Eksploitasi dan Trafficking Anak Marak di Masa Pandemi Covid-19
Rabu, 08 Juli 2020 - 14:58 WIB
JAKARTA - Anak menjadi salah satu kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan, eksploitasi, bahkan menjadi korban perdagangan orang (human trafficking). Kondisi tersebut dapat diperparah dengan terjadinya bencana non alam, seperti pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda Indonesia saat ini.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kementerian PPPA, Valentina Ginting memaparkan, berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 1 Januari-26 Juni 2020, ada 3.297 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama pandemi Covid-19. Sebanyak 1.962 anak di antaranya menjadi korban kekerasan seksual, 50 anak menjadi korban eksploitasi, dan 61 anak menjadi korban trafficking. “Angka ini menunjukan bahwa kekerasan, eksploitasi dan trafficking rentan mengancam anak khususnya di situasi bencana,” tutur Valentina dikutip dari keterangan resmi yang diperoleh SINDOnews, Rabu (8/7/2020). (Baca juga: 284 Kabupaten/Kota Lapor Tak Ada Kasus Kematian COVID-19)
Pada situasi bencana, anak seringkali mengalami dua jenis eksploitasi. Pertama, eksploitasi ekonomi, seperti dipaksa untuk bekerja, melakukan bentuk pekerjaan terburuk anak, dan eksploitasi dalam industri kreatif. Berikutnya adalah eksploitasi seksual, seperti prostitusi atau pelacuran anak, pornografi, pariwisata seks anak, dan eksploitasi seksual daring. (Baca juga: Tarif Semua Jenis Tes COVID-19 Perlu Distandarisasi)
Menyikapi hal itu, Valentina menegaskan pentingnya pengumpulan data yang valid untuk memastikan dan mengetahui jumlah anak yang rentan mengalami eksploitasi dan trafficking dalam bencana. Merujuk pada Pasal 59A ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014, pemerintah pusat maupun daerah dan lembaga negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.
“Kita harus memberikan perlindungan khusus dan meminimalisasi kerentanan anak dalam situasi bencana, yaitu dengan melakukan penanganan cepat melalui rehabilitasi fisik, sosial dan pencegahan penyakit lainnya. Memberikan pendampingan psikososial untuk mempercepat pemulihan anak, bantuan sosial bagi anak atau keluarga yang tidak mampu, dan memberikan perlindungan bagi anak korban eksploitasi dalam setiap proses peradilan,” ujar dia. (Baca juga: Peningkatan Tes Usap Kunci Penanggulangan Covid-19)
Karena itu, lanjut Valentina, Kementerian PPPA menyelenggarakan pelatihan atau e-learning manajemen kasus sebagai upaya perlindungan anak pascabencana di wilayah bencana seperti Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Pelatihan ini menurutnya penting bagi aktivis dan pendamping suatu kasus terkait anak sebagai pedoman di lapangan dalam memberikan perlindungan terhadap anak di masa pandemi ini.
Ada tiga rencana strategis pencegahan trafficking dan eksploitasi anak yang difokuskan dalam pelatihan tersebut seperti melakukan pencegahan dengan melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat. Selanjutnya, memperbaiki atau meningkatkan sistem pelaporan dan pelayanan pengaduan serta melakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus agar dilakukan dengan cepat, terintegrasi, dan komprehensif.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kementerian PPPA, Valentina Ginting memaparkan, berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 1 Januari-26 Juni 2020, ada 3.297 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama pandemi Covid-19. Sebanyak 1.962 anak di antaranya menjadi korban kekerasan seksual, 50 anak menjadi korban eksploitasi, dan 61 anak menjadi korban trafficking. “Angka ini menunjukan bahwa kekerasan, eksploitasi dan trafficking rentan mengancam anak khususnya di situasi bencana,” tutur Valentina dikutip dari keterangan resmi yang diperoleh SINDOnews, Rabu (8/7/2020). (Baca juga: 284 Kabupaten/Kota Lapor Tak Ada Kasus Kematian COVID-19)
Pada situasi bencana, anak seringkali mengalami dua jenis eksploitasi. Pertama, eksploitasi ekonomi, seperti dipaksa untuk bekerja, melakukan bentuk pekerjaan terburuk anak, dan eksploitasi dalam industri kreatif. Berikutnya adalah eksploitasi seksual, seperti prostitusi atau pelacuran anak, pornografi, pariwisata seks anak, dan eksploitasi seksual daring. (Baca juga: Tarif Semua Jenis Tes COVID-19 Perlu Distandarisasi)
Menyikapi hal itu, Valentina menegaskan pentingnya pengumpulan data yang valid untuk memastikan dan mengetahui jumlah anak yang rentan mengalami eksploitasi dan trafficking dalam bencana. Merujuk pada Pasal 59A ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014, pemerintah pusat maupun daerah dan lembaga negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.
“Kita harus memberikan perlindungan khusus dan meminimalisasi kerentanan anak dalam situasi bencana, yaitu dengan melakukan penanganan cepat melalui rehabilitasi fisik, sosial dan pencegahan penyakit lainnya. Memberikan pendampingan psikososial untuk mempercepat pemulihan anak, bantuan sosial bagi anak atau keluarga yang tidak mampu, dan memberikan perlindungan bagi anak korban eksploitasi dalam setiap proses peradilan,” ujar dia. (Baca juga: Peningkatan Tes Usap Kunci Penanggulangan Covid-19)
Karena itu, lanjut Valentina, Kementerian PPPA menyelenggarakan pelatihan atau e-learning manajemen kasus sebagai upaya perlindungan anak pascabencana di wilayah bencana seperti Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Pelatihan ini menurutnya penting bagi aktivis dan pendamping suatu kasus terkait anak sebagai pedoman di lapangan dalam memberikan perlindungan terhadap anak di masa pandemi ini.
Ada tiga rencana strategis pencegahan trafficking dan eksploitasi anak yang difokuskan dalam pelatihan tersebut seperti melakukan pencegahan dengan melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat. Selanjutnya, memperbaiki atau meningkatkan sistem pelaporan dan pelayanan pengaduan serta melakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus agar dilakukan dengan cepat, terintegrasi, dan komprehensif.
(cip)
tulis komentar anda