Potensi Konflik di Laut China Selatan antara RRC, Amerika Serikat, dan ASEAN

Minggu, 25 Desember 2022 - 11:01 WIB
Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University. Foto/Dok Pribadi
Harryanto Aryodiguno, Ph.D

Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University

Potensi konflik di Laut China Selatan (LCS) sering dikaitkan dengan penggunaan kekuatan China dalam sengketa wilayah. Secara historis, wilayah paling sering menjadi penyebab konflik. Untuk itulah kita sangat prihatin dengan sengketa teritorial China yang sering terjadi.

Tentu saja, ada alasan yang lebih spesifik mengapa Laut China Selatan itu unik, penting, dan sering menjadi akar dari sengketa antar negara di wilayah tersebut. Laut China Selatan mewakili sejumlah kepentingan geopolitik dan territorial. Sengketa teritorial saat ini melibatkan China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Awalnya dimulai pada tahun 1951, ketika Republik Rakyat China secara resmi mengklaim Kepulauan Spratly dan Paracel. Mengapa perselisihan terus berlanjut selama beberapa dekade ini?

Laut China Selatan adalah rumah bagi perikanan, mempunyai cadangan energi yang besar dan tentu saja menjadi wilayah dengan perdagangan global sekitar $5,3 triliun setiap tahun. Konflik di Laut China Selatan menjadi semakin parah ketika kebijakan luar negeri China menegaskan kembali klaim maritim dan teritorial China di wilayah tersebut. Kemudian yang lebih memprihatinkan lagi adalah sebagian negara ASEAN dan Amerika Serikat memperparah konflik tersebut dengan memprotes klaim China tentang"Sembilan Garis Putus" yang diikuti dengan dengan pembangunan fasilitas militer besar-besaran dan upaya reklamasi di Laut China Selatan.





Konflik teritori di Laut China Selatan dalam teori hubungan internasional dapat dijelaskan dengan memahami tindakan setiap negara dan berdasarkan teori yang ada. Realisme, sebagaimana didefinisikan oleh Hans Morgenthau adalah "suatu konsep kepentingan yang didefinisikan dalam istilah kekuasaan". Pemikiran kaum realisme paling jelas didefinisikan oleh lima asumsi, yaitu: bahwa politik internasional tetap anarkis, bahwa negara memiliki kemampuan ofensif, tidak dapat sepenuhnya memastikan ambisi lawan, negara pasti akan mempertahankan kepentingannya, dan rasional dari setiap kepemimpinan dari sebuah negara. Dengan demikian, kaum realis memahami situasi dalam hal kemampuan material, baik secara militer, ekonomi, atau saluran diplomatik.

Negara berusaha mencapai keamanan melalui dominasi dan hegemoni. Strategi seperti ini secara implisit mengharuskan negara untuk secara ofensif memaksimalkan kekuatan dan pengaruh mereka bila memungkinkan, biasanya dengan mengejar kebijakan ekspansionis saat mereka memperoleh atau merasa memperoleh kekuatan kekuatan tambahan. Kaum Realis selalu berpandangan bahwa China telah membangun apa yang sekarang disebut "ancaman China," yang memberikan penafsiran bahwa kebangkitan China adalah ancaman besar terhadap keamanan nasional Asia Tenggara dan AS. Dan konflik tidak akan dapat dihindari karena ketidakseimbangan yang berkelanjutan dan persaingan strategis di kawasan ini karena kekuatan China dan AS yang saling memprovokasi.

Kemudian kita melihat perspektif dari kaum liberalisme. Liberalisme dalam hubungan internasional dapat dipelajari melalui tiga prinsip dasar, yaitu: penolakannya terhadap politik kekuasaan sebagai satu-satunya hasil yang masuk akal dari hubungan internasional, argumennya tentang kemungkinan kerja sama internasional antar negara dan manfaatnya, beserta pengakuannya bahwa organisasi internasional dan nonaktor negara memiliki pengaruh dalam membentuk preferensi kebijakan negara.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More