Gagal Masuk AL, Anak Tokoh Muhammadiyah Ini Malah Jadi Panglima TNI
Sabtu, 26 November 2022 - 05:30 WIB
Di Baret Hijau, tentara yang pernah terlibat operasi penumpasan G30 S/PKI ini dipercaya sebagai Kastaf dan Komandan Brigif Lintas Udara 17 Kostrad. Setelah itu meroket sebagai Asisten Operasi Kepala Staf Kostrad, Kepala Staf Komando Tempur Lintas Udara Kostrad dan akhirnya Panglima Komando Tempur Lintas Udara Kostrad (Divisi Infanteri 1/Kostrad).
Karier jenderal berkumis tebal ini semakin mencorong. Dia dipromosikan sebagi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri pada 1983 hingga 1985, kemudian Pangdam VI/Tanjungpura (1985-1988). Setelah itu dia dipercaya sebagai Dansekoad, kemudian Kasum ABRI.
“Dari posisi Kasum itulah Feisal naik ke kursi Panglima menggantikan Edi Sudrajat yang duduk di kursi pimpinan ABRI selama hanya hampir tiga bulan,” kata Salim Said dalam buku “Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian”.
Salim Said menuturkan, sebelum mengangkat Feisal, Presiden Soeharto perlu kesaksian tentang calon panglima ABRI itu dari orang-orang yang kenal secara pribadi. Mereka yang ditanyai Soeharto antara lain Menko Azwar Anas dan Mayjen TNI Zaini Azhar Maulani.
Mereka diminta bersaksi lewat rekaman yang alat perekamnya dibawa Kolonel Kivlan Zein dan Kolonel Ismed Yuzeri. Rekaman itu kemudian diperdengarkan kepada Soeharto.
“Saya tidak tahu siapa saja yang diminta kesaksiannya sebelum akhirnya Bapak Presiden berkeputusan melantik Feisal Tanjung sebagai pangab,” tutur Said.
Apa pun, keputusan itu memang dinilai mengejutkan. Lazimnya, calon Pangab yaitu KSAD yang ketika itu dijabat Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar. Banyak yang menilai pemilihan Feisal sebagai panglima merupakan cara Soeharto untuk mempererat kembali hubungan dengan kalangan Islam.
Tak heran pada masa ini Soeharto banyak mempromosikan ‘jenderal santri’. Selain Feisal, masuk dalam lingkaran dekat Soeharto yakni R Hartono, yang berdarah Madura. Mereka kerap disebut-sebut sebagai ‘ABRI Hijau’.
Setelah tak lagi menjadi pangab, Feisal dipercaya Soeharto sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan (menko polkam). Jenderal Baret Merah yang pernah memimpin Operasi Lembah X di pedalaman Papua itu meninggal dunia karena sakit pada 18 Februari 2013.
Karier jenderal berkumis tebal ini semakin mencorong. Dia dipromosikan sebagi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri pada 1983 hingga 1985, kemudian Pangdam VI/Tanjungpura (1985-1988). Setelah itu dia dipercaya sebagai Dansekoad, kemudian Kasum ABRI.
“Dari posisi Kasum itulah Feisal naik ke kursi Panglima menggantikan Edi Sudrajat yang duduk di kursi pimpinan ABRI selama hanya hampir tiga bulan,” kata Salim Said dalam buku “Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian”.
Salim Said menuturkan, sebelum mengangkat Feisal, Presiden Soeharto perlu kesaksian tentang calon panglima ABRI itu dari orang-orang yang kenal secara pribadi. Mereka yang ditanyai Soeharto antara lain Menko Azwar Anas dan Mayjen TNI Zaini Azhar Maulani.
Mereka diminta bersaksi lewat rekaman yang alat perekamnya dibawa Kolonel Kivlan Zein dan Kolonel Ismed Yuzeri. Rekaman itu kemudian diperdengarkan kepada Soeharto.
“Saya tidak tahu siapa saja yang diminta kesaksiannya sebelum akhirnya Bapak Presiden berkeputusan melantik Feisal Tanjung sebagai pangab,” tutur Said.
Apa pun, keputusan itu memang dinilai mengejutkan. Lazimnya, calon Pangab yaitu KSAD yang ketika itu dijabat Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar. Banyak yang menilai pemilihan Feisal sebagai panglima merupakan cara Soeharto untuk mempererat kembali hubungan dengan kalangan Islam.
Tak heran pada masa ini Soeharto banyak mempromosikan ‘jenderal santri’. Selain Feisal, masuk dalam lingkaran dekat Soeharto yakni R Hartono, yang berdarah Madura. Mereka kerap disebut-sebut sebagai ‘ABRI Hijau’.
Setelah tak lagi menjadi pangab, Feisal dipercaya Soeharto sebagai menteri koordinator bidang politik dan keamanan (menko polkam). Jenderal Baret Merah yang pernah memimpin Operasi Lembah X di pedalaman Papua itu meninggal dunia karena sakit pada 18 Februari 2013.
(muh)
tulis komentar anda