Ironis, Data Pekerja Migran di BP2MI, Kemlu, dan Kemenaker Berbeda

Kamis, 09 Juli 2020 - 22:35 WIB
Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengungkapkan bahwa data pekerja migran Indonesia miliknya berbeda dengan Kemenaker dan Kemlu. FOTO/SINDOnews/ABDUL ROCHIM
JAKARTA - Persoalan Pekerja Migran Indonesia (PMI) tidak hanya terjadi di negara tempat tujuan, tapi berbagai persoalan ada sejak di dalam negeri. Salah satu persoalan mendasar dari persoalan PMI adalah data yang tidak sinkron antarlembaga pemerintahan.

Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan, ada problem yang sangat serius dalam tata kelola PMI . Dia menyebutkan data jumlah PMI yang ada di BP2MI yang terintegrasi dengan data Keimigrasian by name by address ada sebanyak 3,7 juta PMI. Sementara di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sebanyak 5 juta, dan di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) 4,2 juta.

"Artinya tiga kementerian lembaga ini memiliki data yang berbeda. Kalau kita ingin mengagungkan data World Bank jumlah PMI ada 9 juta. Tentu saya tidak ragu dengan data BP2MI karena terintegrasi dengan data Keimigrasian. Tapi ketika ada angka yang berbeda antarlembaga ini maka muncul keraguan publik terhadap data. Kalau trust publik tidak ada kepada kementerian/lembaga maka kita harus jujur ada problem bernegara, khususnya dalam mendata jumlah pasti berapa jumlah PMI," ujar Benny Rhamdani dalam Bincang Seru Live IG SINDOnews bertajuk "Berantas Mafia Percaloan Pekerja Migran", Rabu (8/7/2020).( )



Dikatakan Benny, jika mengacu pada data World Bank jumlah PMI sebanyak 9 juta maka ada selisih 5,3 PMI yang tidak terdeteksi dalam sistem yang dimiliki BP2MI. "Maka secara otomatis mereka WNI yang bekerja di luar negeri ada di luar kontrol perlindungan negara. Bagaimana kita melindungi PMI karena di sisi lain mereka juga tidak terdata dalam sistem kita," tuturnya.

Padahal, dalam proses pengiriman PMI ini, kata Benny, ada masalah serius berupa praktik perbudakan modern yang dilakukan para mafia, sindikat, komplotan penjahat dengan melibatkan oknum-oknum yang hari ini ada di institusi-institusi kekuasaan.

"Mereka diberikan kewenangan oleh negara untuk mengurus PMI, tapi mereka justru terlibat dalam kejahatan yang disebut pengiriman ilegal ke negara-negara penerima. Maka BP2MI menyatakan perang terhadap sindikasi pengiriman PMI ilegal karena ini merupakan kejahatan luar biasa, bisnis kotor yang seolah-olah bendera negara lebih rendah daripada bendera-bendera perusahaan," katanya.

Menurutnya, inilah saatnya negara hadir untuk memberantas praktik jahat sindikasi pengiriman PMI ilegal. "Saatnya negara harus hadir, hukum harus bekerja, dan posisi Bendera Merah Putih harus dikembalikan di atas lebih tinggi posisinya dari bendera-bendera perusahaan," katanya.( )

Dikatakan Benny, tantangan ke depan adalah bagaimana negara melindungi PMI sementara ada 5,3 juta PMI yang tidak ada dalam deteksi sistem BP2MI. Nama, daerah asal, dan di negara mana mereka bekerja tidak diketahui oleh negara. Karena itu, diperlukan modernisasi sistem yang terintegrasi dalam satu Big Single Data PMI. "Kalau ada sistem yang menghasilkan big single data maka otomatis negara bisa mengetahui warganya yang harus dilindungi," tuturnya.

Benny menargetkan big single data ini akan tercapai dalam enam bulan ke depan. Pihaknya juga bekerja sama dengan kerja sama dengan kementerian dan lembaga lain, baik Kemlu, Kemenaker, dan lainnya untuk kepentingan ini. "Modernisasi sistem telah disetujui Pak Presiden," katanya.
(abd)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More