Jubir: RKUHP Hargai Hukum Adat dan Tak Kriminalisasi Kelompok Rentan
Kamis, 24 November 2022 - 13:12 WIB
JAKARTA - Inisiator Jaringan Masyarakat Sipil Sulsel, Rosmiati Sain mengatakan, jika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan terburu-buru akan memunculkan persoalan. Menurutnya, hal ini pun menjadi kekhawatiran tersendiri.
"Ketika RKUHP ini disahkan secara tergesa-gesa, akan banyak terjadi persoalan dan kriminalisasi terhadap kelompok rentan," kata Rosmiati Sain dalam keterangannya, Kamis (24/11/2022).
Kata Albert, delik adat yang berlaku akan ditegaskan dalam Peraturan Daerah agar memperkuat kedudukan hukum delik adat dan sekaligus memberikan kepastian hukum. Sanksinya berupa pemenuhan kewajiban adat (Pasal 601) yang dianggap sebanding dengan Pidana Denda kategori II (10 juta Rupiah).
"Pengaturan ini juga sesuai pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Perda dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP," ungkapnya.
"Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan 'Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur UU," sambungnya.
Sementara untuk isu RKUHP melakukan kriminalisasi terhadap kelompok rentan, menurut Alrbet itu tidak benar, karena hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan telah sesuai dengan konvensi hak sipil dan politik.
"RKUHP netral terhadap gender, termasuk mengatur pertanggungjawaban pidana secara seimbang dengan cara memperkenalkan double track system yaitu selain mengatur pidana mengatur tindakan juga sehingga tidak semua pelaku tindak pidana harus berakhir di penjara, serta ketentuan penodaan agama dalam RKUHP juga telah disesuaikan dengan konvensi hak sipil dan politik (ICCPR)," pungkasnya.
"Ketika RKUHP ini disahkan secara tergesa-gesa, akan banyak terjadi persoalan dan kriminalisasi terhadap kelompok rentan," kata Rosmiati Sain dalam keterangannya, Kamis (24/11/2022).
Kata Albert, delik adat yang berlaku akan ditegaskan dalam Peraturan Daerah agar memperkuat kedudukan hukum delik adat dan sekaligus memberikan kepastian hukum. Sanksinya berupa pemenuhan kewajiban adat (Pasal 601) yang dianggap sebanding dengan Pidana Denda kategori II (10 juta Rupiah).
"Pengaturan ini juga sesuai pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Perda dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP," ungkapnya.
"Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan 'Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur UU," sambungnya.
Sementara untuk isu RKUHP melakukan kriminalisasi terhadap kelompok rentan, menurut Alrbet itu tidak benar, karena hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan telah sesuai dengan konvensi hak sipil dan politik.
"RKUHP netral terhadap gender, termasuk mengatur pertanggungjawaban pidana secara seimbang dengan cara memperkenalkan double track system yaitu selain mengatur pidana mengatur tindakan juga sehingga tidak semua pelaku tindak pidana harus berakhir di penjara, serta ketentuan penodaan agama dalam RKUHP juga telah disesuaikan dengan konvensi hak sipil dan politik (ICCPR)," pungkasnya.
(maf)
tulis komentar anda