Ngebet Masuk Akmil, Jenderal Kopassus Ini Nekat Jual Sepeda dan Palsukan Tanda Tangan Orang Tua
Selasa, 20 Desember 2022 - 06:11 WIB
Terdapat ratusan orang calon taruna saat itu berkumpul di Garnisun Cimahi dari seluruh Indonesia. Beragam tingkah dan gaya mereka, sesuai karakter aslinya. Ada yang agak urakan, bergaya makelar, namun juga ada yang berpenampilan dewasa. Untuk penginapan, mereka ditampung di dua tempat yang salah satunya di Pusat Pendidikan Angkutan TNI AD di Cimahi. Di sini mereka ditempatkan selama hampir sebulan.
Sejak tiba di Cimahi, mereka mulai mendapatkan suasana yang berbeda. Mereka untuk pertama kali mengenal tradisi kemiliteran seperti apel. Setiap pagi mereka juga harus melaksanakan senam pagi di tengah dinginnya udara Cimahi sambil bertelanjang dada, mengenakan pakaian dinas yang selalu kedodoran atau menyandang senapan Lee Enfield (LE) yang melecetkan pundak mereka. Tapi karena semua datang dengan tekad yang sama untuk menjadi taruna, maka apa pun rintangan yang diterima dijalani dengan tegar.
Seperti sebelumnya, seleksi yang harus dijalani di Cimahi tidak jauh beda dengan yang sudah mereka jalani di daerah masing-masing. Mencakup ujian Badan I dan II, ujian Psychotechnic, I dan II, dan Ketangkasan Jasmani. Sepertinya selalu begitu, lagi dan lagi diperiksa sepertinya memastikan keakuratan data dari seleksi terdahulu.
Kepada setiap peserta diberikan pakaian satu stel berwarna hijau yang ukurannya "nasib-nasiban". Maksudnya beruntung jika dapat seukuran badan. Namun tidak sedikit yang dapat pakaian berukuran lebih kecil atau malah kedodoran. Soegito sendiri dapat pakaian yang ukurannya lebih besar, sehingga harus dijahitnya sendiri supaya pas di badan. Dengan modal satu stel pakaian hijau itulah mereka mengikuti seleksi.
Paling seru pada saat tes renang. Mereka yang tidak bisa renang sudah keder duluan sebelum nyemplung ke kolam. Anehnya, ada yang tidak bisa berenang tapi kok bisa lolos. Mungkin karena yang menguji kurang teliti. Seperti Budihardjo, yang tidak bisa berenang tapi lolos. Ketika sudah jadi perwira, sambil berseloroh dia pernah bilang kepada teman-temannya begini. "Salah satu keuntungan saya masuk AMN adalah bisa berenang ha..ha..ha..." ujarnya bangga.
Melewati masa pengujian akhir di Cimahi ini cukup melelahkan. Namun Soegito menjalani dengan semangat, berusaha keras menyelesaikan setiap ujian yang dilaluinya. Mampunya Soegito melewati setiap tahap seleksi fisik, tentu tidak terlepas dari kegemarannya berolahraga. Kelenturan tubuhnya mungkin menjadi kelebihannya dibanding teman-temannya yang mengikuti seleksi waktu itu.
Wajar saja, senam merupakan salah satu olahraga yang disukainya. Meliuk-liukkan badan di atas kuda-kuda dan keseimbangan balok plus salto bisa dilakukannya. Semua kelebihan dalam olah fisik ini sangat dirasakan manfaatnya ketika ia menjadi anggota Kopassus.
Di akhir masa seleksi diumumkanlah hasilnya. Disampaikan bahwa peserta yang dinyatakan lulus berjumlah 170 orang. Kegembiraan merebak di antara mereka yang namanya disebutkan, namun tidak demikian kepada yang sebaliknya.
Muka mereka tertunduk lesu, seperti kehilangan kekuatan karena tidak menyangka akan gagal setelah melalui tahapan seleksi yang sangat melelahkan. Pramono termasuk ke dalam kelompok ini. Hebatnya dia, mencoba lagi di tahun berikutnya dan malah dinyatakan lulus. Beberapa teman lain yang gagal, ternyata diterima di AAL dan AAU.
Mereka yang berjumlah 170 orang itu, berasal dari berbagai suku di Tanah Air. Rinciannya sebagai berikut Aceh 1 orang, Batak 12 orang, Minang 1 orang, Palembang 2 orang, Sunda 16 orang, Betawi 1 orang, Jawa 120 orang, Bali 1 orang, Manado 5 orang. Toraja 1 orang, Bugis Makassar 4 orang, Dayak 2 orang, Banjar 1 orang, Timor 1 orang, dan Ambon 2 orang.
Sejak tiba di Cimahi, mereka mulai mendapatkan suasana yang berbeda. Mereka untuk pertama kali mengenal tradisi kemiliteran seperti apel. Setiap pagi mereka juga harus melaksanakan senam pagi di tengah dinginnya udara Cimahi sambil bertelanjang dada, mengenakan pakaian dinas yang selalu kedodoran atau menyandang senapan Lee Enfield (LE) yang melecetkan pundak mereka. Tapi karena semua datang dengan tekad yang sama untuk menjadi taruna, maka apa pun rintangan yang diterima dijalani dengan tegar.
Seperti sebelumnya, seleksi yang harus dijalani di Cimahi tidak jauh beda dengan yang sudah mereka jalani di daerah masing-masing. Mencakup ujian Badan I dan II, ujian Psychotechnic, I dan II, dan Ketangkasan Jasmani. Sepertinya selalu begitu, lagi dan lagi diperiksa sepertinya memastikan keakuratan data dari seleksi terdahulu.
Kepada setiap peserta diberikan pakaian satu stel berwarna hijau yang ukurannya "nasib-nasiban". Maksudnya beruntung jika dapat seukuran badan. Namun tidak sedikit yang dapat pakaian berukuran lebih kecil atau malah kedodoran. Soegito sendiri dapat pakaian yang ukurannya lebih besar, sehingga harus dijahitnya sendiri supaya pas di badan. Dengan modal satu stel pakaian hijau itulah mereka mengikuti seleksi.
Paling seru pada saat tes renang. Mereka yang tidak bisa renang sudah keder duluan sebelum nyemplung ke kolam. Anehnya, ada yang tidak bisa berenang tapi kok bisa lolos. Mungkin karena yang menguji kurang teliti. Seperti Budihardjo, yang tidak bisa berenang tapi lolos. Ketika sudah jadi perwira, sambil berseloroh dia pernah bilang kepada teman-temannya begini. "Salah satu keuntungan saya masuk AMN adalah bisa berenang ha..ha..ha..." ujarnya bangga.
Melewati masa pengujian akhir di Cimahi ini cukup melelahkan. Namun Soegito menjalani dengan semangat, berusaha keras menyelesaikan setiap ujian yang dilaluinya. Mampunya Soegito melewati setiap tahap seleksi fisik, tentu tidak terlepas dari kegemarannya berolahraga. Kelenturan tubuhnya mungkin menjadi kelebihannya dibanding teman-temannya yang mengikuti seleksi waktu itu.
Wajar saja, senam merupakan salah satu olahraga yang disukainya. Meliuk-liukkan badan di atas kuda-kuda dan keseimbangan balok plus salto bisa dilakukannya. Semua kelebihan dalam olah fisik ini sangat dirasakan manfaatnya ketika ia menjadi anggota Kopassus.
Di akhir masa seleksi diumumkanlah hasilnya. Disampaikan bahwa peserta yang dinyatakan lulus berjumlah 170 orang. Kegembiraan merebak di antara mereka yang namanya disebutkan, namun tidak demikian kepada yang sebaliknya.
Muka mereka tertunduk lesu, seperti kehilangan kekuatan karena tidak menyangka akan gagal setelah melalui tahapan seleksi yang sangat melelahkan. Pramono termasuk ke dalam kelompok ini. Hebatnya dia, mencoba lagi di tahun berikutnya dan malah dinyatakan lulus. Beberapa teman lain yang gagal, ternyata diterima di AAL dan AAU.
Mereka yang berjumlah 170 orang itu, berasal dari berbagai suku di Tanah Air. Rinciannya sebagai berikut Aceh 1 orang, Batak 12 orang, Minang 1 orang, Palembang 2 orang, Sunda 16 orang, Betawi 1 orang, Jawa 120 orang, Bali 1 orang, Manado 5 orang. Toraja 1 orang, Bugis Makassar 4 orang, Dayak 2 orang, Banjar 1 orang, Timor 1 orang, dan Ambon 2 orang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda