Kisah Letjen Agus Subiyanto Ditinggal Orang Tua Semasa Kecil hingga Ditendang Polisi Militer

Senin, 26 Desember 2022 - 12:14 WIB
loading...
Kisah Letjen Agus Subiyanto Ditinggal Orang Tua Semasa Kecil hingga Ditendang Polisi Militer
Wakasad Letnan Jenderal TNI Agus Subiyanto di tengah anak-anak sekolah dasar saat tiba di Desa Cijulang Pangandaran. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Perjalanan hidup Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Letnan Jenderal TNI Agus Subiyanto diwarnai pahit dan getir di masa pertumbuhan. Masa kecil hingga remaja Agus Subiyanto adalah titik paling rendah dalam hidupnya.

Usianya belum genap 5 tahun saat ibunya pergi entah ke mana, meninggalkan adik, ayah, dan dirinya yang merasa merana. Pada fase selanjutnya Agus kecil pun kerap bertikai dengan ibu tirinya.

Puncaknya saat Agus baru naik kelas 2 SMA, ayahnya berpulang ke haribaan Yang Kuasa. “Saya hidup prihatin, Mas,” kata Agus, mantan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) Presiden Jokowi itu.

Kisah Letjen Agus Subiyanto Ditinggal Orang Tua Semasa Kecil hingga Ditendang Polisi Militer

Wakasad Letnan Jenderal TNI Agus Subiyanto saat bermain gitar listrik bersama anaknya. Foto/Istimewa



Malam itu, di rumah pribadinya di Desa Cijulang, Pangandaran, Jawa Barat, Agus hendak berbagi kisah. Ditemani secangkir kopi dan gorengan pisang, percakapan kami mengalir dari satu topik ke topik lain.

Dari petualangan, musik, kegagalan, keikhlasan, hingga kesuksesan karena pertolongan Allah. Pada kesempatan lain memang Wakasad pernah mengutarakan suatu saat akan mengajak kami berkunjung ke kampung halamannya di Cijulang.

Pekan lalu, bertepatan dengan hari Agus bisa menepati janji berikhtiar membangun lapangan bola bagi warga di desa kelahirannya, kami berangkat ke Cijulang, sebuah desa terpencil yang jauh dari Pangandaran. Penghasilan orang-orang di desa ini lebih banyak sebagai nelayan atau pembuat kapal.

Kakek Wakasad duluya dikenal sebagai pembuat kapal ulung, sedangkan ayahnya, Dedi Unadi, adalah seorang prajurit TNI yang di akhir hayatnya berpangkat sersan kepala (serka). Jadilah lapangan bola yang dibangun Agus untuk warga desanya itu dinamai Stadion Serka Dedi Unadi Cijulang.

Kisah Letjen Agus Subiyanto Ditinggal Orang Tua Semasa Kecil hingga Ditendang Polisi Militer

Wakasad Letnan Jenderal TNI Agus Subiyanto saat ke pantai di Desa Cijulang. Foto/Istimewa

Baca: Jadi Wakasad, Kekayaan Mayjen TNI Agus Subiyanto Hanya Segini


“Di kampung saya ini lapangan tidak ada, padahal anak- anak di sini hobinya bermain bola, ayah saya pun semasa hidupnya gemar bermain sepak bola. Makanya lapangan ini saya dedikasikan untuk ayah saya, namanya pun bukan nama saya, tapi nama ayah saya,” tuturnya.

Dulu, dengan sepeda ontel ayahnya kerap mengajak Agus yang masih berusia 4 tahunan menuju lapangan. “Ayahku sebagai tim sepak bola TNI Angkatan Darat. Dia biasanya bermain bola bersama kawan-kawanya hingga menjelang maghrib. Saya menunggunya sambil duduk di pinggir lapangan mengunyah permen pemberian ayah,” kenangnya.

Pengalaman itu sangat membekas di sanubarinya hingga sekarang. Bersepeda ontel ke lapangan bersama ayah itu menjadi kegiatan yang sangat berarti baginya. Karena itu pula sebuah sepeda ontel tua dijadikan hiasan di dalam rumahnya kini.

Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, keceriaan Agus di masa kecil tiba-tiba sirna setelah ibunya pergi begitu saja meninggalkan keluarga. Kasih sayang ibu yang terenggut di usia kecil membuat Agus frustrasi dan marah.

Kisah Letjen Agus Subiyanto Ditinggal Orang Tua Semasa Kecil hingga Ditendang Polisi Militer

Dari Kiri: Bibi Titi (Tante), Mamah Cicih (Ibu Wakasad), Asep (Kakak Wakasad), dan paling kanan yang sedang menangis adalah Wakasad Letjen Agus Subiyanto. Foto/Istimewa



Dia merasa tidak berharga, diabaikan, dan minder. Pelan-pelan dia menarik diri dari pergaulan. Tidak berapa lama berselang ibunya pergi, ayahnya membawa sosok wanita lain ke rumah sebagai pengganti.

Agus dengan terpaksa memanggilnya mama, meski hati kecilnya berontak. Tapi apa daya, tubuh mungilnya takkan mampu memprotes keputusan ayahnya. Jangankan marah, bersuara pun tidak.

Selanjutnya Agus dan adik-adiknya dibesarkan oleh ibu tiri, tak jarang ada gesekan dan konflik dengan ibu tirinya, apalagi ayahnya yang saat itu bertugas sebagai intel komando distrik militer setempat lebih banyak di luar, sangat jarang di rumah.

Agus tumbuh dan besar dengan mengandalkan dirinya sendiri. Ibarat layang-layang, dia bergerak mengikuti mata angin. Menjelang remaja Agus sering kabur dari rumah, berpindah dari rumah teman ke rumah teman berikutnya.
Kisah Letjen Agus Subiyanto Ditinggal Orang Tua Semasa Kecil hingga Ditendang Polisi Militer

Foto kecil Wakasad Letnan Jenderal TNI Agus Subiyanto (lima dari kanan berdiri). Foto/Istimewa



Perkelahian pun sering menjadi caranya melepaskan kekesalan. Alhasil, Agus dibesarkan oleh lingkungan yang cukup keras bagi seorang remaja dan dia adalah satu di antara sekian pemain kekerasan di jalanan.

Itu pun belum cukup. Masa remajanya semakin kelam setelah ayahnya meninggal dunia. Agus mengingat, itu terjadi pada hari kenaikan kelas. Sebagai pelajar kelas 1 dia naik ke kelas 2 SMA. Sore suatu Senin di tahun 1984 itu rumahnya diketuk tamu, seorang kolega ayahnya di ketentaraan.

Tak lama dari kedatangan tamu itu, sebuah ambulans datang membawa peti jenazah ayahnya. “Saya ingat pesan terakhir ayahku dulu. Gus, potong rambutmu. Itu hari Minggu, sehari sebelum ayahku meninggal,” ucapnya.

Serka Dedi meninggal karena tertabrak mobil boks saat sedang mengendarai motornya ke tempat kerja. Pilu dan sedih tiada terkira. Dunia Agus berantakan. Ayah, satu-satunya pilar tempatnya bersandar, pun roboh.

Bingung harus bagaimana Agus dan adik-adiknya hanya dapat menangis. “Tentu saya bingung, apalagi saat itu saya belum tamat SMA. Akhirnya tinggal bersama ibu tiri dan hanya mengandalkan uang pensiunan ayah yang tidak seberapa. Tak ada pilihan lain, saya berjalan saja seperti mengikuti mata angin,” katanya.

Dipukul Anggota POM
Hari demi hari dilalui dengan tidak mudah, penuh keterbatasan, bahkan untuk makan pun susah. Tidak jarang Agus hanya makan nasi putih dengan lauk bakwan.

Sebagai remaja yang suka bertualang, suatu ketika pada Februari 1986 di daerah Cimahi, Agus bersama tiga kawannya berkendara sepeda motor berboncengan. Tidak ada satu pun berhelm.

Niat mereka nongkrong di tempat biasa, apalagi Agus baru lulus SMA. Saat melintas di pertigaan Leuwigajah, Baros, mereka bertemu seorang petugas polisi militer yang menghentikan mereka. Tak bisa menolak, ketiganya dibawa ke Kantor Denpom di Jalan Gatot Subroto.

Meskipun usianya saat itu sudah cukup besar, 19 tahun, tapi tak urung tubuh Agus menggigil di ruang kantor Dempom Cimahi. Sepatu bersol hitam dari bahan kulit keras bergerigi mendarat di perut, pinggang, dan tulang keringnya berulang-ulang.

Anehnya, tak sedikit pun Agus menunduk atau memalingkan kepala saat serangan ke tubuhnya bertubi-tubi. “Kutatap dalam-dalam lelaki yang menuntaskan emosinya itu. Dalam hati saya marah dan saya bilang: lihat saja nanti kalau saya jadi tentara,” kenangnya.

Kejadian ini merupakan titik balik dan menjadi awal bagi Agus mempunyai tujuan hidup. Dia ingin jadi tentara. Tendangan seorang polisi militer membangkitkan memori kepada almarhum ayah berikut pesan-pesan yang diterimanya, lebih khusus soal dorongan untuk berdinas di ketentaraan. “Kamu nanti masuk Akabri saja, Gus,” ungkap Agus menirukan ayahnya.

“Bapak bahkan sering menyebut keinginannya itu di depan keluarga dan saudara saudaranya.”

Setelah kejadian tersebut Agus banyak merenung. Di antara enam bersaudara hanya dia yang sering diminta ayahnya menjadi prajurit TNI. Sesampai di rumah dia berwudu dan salat. Air matanya menetes, terkenang ayahnya. Dia makin menyadari hidupnya kini telah sendiri, persisnya harus mandiri.

Teman-temanya dulu rata-rata melanjutkan kuliah ke luar daerah. “Sementara saya apa? Uang pun tak punya. Jangankan mau kuliah, bermimpi kuliah saja tidak berani. Makan saja susah kok, mau kuliah,” keluhnya.

Nasib harus direbut, demikian yang ada di benak Agus yang mulai memantapkan diri untuk mendaftar ke Sekolah Calon Bintara (Secaba). Sayangnya gagal di tangan panitia penentu akhir (pantukhir). Di titik ini, siapa pun akan merasa semakin terpuruk. Tidak terkecuali Agus.

Dia kemudian mencoba melamar kerja menjadi sekuriti yang juga ditolak. Bahkan lamaran keja berbekal ijazah SMA yang dia kirim ke berbagai perusahaan, termasuk mall, juga nihil. Tidak satu pun membuahkan hasil.

Nyatanya kegagalan beruntun tidak juga membuatnya menyerah. Menurut Agus, hanya takdir yang tak bisa berubah, tetapi nasib bisa diperjuangkan.

Selanjutnya Agus mulai mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Salat lima waktu tak pernah lagi dia tinggalkan, termasuk salat sunah seperti salat duha, tahajud berikut salat witirnya. Doa-doa terus dipanjatkan, meratap di hadapan Allah. Tak lupa dia juga berpuasa Senin-Kamis dengan rutin. “Mendekatkan diri kepada Allah saya lakukan terus-menerus biar tenang. Hingga pada akhirnya ada informasi jika ada penerimaan di Akademi Militer atau Akmil,” tuturnya.

Agus kemudian mendaftarkan diri ke Akmil dan lulus pada 1991. Selepas itu kariernya cukup cemerlang hingga berbagai jabatan strategis diemban, di antaranya adalah komandan Paspampres (2020-2021), panglima Kodam III/Siliwangi (2020-2022). Terakhir, dia diangkat menjadi wakil kepala staf Angkatan Darat hingga saat ini.

Meski begitu, Letnan Jenderal TNI Agus Subiyanto bukanlah orang yang dalam pepatah disebutkan sebagai kacang yang lupa pada kulitnya. Dia kini banyak membantu warga desa.

Dia bangun lapangan bola, jembatan, masjid, dan barbagai fasilitas umum lain. Agus juga sedikit pun tak memiliki rasa canggung saat bertemu para sahabat kecilnya, sanak saudara, dan tetangganya.

Dengan kawan, warga, dan masyarakat Agus berbaur, tidak melebarkan jarak. Salat bersama, kadang makan di terminal bersama teman-teman sepermainan dulu.

Bercanda dengan warga, menyusuri gang-gang sempit yang becek di kampungnya sudah biasa dia lakukan. “Jalani hidup mengalir seperti air dan tetap tenangkan jiwa kita agar bermanfaat bagi orang lain,” ucap Agus mengakhiri obrolan.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1193 seconds (0.1#10.140)