Peneliti BRIN: Muhammadiyah Payung Besar Dinamika Politik Indonesia
Jum'at, 18 November 2022 - 15:40 WIB
JAKARTA - Peneliti Bidang Agama dan Tradisi Keagamaan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani mengatakan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah di Solo tidak akan membahas Pemilu 2024. Muktamar akan membahas isu-isu strategis yang lebih besar meliputi kebangsaan, keumatan, dan Muhammadiya sendiri.
Politik nasional saat ini dan ke depannya menjadi bagian di dalamnya. “Jadi, tidak secara spesifik muktamar itu membahas katakanlah pemilu 2024,” ucapnya.
Menurut Najib, Muhammadiyah itu mempunyai peran yang jauh lebih besar, yakni menjaga keutuhan bangsa dan kerukunan dari berbagai elemen, partai, dan kelompok yang ada di negara ini. “Jadi payung di dalam dinamika perpolitikan yang ada di dalam negeri. Itu akan diperankan oleh Muhammadiyah. Harapannya, tentu saja bahwa transisi politik dan kepemimpinan dalam negeri itu tidak membawa kepada keburukan,” paparnya.
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah itu mengungkapkan salah satu permasalahan yang muncul ketika terjadi transisi kepemimpinan, yakni arah kebijakan dan program-program kerap berubah. Menurut, kebijakan dan program yang sudah baik dari pemerintah sebelumnya sebaiknya dipertahankan atau dilanjutkan. Visi pembangunan Indonesia harus direncanakan dengan baik dan jangka panjang.
“Jadi, kita berharap sebuah long estafet. Sebuah tongkat estafet yang berkelanjutan antara satu pemerintahan atau presiden berikutnya yang diperlukan untuk membangun bangsa ini. Tidak hanya sekedar berpikir 5 atau 10 tahun, tetapi panjang dan bersama-sama kita berpikir untuk membangun negara ini,” tegasnya.
Muhammadiyah, menurutnya, akan terus menyuarakan dan mengingatkan pesan-pesan moral seperti itu kepada pemerintah atau siapapun pemimpin Indonesia. “Cara kita melakukan dan menekankan tentang pentingnya hal tersebut dengan sebuah argumentasi dan narasi-narasi positif tentang pentingnya menjaga konsistensi dan sebagainya. Itu yang bisa kita lakukan,” ungkapnya.
Dalam soal pengabdian, kader dan aktivis-aktivis Muhammadiyah banyak yang berkecimpung dalam dunia politik, baik di legislatif maupun eksekutif. Di setiap kabinet selalu ada kader-kader terbaik Muhammadiyah. Meski tak ikut berpolitik secara organisasi, keberadaan kader dan aktivis ini tentunya diharapkan bisa menyuarakan kepentingan Muhammadiyah sambil tetap mengawal dan berkontribusi untuk negara.
“Ketika orang Muhammadiyah itu sudah masuk di dalam politik dan pemerintahan, dia sudah dihibahkan kepada negara. Bukan lagi representasi dari Muhammadiyah saja. Dia memiliki tugas kepada negara. Dan itu selalu ditekankan oleh pimpinan Muhammadiyah, seperti Pak Haedar Nashir dan Pak Muhadjir Effendy sendiri. Jadi, dia diwakafkan kepada negara, bukan mengurus tentang Muhammadiyah,” tegasnya.
Muhammadiyah memang sering dianggap lebih kalem dalam urusan politik. Najib menuturkan hal ini disebabkan para pengurus sangat sibuk untuk mengelola organisasi karena mungkin sudah sama seperti mengurus negara. Muhammadiyah saat ini memiliki 170 universitas, ratusan rumah sakit, dan sebagainya.
“Negara itu artinya urusan kita sangat banyak untuk di dalam Muhammadiyah. Kita memiliki keinginan, terutama Muhammadiyah, aktivis politik untuk banyak terlibat. Tetapi secara umum, mengurus organisasi Muhammadiyah itu seperti mengurus negara. Dan kesibukan beberapa orang Muhammadiyah itu cukup tersita untuk mengurus organisasinya. Yang itu bagian kontribusi Muhammadiyah kepada negara,” jelasnya.
Politik nasional saat ini dan ke depannya menjadi bagian di dalamnya. “Jadi, tidak secara spesifik muktamar itu membahas katakanlah pemilu 2024,” ucapnya.
Menurut Najib, Muhammadiyah itu mempunyai peran yang jauh lebih besar, yakni menjaga keutuhan bangsa dan kerukunan dari berbagai elemen, partai, dan kelompok yang ada di negara ini. “Jadi payung di dalam dinamika perpolitikan yang ada di dalam negeri. Itu akan diperankan oleh Muhammadiyah. Harapannya, tentu saja bahwa transisi politik dan kepemimpinan dalam negeri itu tidak membawa kepada keburukan,” paparnya.
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah itu mengungkapkan salah satu permasalahan yang muncul ketika terjadi transisi kepemimpinan, yakni arah kebijakan dan program-program kerap berubah. Menurut, kebijakan dan program yang sudah baik dari pemerintah sebelumnya sebaiknya dipertahankan atau dilanjutkan. Visi pembangunan Indonesia harus direncanakan dengan baik dan jangka panjang.
“Jadi, kita berharap sebuah long estafet. Sebuah tongkat estafet yang berkelanjutan antara satu pemerintahan atau presiden berikutnya yang diperlukan untuk membangun bangsa ini. Tidak hanya sekedar berpikir 5 atau 10 tahun, tetapi panjang dan bersama-sama kita berpikir untuk membangun negara ini,” tegasnya.
Muhammadiyah, menurutnya, akan terus menyuarakan dan mengingatkan pesan-pesan moral seperti itu kepada pemerintah atau siapapun pemimpin Indonesia. “Cara kita melakukan dan menekankan tentang pentingnya hal tersebut dengan sebuah argumentasi dan narasi-narasi positif tentang pentingnya menjaga konsistensi dan sebagainya. Itu yang bisa kita lakukan,” ungkapnya.
Dalam soal pengabdian, kader dan aktivis-aktivis Muhammadiyah banyak yang berkecimpung dalam dunia politik, baik di legislatif maupun eksekutif. Di setiap kabinet selalu ada kader-kader terbaik Muhammadiyah. Meski tak ikut berpolitik secara organisasi, keberadaan kader dan aktivis ini tentunya diharapkan bisa menyuarakan kepentingan Muhammadiyah sambil tetap mengawal dan berkontribusi untuk negara.
“Ketika orang Muhammadiyah itu sudah masuk di dalam politik dan pemerintahan, dia sudah dihibahkan kepada negara. Bukan lagi representasi dari Muhammadiyah saja. Dia memiliki tugas kepada negara. Dan itu selalu ditekankan oleh pimpinan Muhammadiyah, seperti Pak Haedar Nashir dan Pak Muhadjir Effendy sendiri. Jadi, dia diwakafkan kepada negara, bukan mengurus tentang Muhammadiyah,” tegasnya.
Muhammadiyah memang sering dianggap lebih kalem dalam urusan politik. Najib menuturkan hal ini disebabkan para pengurus sangat sibuk untuk mengelola organisasi karena mungkin sudah sama seperti mengurus negara. Muhammadiyah saat ini memiliki 170 universitas, ratusan rumah sakit, dan sebagainya.
“Negara itu artinya urusan kita sangat banyak untuk di dalam Muhammadiyah. Kita memiliki keinginan, terutama Muhammadiyah, aktivis politik untuk banyak terlibat. Tetapi secara umum, mengurus organisasi Muhammadiyah itu seperti mengurus negara. Dan kesibukan beberapa orang Muhammadiyah itu cukup tersita untuk mengurus organisasinya. Yang itu bagian kontribusi Muhammadiyah kepada negara,” jelasnya.
(muh)
tulis komentar anda