Kisah Letjen Agus Subiyanto Ditinggal Orang Tua Semasa Kecil hingga Ditendang Polisi Militer
Senin, 26 Desember 2022 - 12:14 WIB
Kakek Wakasad duluya dikenal sebagai pembuat kapal ulung, sedangkan ayahnya, Dedi Unadi, adalah seorang prajurit TNI yang di akhir hayatnya berpangkat sersan kepala (serka). Jadilah lapangan bola yang dibangun Agus untuk warga desanya itu dinamai Stadion Serka Dedi Unadi Cijulang.
Wakasad Letnan Jenderal TNI Agus Subiyanto saat ke pantai di Desa Cijulang. Foto/Istimewa
Baca: Jadi Wakasad, Kekayaan Mayjen TNI Agus Subiyanto Hanya Segini
“Di kampung saya ini lapangan tidak ada, padahal anak- anak di sini hobinya bermain bola, ayah saya pun semasa hidupnya gemar bermain sepak bola. Makanya lapangan ini saya dedikasikan untuk ayah saya, namanya pun bukan nama saya, tapi nama ayah saya,” tuturnya.
Dulu, dengan sepeda ontel ayahnya kerap mengajak Agus yang masih berusia 4 tahunan menuju lapangan. “Ayahku sebagai tim sepak bola TNI Angkatan Darat. Dia biasanya bermain bola bersama kawan-kawanya hingga menjelang maghrib. Saya menunggunya sambil duduk di pinggir lapangan mengunyah permen pemberian ayah,” kenangnya.
Pengalaman itu sangat membekas di sanubarinya hingga sekarang. Bersepeda ontel ke lapangan bersama ayah itu menjadi kegiatan yang sangat berarti baginya. Karena itu pula sebuah sepeda ontel tua dijadikan hiasan di dalam rumahnya kini.
Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keceriaan Agus di masa kecil tiba-tiba sirna setelah ibunya pergi begitu saja meninggalkan keluarga. Kasih sayang ibu yang terenggut di usia kecil membuat Agus frustrasi dan marah.
Dari Kiri: Bibi Titi (Tante), Mamah Cicih (Ibu Wakasad), Asep (Kakak Wakasad), dan paling kanan yang sedang menangis adalah Wakasad Letjen Agus Subiyanto. Foto/Istimewa
Wakasad Letnan Jenderal TNI Agus Subiyanto saat ke pantai di Desa Cijulang. Foto/Istimewa
Baca: Jadi Wakasad, Kekayaan Mayjen TNI Agus Subiyanto Hanya Segini
“Di kampung saya ini lapangan tidak ada, padahal anak- anak di sini hobinya bermain bola, ayah saya pun semasa hidupnya gemar bermain sepak bola. Makanya lapangan ini saya dedikasikan untuk ayah saya, namanya pun bukan nama saya, tapi nama ayah saya,” tuturnya.
Dulu, dengan sepeda ontel ayahnya kerap mengajak Agus yang masih berusia 4 tahunan menuju lapangan. “Ayahku sebagai tim sepak bola TNI Angkatan Darat. Dia biasanya bermain bola bersama kawan-kawanya hingga menjelang maghrib. Saya menunggunya sambil duduk di pinggir lapangan mengunyah permen pemberian ayah,” kenangnya.
Pengalaman itu sangat membekas di sanubarinya hingga sekarang. Bersepeda ontel ke lapangan bersama ayah itu menjadi kegiatan yang sangat berarti baginya. Karena itu pula sebuah sepeda ontel tua dijadikan hiasan di dalam rumahnya kini.
Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keceriaan Agus di masa kecil tiba-tiba sirna setelah ibunya pergi begitu saja meninggalkan keluarga. Kasih sayang ibu yang terenggut di usia kecil membuat Agus frustrasi dan marah.
Dari Kiri: Bibi Titi (Tante), Mamah Cicih (Ibu Wakasad), Asep (Kakak Wakasad), dan paling kanan yang sedang menangis adalah Wakasad Letjen Agus Subiyanto. Foto/Istimewa
tulis komentar anda