kita profesional," kata Yadi dalam Refleksi Akhir Tahun 2022 IJTI yang disiarkan secara daring, Senin (26/12/2022).
"Kualitas profesional itu menjunjung tinggi kode etik dan regulasi yang ada di Dewan Pers sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab," kata Yadi.
Dia pun turut menyinggung terkait jurnalisme positif dalam kontestasi politik yakni harus mampu memberikan pilihan kepada publik, sehingga masyarakat dapat memilih pilihan politik dengan tepat. "Itu adalah fungsi dari jurnalisme, artinya jurnalisme tidak melulu memberitakan fakta-fakta yang ada tanpa ada maksud tapi maksud publik seperti apa," katanya.
Pada kesempatan itu, Yadi turut membahas KUHP yang disahkan 6 Desember 2022. Menurutnya, ada 19 pasal dari beberapa kluster yang berpotensi merenggut kebebasan pers. Sebagai anggota Dewan Pers, Yadi mengaku telah menguji sejumlah pasal tersebut dengan sejumlah lembaga dari KejaksaanAagung, Kepolisian, dan Mahkamah Agung. Hasilnya, KUHP yang disahkan memang berpotensi mekriminalkan wartawan.
"Pasal tersebut bisa dimainkan karena kita khawatirkan justru ini adalah bagaimana tantangan kita pers itu betul-betul harus membuat pemerintah yakin bahwa apa yang dilakukan, tadi yang disampaikan, di 19 pasal itu betul-betul mengganggu kebebasan pers," katanya.
Baca juga: IJTI Ungkap Ada 19 sampai 22 Pasal dalam KUHP yang Ganggu Kemerdekaan Pers
Yadi lantas menganalogikan sebuah media membuat karikatur kepala negara sebagai wujud kritik terhadap pemerintah. Namun dalam KUHP baru dapat diduga sebagai wujud penghinaan terhadap kepala negara.
"Kritik terhadap pemerintah apa pun bisa dilakukan, ada cover media, baik koran ataupun majalah, yang membuat karikatur kepala negara itu bisa dikriminalisasikan. Bisa dikatakan penghinaan terhadap kekuasaan yang sedang berlangsung dan ini bisa dipidanakan. Ini yang kita khawatirkan kalau melihat dari undang-undang KUHP yang disahkan Desember ini," katanya.
"Kerja kita sangat rawan, ini yang kemudian kita harus bersama-sama memang harus menyakinkan pemerintah selama 2 tahun supaya tersadar apa yang disampaikan Dewan Pers kepada pemerintah betul-betul dilihat. Karena pers saat ini menghadapi hal-hal yang krusial dalam menghadapi KUHP karena multitafsir," katanya.
(abd)
tulis komentar anda