Politik Identitas Sempit Dinilai Bisa Timbulkan Konflik Horizontal
Rabu, 23 November 2022 - 06:19 WIB
JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing menilai bahwa politik identitas yang sempit bisa memicu konflik horizontal. Politik identitas yang sempit jika terus digulirkan ke publik amat berbahaya.
Dia berpendapat bahwa politik identitas sah saja ketika pesan yang disampaikan seperti saling menghargai suku dan budaya atau nilai-nilai seni yang luhur, mengangkat keagungan Tuhan Yang Maha Esa, menghormati apa pun agama yang dianut.
Kata Emrus, yang berbahaya adalah politik identitas yang sempit. Ketika komunikasi politik di ruang publik dimanfaatkan untuk merendahkan kepercayaan, suku, atau budaya tertentu.
"Politik identitas yang sempit bisa memecah belah. Itu tidak boleh dibiarkan, karena itu mengancam persatuan kita dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Konflik hoirizontal lebih sulit diatasi dibandingkan konflik vertikal," ujar Emrus Sihombing, Selasa (22/11/2022).
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa konflik horizontal adalah pertikaian antarsesama kelas sosial tertentu, satu suku dengan suku lain, satu agama dengan agama lain. Sedangkan konflik vertikal melibatkan kelas sosial yang tinggi dan rendah.
"Kalau Indonesia konflik, negara lain yang menikmati. Pembangunan tidak akan berjalan," tutur Emrus Sihombing.
Emrus merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Munas ke-17 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Jokowi dalam Munas ke-17 HIPMI itu mengimbau kepada kontestan pemilu agar tidak menggunakan politik identitas dan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Presiden Jokowi mengajak kontestan mengedepankan ide dan gagasan. Dia mengatakan, bangsa ini sudah merasakan cukup lama dampak dari politik identitas.
"Tidak kali pertama Pak Jokowi mengatakan itu. Apa yang dikatakan Presiden sangat betul. Capres dan cawapres harus adu ide dan gagasan. Jauhkan politik identitas yang sempit atas dasar SARA," kata Emrus.
Kemudian, semua ketua partai politik harus menghormati sikap Presiden Jokowi dengan tegas menyampaikan ke ruang publik menolak politik identitas yang sempit dan isu SARA. Kandidat dalam pemilu fokus pada program pembangunan.
"Mengangkat politik identitas yang sempit dan isu SARA sama saja menunjukkan calon tidak punya program, sesungguhnya mereka lemah. Partai politik harus punya komitmen politik semacam perjanjian dengan kandidat bahwa politik identitas yang sempit boleh," pungkas Emrus.
Dia berpendapat bahwa politik identitas sah saja ketika pesan yang disampaikan seperti saling menghargai suku dan budaya atau nilai-nilai seni yang luhur, mengangkat keagungan Tuhan Yang Maha Esa, menghormati apa pun agama yang dianut.
Kata Emrus, yang berbahaya adalah politik identitas yang sempit. Ketika komunikasi politik di ruang publik dimanfaatkan untuk merendahkan kepercayaan, suku, atau budaya tertentu.
"Politik identitas yang sempit bisa memecah belah. Itu tidak boleh dibiarkan, karena itu mengancam persatuan kita dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Konflik hoirizontal lebih sulit diatasi dibandingkan konflik vertikal," ujar Emrus Sihombing, Selasa (22/11/2022).
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa konflik horizontal adalah pertikaian antarsesama kelas sosial tertentu, satu suku dengan suku lain, satu agama dengan agama lain. Sedangkan konflik vertikal melibatkan kelas sosial yang tinggi dan rendah.
"Kalau Indonesia konflik, negara lain yang menikmati. Pembangunan tidak akan berjalan," tutur Emrus Sihombing.
Emrus merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Munas ke-17 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Jokowi dalam Munas ke-17 HIPMI itu mengimbau kepada kontestan pemilu agar tidak menggunakan politik identitas dan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Presiden Jokowi mengajak kontestan mengedepankan ide dan gagasan. Dia mengatakan, bangsa ini sudah merasakan cukup lama dampak dari politik identitas.
"Tidak kali pertama Pak Jokowi mengatakan itu. Apa yang dikatakan Presiden sangat betul. Capres dan cawapres harus adu ide dan gagasan. Jauhkan politik identitas yang sempit atas dasar SARA," kata Emrus.
Kemudian, semua ketua partai politik harus menghormati sikap Presiden Jokowi dengan tegas menyampaikan ke ruang publik menolak politik identitas yang sempit dan isu SARA. Kandidat dalam pemilu fokus pada program pembangunan.
"Mengangkat politik identitas yang sempit dan isu SARA sama saja menunjukkan calon tidak punya program, sesungguhnya mereka lemah. Partai politik harus punya komitmen politik semacam perjanjian dengan kandidat bahwa politik identitas yang sempit boleh," pungkas Emrus.
(rca)
tulis komentar anda