Ngebet Masuk Akmil, Jenderal Kopassus Ini Nekat Jual Sepeda dan Palsukan Tanda Tangan Orang Tua
Selasa, 20 Desember 2022 - 06:11 WIB
Celakanya, semua proses seleksi untuk masuk ke AMN di Magelang diadakan di Semarang. Proses seleksi berlangsung sebelum ada pengumuman hasil ujian akhir SMA. Bolak-balik ke Semarang tidak hanya menyita waktu tapi juga menguras isi kantong.
Dengan uang saku yang selalu pas-pasan dan kadang kurang, Soegito memang harus bisa mengatur sendiri keuangannya,agar ketika dibutuhkan bisa langsung berangkat ke Semarang. Ketika itu setiap hasil seleksi disampaikan lewat surat, sehingga selalu butuh waktu antara satu seleksi ke seleksi berikutnya.
Karena sering bolak-balik ke Semarang, akhirnya kakaknya jadi tahu apa yang sedang diusahakannya. Tanpa butuh waktu lama, berita itupun dengan cepat sampai di Cilacap. Suatu hari ketika bertandang ke Cilacap untuk meminta restu orang tua, Soegito dipanggil bapaknya. Sambil memberi nasihat dan wejangan layaknya orang tua kepada anaknya, Pak Soeleman lalu menyuruhnya mengambil selembar daun sirih dan gelas diisi air putih.
"Gito, ini daun sirih kamu gulung. Lalu kamu potong tiga kali persis di atas gelasnya," perintah sang bapak kepada anaknya sambil menyodorkan sebuah pisau dikutip dari buku Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen, Selasa (20/12/2022).
Dengan pikiran polos, Soegito pun menuruti perintah bapaknya. Dalam tiga kali sayatannya, ketiga potongan daun sirih itu ndilalah masuk ke dalam gelas. "Alhamdulilah Gito," ujar si bapak, yang membuat Soegito bengong apa maksudnya.
Tanpa menunggu putranya bertanya lebih jauh, Soeleman pun menjelaskan. "Kamu jadi alat negara, kamu meninggal tidak dalam tugas." Mendengar itu, sang ibu yang duduk tidak terlalu jauh, langsung nyeletuk. "Alah, percaya sama Gusti Allah saja Gito."
Walaupun ongkos jalan dan penginapan di Semarang mendapat penggantian dari Panitia Seleksi AMN, tetap saja masih diperlukan biaya tambahan. Oleh sebab itu, Soegito lalu menjual sepedanya yang telah dipakainya selama lebih dari tiga tahun, yaitu sejak di SMP Cilacap sampai SMA di Purwokerto. Lumayanlah dapat tambahan dana.
Pada saat datang panggilan terakhir ke Semarang di tahun 1958, maka setiap calon harus membawa ijazah asli kelulusannya. Begitu juga Soegito, ia harus mendapatkan ijazah SMA sebelum menemui personel bagian penerimaan taruna di Semarang. Untuk itu ia harus menghadap Kepala Sekolah Soemarmo.
Soegito menyampaikan maksudnya kepada kepala sekolah untuk mengambil ijazah. Sambil mengangguk-anggukan kepalanya, Soemarno lalu membuka sebuah buku besar. Matanya bergerak cepat mencari nama Soegito di antara daftar nama siswa. "Wah, siswa Gito kamu belum melunasi pembayaran uang gedung," ujarnya datar yang ditanggapi Soegito sambil diam dan sedikit menundukkan kepala.
"Tapi maaf saya sudah tidak punya uang lagi Pak karena sudah bolak- balik ke Semarang dan besok harus kembali ke Semarang terus ke Cimahi," jawabnya gelagapan.
Dengan uang saku yang selalu pas-pasan dan kadang kurang, Soegito memang harus bisa mengatur sendiri keuangannya,agar ketika dibutuhkan bisa langsung berangkat ke Semarang. Ketika itu setiap hasil seleksi disampaikan lewat surat, sehingga selalu butuh waktu antara satu seleksi ke seleksi berikutnya.
Karena sering bolak-balik ke Semarang, akhirnya kakaknya jadi tahu apa yang sedang diusahakannya. Tanpa butuh waktu lama, berita itupun dengan cepat sampai di Cilacap. Suatu hari ketika bertandang ke Cilacap untuk meminta restu orang tua, Soegito dipanggil bapaknya. Sambil memberi nasihat dan wejangan layaknya orang tua kepada anaknya, Pak Soeleman lalu menyuruhnya mengambil selembar daun sirih dan gelas diisi air putih.
"Gito, ini daun sirih kamu gulung. Lalu kamu potong tiga kali persis di atas gelasnya," perintah sang bapak kepada anaknya sambil menyodorkan sebuah pisau dikutip dari buku Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen, Selasa (20/12/2022).
Dengan pikiran polos, Soegito pun menuruti perintah bapaknya. Dalam tiga kali sayatannya, ketiga potongan daun sirih itu ndilalah masuk ke dalam gelas. "Alhamdulilah Gito," ujar si bapak, yang membuat Soegito bengong apa maksudnya.
Tanpa menunggu putranya bertanya lebih jauh, Soeleman pun menjelaskan. "Kamu jadi alat negara, kamu meninggal tidak dalam tugas." Mendengar itu, sang ibu yang duduk tidak terlalu jauh, langsung nyeletuk. "Alah, percaya sama Gusti Allah saja Gito."
Walaupun ongkos jalan dan penginapan di Semarang mendapat penggantian dari Panitia Seleksi AMN, tetap saja masih diperlukan biaya tambahan. Oleh sebab itu, Soegito lalu menjual sepedanya yang telah dipakainya selama lebih dari tiga tahun, yaitu sejak di SMP Cilacap sampai SMA di Purwokerto. Lumayanlah dapat tambahan dana.
Pada saat datang panggilan terakhir ke Semarang di tahun 1958, maka setiap calon harus membawa ijazah asli kelulusannya. Begitu juga Soegito, ia harus mendapatkan ijazah SMA sebelum menemui personel bagian penerimaan taruna di Semarang. Untuk itu ia harus menghadap Kepala Sekolah Soemarmo.
Soegito menyampaikan maksudnya kepada kepala sekolah untuk mengambil ijazah. Sambil mengangguk-anggukan kepalanya, Soemarno lalu membuka sebuah buku besar. Matanya bergerak cepat mencari nama Soegito di antara daftar nama siswa. "Wah, siswa Gito kamu belum melunasi pembayaran uang gedung," ujarnya datar yang ditanggapi Soegito sambil diam dan sedikit menundukkan kepala.
"Tapi maaf saya sudah tidak punya uang lagi Pak karena sudah bolak- balik ke Semarang dan besok harus kembali ke Semarang terus ke Cimahi," jawabnya gelagapan.
tulis komentar anda