Potensi Konflik di Laut China Selatan antara RRC, Amerika Serikat, dan ASEAN

Minggu, 25 Desember 2022 - 11:01 WIB
Liberalisme menekankan bahwa karakteristik nasional memengaruhi hubungan internasional suatu negara dan sifat serta dinamika ekonomi politik internasional sangat vital. Kaum liberal yakin bahwa "saling ketergantungan ekonomi, khususnya perdagangan bebas, mengurangi kemungkinan perang dan hal ini bisa dilihat dari di mana pemerintah China secara khusus mendapatkan legitimasi kekuasaan dari kekuatan ekonomi negaranya. Pengaruh yang membatasi saling ketergantungan ekonomi ini baru-baru ini disoroti dalam sengketa Kepulauan Senkaku antara China dan Jepang, ketika tidak ada pihak yang menggunakan kekerasan. Ini adalah salah satu fakta bahwa China adalah mitra dagang terbesar Jepang.

Kemudian kontribusi organisasi internasional dalam mendorong keamanan kolektif, mengelola konflik, dan mempromosikan kerja sama, telah terlihat dalam penciptaan kerangka kerjasama dan keamanan regional, termasuk banyak organisasi seperti ASEAN, Forum Regional ASEAN, ASEAN+3, dan KTT Asia Timur. Lembaga-lembaga seperti ini berfungsi untuk memperkuat "perdamaian liberal", mengingat negara-negara berkembang di Asia mendapat manfaat besar dari tatanan internasional liberal yang ada.

Oleh karena itu, berdasarkan pendapat kaum realis yang lebih mengutamakan kepentingan dan keamanan maupun kaum liberal yang lebih mengutamakan kerjasama, penulis berpendapat bahwa ketergantungan ekonomi antarnegara memainkan peran terbesar dalam membatasi penggunaan kekuatan bersenjata di Laut Cina Selatan. Kemudian pembentukan kerangka kerja regional secara substansial juga berperan mengurangi risiko konflik di Laut China Selatan.

Namun akumulasi kekuatan militer China yang sangat besar dapat memberi efek hegemonik dan mempengaruhi stabilis di wilayah Laut China Selatan. Kemudian reklamasi pulau yang dilakukan oleh China, yang diikuti dengan peningkatan aktivitas Angkatan Laut AS, berisiko meningkatkan konflik di kawasan.

Saat ini China memang menggunakan ekonomi dan diplomatik untuk melawan kekuatan militer AS. Hal ini karena secara militer China belum cukup kuat untuk secara terbuka terlibat dalam konflik bersenjata di Laut China Selatan. Oleh karena itulah, ketergantungan ekonomi dan norma-norma regional menjadi kekuatan yang membatasi konflik untuk saat ini. Namun, kita tidak tahu apakah faktor-faktor ini akan terus bertahan dalam beberapa dekade mendatang.

Laut China Selatan akan terus menjadi ajang perdebatan antarakademisi maupun pemerintah, terutama potensi konflik di Asia Tenggara pada masa mendatang. Saat ini, tidak ada solusi yang jelas terhadap berbagai sengketa teritorial yang saat ini dipersengketakan, selain ketergantungan ekonomi antarnegara. Kerangka kerja normatif regional, yang terutama disebarluaskan melalui kerja sama China-ASEAN, telah membuat kemajuan diplomatik, tetapi tetap tidak mungkin membatasi provokasi agresif China dan Amerika secara permanen.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(zik)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More