Kebijakan Atasi Covid-19 Dianggap Berubah-ubah, Ini Penjelasan Istana
Sabtu, 11 Juli 2020 - 14:06 WIB
JAKARTA - Anggapan bahwa pemerintah kerap gonta-ganti kebijakan penanganan Covid-19 , ditanggapi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Brian Sri Prahastuti. Menurutnya, rujukan pemerintah tetap berdasarkan rekomendasi organisasi kesehatan dunia, WHO .
Menurut Brian, rekomendasi WHO juga harus dipahami oleh masyarakat. "Kan kita harus memahami bahwa pandemi atau virus ini baru, walaupun pandemi pernah ada sejarah sejak tahun 500, tapi kan kondisi ini baru betul-betul kita hadapi bersama dalam waktu ini. Sehingga kekagetan terhadap situasi ini pasti terjadi dan tidak hanya di Indonesia. Global juga mengalami ini," katanya dalam Polemik MNC Trijaya FM bertema 'Covid-19 dan Ketidaknormalan Baru', Sabtu (11/7/2020).
Selain itu, lanjut dia, kebijakan yang berubah-ubah juga didasari munculnya dua undang-undang yang mengatur, bukan saja karantina kesehatan, namun intervensi yang diambil pemerintah yang disesuaikan dengan UU Kebencanaan.
"Jadi respons kita juga respons kebencanaan. Harus cepat, sehingga wajar saja kemudian kebijakan berubah bukan berarti inkonsisten, tapi ini adalah respons terhadap situasi perkembangan yang terjadi," ujarnya. ( ).
Dia juga menilai banyak yang salah mengartikan diksi 'new normal', sehingga ketika kebijakan itu diterapkan masyarakat cenderung mengabaikan protokol kesehatan.
Menurut Brian, yang tepat adalah pengertian new normal, yang menegaskan adanya 'new', bukan tiba-tiba langsung diartikan kondisi sudah normal. "Padahal sebelum menuju new normal, ada periode prakondisi, ada tahapan yang harus dipersiapkan. Mulai dari masyarakat, kemudian terkait pembukaan sektor-sektor publik yang memungkinkan orang beraktivitas di luar kemungkinan berkumpul, harus ada penyiapan tertentu baik infrastruktur, kebijakan, oleh pengelola untuk memastikan protokol kesehatan dapat diterapkan," ujarnya.
Kata Brian, tampaknya prakondisi itu tidak dilakukan oleh masyarakat, sehingga orang masih menganggap virus sudah tidak ada. Yang terjadi sebaliknya, virus masih ada di sekitar kita. Ia menilai, penggunaan new normal sendiri karena ada serapan bahasa asingnya, sehingga hal ini tak dipahami seutuhnya oleh masyarakat dan cenderung abai terhadap adaptasi baru.
Menurut Brian, rekomendasi WHO juga harus dipahami oleh masyarakat. "Kan kita harus memahami bahwa pandemi atau virus ini baru, walaupun pandemi pernah ada sejarah sejak tahun 500, tapi kan kondisi ini baru betul-betul kita hadapi bersama dalam waktu ini. Sehingga kekagetan terhadap situasi ini pasti terjadi dan tidak hanya di Indonesia. Global juga mengalami ini," katanya dalam Polemik MNC Trijaya FM bertema 'Covid-19 dan Ketidaknormalan Baru', Sabtu (11/7/2020).
Selain itu, lanjut dia, kebijakan yang berubah-ubah juga didasari munculnya dua undang-undang yang mengatur, bukan saja karantina kesehatan, namun intervensi yang diambil pemerintah yang disesuaikan dengan UU Kebencanaan.
"Jadi respons kita juga respons kebencanaan. Harus cepat, sehingga wajar saja kemudian kebijakan berubah bukan berarti inkonsisten, tapi ini adalah respons terhadap situasi perkembangan yang terjadi," ujarnya. ( ).
Dia juga menilai banyak yang salah mengartikan diksi 'new normal', sehingga ketika kebijakan itu diterapkan masyarakat cenderung mengabaikan protokol kesehatan.
Menurut Brian, yang tepat adalah pengertian new normal, yang menegaskan adanya 'new', bukan tiba-tiba langsung diartikan kondisi sudah normal. "Padahal sebelum menuju new normal, ada periode prakondisi, ada tahapan yang harus dipersiapkan. Mulai dari masyarakat, kemudian terkait pembukaan sektor-sektor publik yang memungkinkan orang beraktivitas di luar kemungkinan berkumpul, harus ada penyiapan tertentu baik infrastruktur, kebijakan, oleh pengelola untuk memastikan protokol kesehatan dapat diterapkan," ujarnya.
Kata Brian, tampaknya prakondisi itu tidak dilakukan oleh masyarakat, sehingga orang masih menganggap virus sudah tidak ada. Yang terjadi sebaliknya, virus masih ada di sekitar kita. Ia menilai, penggunaan new normal sendiri karena ada serapan bahasa asingnya, sehingga hal ini tak dipahami seutuhnya oleh masyarakat dan cenderung abai terhadap adaptasi baru.
(zik)
tulis komentar anda