Refly Harun: Putusan MA Sama Sekali Tak Pengaruhi Hasil Pilpres 2019
Jum'at, 10 Juli 2020 - 05:54 WIB
JAKARTA - Ahli hukum tata negara, Refly Harun memastikan posisi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin tidak akan terpengaruh putusan Mahkamah Agung (MA) terkait aturan Pemilihan Presiden (Pilpres) . Putusan bernomor 44 P/PHUM/2019 itu dinilai memiliki banyak kelemahan sehingga tidak bisa dilaksanakan.
"Nasibnya (Jokowi-Ma'ruf) baik-baik saja. Kalau kita kaitkan dengan putusan MA, tidak ada pengaruhnya sama sekali. Legitimasi hukum tidak berkurang," kata Refly Harun dalam video berjudul "Misteri Putusan MA, Nasib Jokowi-Ma'ruf!!!" yang diunggah di chanel Youtubenya, Kamis (9/7/2020).
Refly memaparkan mengapa putusan MA yang mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri dan kawan-kawan, tidak akan menggoyang posisi Jokowi sebagai presiden. Pertama, kata Refly, putusan tersebut sangat terlambat. Permohonan uji materi diajukan pada 13 Mei 2019 tapi baru diputuskan pada 28 Oktober 2019. (Baca Juga: KPU Tetapkan Jokowi-Ma'ruf sebagai Presiden dan Wapres Terpilih)
"Kita tahu bahwa penetapan pemenang dilakukan pada bulan Mei, putusan sengketa di MK (Mahkamah Konstitusi) dilakukan pada bulan Juni, pelantikan presiden dan wakil presiden dilakukan pada 20 Oktober 2019. Jadi putusan ini tidak menimbulkan efek dalam mengatur governance berpilpres 2019," katanya.
Menurut pemilik akun Youtube dengan 298.000 subscriber tersebut, sebuah putusan hukum sedapat mungkin memenuhi tiga aspek, yakni kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Menurut Refly, jika sebuah putusan tidak bermanfaat, maka aspek keadilan tidak tercapai.
"Putusan MA bertentangan putusan MK pada 2014 dalam konsteks pengujian UU Nomor 42 tahun 2008. MK mengatakan jika ada dua pasangan calon, maka tidak diberlakukan lagi syarat persebaran, cukup suara terbanyak. MK menganggap dukungan yang diberikan partai politik kepada dua pasangan calon yang bertanding itu sudah cukup menggambarkan bahwa mereka mewakili ketersebaran penduduk di Indonesia," katanya.
Kelemahan dari putusan MA selanjutnya adalah keterlambatan publikasi. Putusan bernomor 44 P/PHUM/2019 itu telah ditetapkan pada 28 Oktober 2019, tapi baru dipublikasikan pada 3 Juli 2020. Artinya, ada rentang waktu sekitar 8 bulan antara penetapan hingga publikasi. ( )
"Kesalahan waktu itu dua, waktu untuk memutuskan cukup lama sampai lima bulan, waktu untuk mempublikasikan sampai 8 bulan. Jadi kesalahan luar biasa yang dilakukan MA," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pada 3 Juli 2020, MA merilis putusan yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilu. MA menyatakan bahwa Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 berbunyi "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih". Sedangkan Pasal 416 ayat 1 UU 7/2017 berbunyi "Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".
Dalam pertimbangannya MA berpendapat, KPU yang mengeluarkan PKPU 5/2019 telah membuat norma baru dari peraturan yang berada di atasnya, yakni UU 7/2019. Selain itu, KPU juga memperluas tafsir dalam pasal 416 UU 7/2017.
"Nasibnya (Jokowi-Ma'ruf) baik-baik saja. Kalau kita kaitkan dengan putusan MA, tidak ada pengaruhnya sama sekali. Legitimasi hukum tidak berkurang," kata Refly Harun dalam video berjudul "Misteri Putusan MA, Nasib Jokowi-Ma'ruf!!!" yang diunggah di chanel Youtubenya, Kamis (9/7/2020).
Refly memaparkan mengapa putusan MA yang mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri dan kawan-kawan, tidak akan menggoyang posisi Jokowi sebagai presiden. Pertama, kata Refly, putusan tersebut sangat terlambat. Permohonan uji materi diajukan pada 13 Mei 2019 tapi baru diputuskan pada 28 Oktober 2019. (Baca Juga: KPU Tetapkan Jokowi-Ma'ruf sebagai Presiden dan Wapres Terpilih)
"Kita tahu bahwa penetapan pemenang dilakukan pada bulan Mei, putusan sengketa di MK (Mahkamah Konstitusi) dilakukan pada bulan Juni, pelantikan presiden dan wakil presiden dilakukan pada 20 Oktober 2019. Jadi putusan ini tidak menimbulkan efek dalam mengatur governance berpilpres 2019," katanya.
Menurut pemilik akun Youtube dengan 298.000 subscriber tersebut, sebuah putusan hukum sedapat mungkin memenuhi tiga aspek, yakni kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Menurut Refly, jika sebuah putusan tidak bermanfaat, maka aspek keadilan tidak tercapai.
"Putusan MA bertentangan putusan MK pada 2014 dalam konsteks pengujian UU Nomor 42 tahun 2008. MK mengatakan jika ada dua pasangan calon, maka tidak diberlakukan lagi syarat persebaran, cukup suara terbanyak. MK menganggap dukungan yang diberikan partai politik kepada dua pasangan calon yang bertanding itu sudah cukup menggambarkan bahwa mereka mewakili ketersebaran penduduk di Indonesia," katanya.
Kelemahan dari putusan MA selanjutnya adalah keterlambatan publikasi. Putusan bernomor 44 P/PHUM/2019 itu telah ditetapkan pada 28 Oktober 2019, tapi baru dipublikasikan pada 3 Juli 2020. Artinya, ada rentang waktu sekitar 8 bulan antara penetapan hingga publikasi. ( )
"Kesalahan waktu itu dua, waktu untuk memutuskan cukup lama sampai lima bulan, waktu untuk mempublikasikan sampai 8 bulan. Jadi kesalahan luar biasa yang dilakukan MA," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pada 3 Juli 2020, MA merilis putusan yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilu. MA menyatakan bahwa Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 berbunyi "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih". Sedangkan Pasal 416 ayat 1 UU 7/2017 berbunyi "Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".
Dalam pertimbangannya MA berpendapat, KPU yang mengeluarkan PKPU 5/2019 telah membuat norma baru dari peraturan yang berada di atasnya, yakni UU 7/2019. Selain itu, KPU juga memperluas tafsir dalam pasal 416 UU 7/2017.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda