Radikalisme dan Terorisme Bukan Stigmatisasi Kepada Umat Islam
Kamis, 03 November 2022 - 20:17 WIB
JAKARTA - Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan turut prihatin adanya anggapan bahwa radikalisme dan terorisme adalah labeling dan stigmastisasi pemerintah terhadap agama Islam. Padahal, menurut Ken, keduanya nyata ada di tengah masyarakat.
Pernyataan Ken ini menanggapi ditangkapnya seorang wanita benama Siti Elina (SE) yang hendak menerobos masuk ke Istana dengan membawa pistol, beberapa waktu lalu. Ironisnya, pasca kejadian itu, muncul komentar seorang tokoh yang mengatakan kasus tersebut merupakan bentuk stigmatisasi pemerintah terhadap umat Islam. Bahkan tokoh itu meminta masyarakat jangan percaya terhadap radikalisme dan terorisme karena merupakan bagian dari setting pemerintah menjelang akhir tahun dan tahun politik.
"Narasi tersebut sangat berbahaya karena sebagian masyarakat yang minim literasi dapat terpengaruh dengan narasi stigmatisasi agama dan tidak adanya ancaman terorisme yang hanya sekedar rekayasa," kata Ken di Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Menurutnya, perlu edukasi lebih masif dari segenap elemen untuk menyebarkan pemahaman bahwa melawan radikalisme dan terorisme bukan proses stigmatisasi agama, tetapi justru menyelamatkan agama dari fitnah yang di lakukan kelompok teror.
Ken mengungkapkan, ada sebuah fakta orang belajar dengan guru yang salah, akhirnya menafsirkan dan mengaplikasikan ayat-ayat jihad dengan cara keliru. Hal itulah yang dialami oleh SE yang mendapat pengaruh dari gurunya dan suaminya yang juga terungkap menjadi bendahara NII Jakarta Utara.
Menurut Ken, Ideologi NII tidak akan pernah mati, justru saat ini cukup masif, terutama di kalangan perempuan. Hal itu dibuktikan dengan beberapa pelaku aksi terorisme yang melibatkan kaum perempuan. Sebelum kasus SE, kejadian penyerangan Mabes Polri juga dilakukan oleh seorang perempuan, juga bom bunuh diri di Surabaya dan Makassar.
"Perempuan lebih rentan karena bila sudah bergabung dengan NII atau HTI dan terikat pernikahan, maka dia ketaatan pada kelompoknya lebih kuat," ujarnya.
Baca juga: Siti Elina, Perempuan Bercadar Penerobos Istana Presiden Jadi Tersangka
Bahkan, lanjut Ken, banyak laporan pengaduan kasus yang diterima NII Crisis Center akhir-akhir ini adalah perempuan, tidak sedikit yang berpendidikan S1 dan S2 di perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia mendorong dibuatnya regulasi untuk melarang ideologi yang diusung kelompok radikalisme itu di Indonesia. Menurutnya, ini penting karena jelas bertentangan dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila.
"Saat ini belum ada payung hukum yang dapat menindak paham radikalisme seperti NII, khilafaisme, salafisme, wahabisme dan lain-lain. Kalau pun ditindak hanya organisasinya, itu pun hanya dengan pasal yang ringan, bila mereka ganti nama maka mereka bisa kembali melakukan perekrutan dan penggalangan dana," kata Ken Setiawan.
Dalam hal ini, butuh ketegasan negara agar dapat memberantas paham radikalisme yang mengatasnamakan agama. Pasalnya, tak satu pun agama di muka bumi yang mengajarkan kekerasaan, merusak, apalagi membunuh sesama.
Pernyataan Ken ini menanggapi ditangkapnya seorang wanita benama Siti Elina (SE) yang hendak menerobos masuk ke Istana dengan membawa pistol, beberapa waktu lalu. Ironisnya, pasca kejadian itu, muncul komentar seorang tokoh yang mengatakan kasus tersebut merupakan bentuk stigmatisasi pemerintah terhadap umat Islam. Bahkan tokoh itu meminta masyarakat jangan percaya terhadap radikalisme dan terorisme karena merupakan bagian dari setting pemerintah menjelang akhir tahun dan tahun politik.
"Narasi tersebut sangat berbahaya karena sebagian masyarakat yang minim literasi dapat terpengaruh dengan narasi stigmatisasi agama dan tidak adanya ancaman terorisme yang hanya sekedar rekayasa," kata Ken di Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Menurutnya, perlu edukasi lebih masif dari segenap elemen untuk menyebarkan pemahaman bahwa melawan radikalisme dan terorisme bukan proses stigmatisasi agama, tetapi justru menyelamatkan agama dari fitnah yang di lakukan kelompok teror.
Ken mengungkapkan, ada sebuah fakta orang belajar dengan guru yang salah, akhirnya menafsirkan dan mengaplikasikan ayat-ayat jihad dengan cara keliru. Hal itulah yang dialami oleh SE yang mendapat pengaruh dari gurunya dan suaminya yang juga terungkap menjadi bendahara NII Jakarta Utara.
Menurut Ken, Ideologi NII tidak akan pernah mati, justru saat ini cukup masif, terutama di kalangan perempuan. Hal itu dibuktikan dengan beberapa pelaku aksi terorisme yang melibatkan kaum perempuan. Sebelum kasus SE, kejadian penyerangan Mabes Polri juga dilakukan oleh seorang perempuan, juga bom bunuh diri di Surabaya dan Makassar.
"Perempuan lebih rentan karena bila sudah bergabung dengan NII atau HTI dan terikat pernikahan, maka dia ketaatan pada kelompoknya lebih kuat," ujarnya.
Baca juga: Siti Elina, Perempuan Bercadar Penerobos Istana Presiden Jadi Tersangka
Bahkan, lanjut Ken, banyak laporan pengaduan kasus yang diterima NII Crisis Center akhir-akhir ini adalah perempuan, tidak sedikit yang berpendidikan S1 dan S2 di perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ia mendorong dibuatnya regulasi untuk melarang ideologi yang diusung kelompok radikalisme itu di Indonesia. Menurutnya, ini penting karena jelas bertentangan dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila.
"Saat ini belum ada payung hukum yang dapat menindak paham radikalisme seperti NII, khilafaisme, salafisme, wahabisme dan lain-lain. Kalau pun ditindak hanya organisasinya, itu pun hanya dengan pasal yang ringan, bila mereka ganti nama maka mereka bisa kembali melakukan perekrutan dan penggalangan dana," kata Ken Setiawan.
Dalam hal ini, butuh ketegasan negara agar dapat memberantas paham radikalisme yang mengatasnamakan agama. Pasalnya, tak satu pun agama di muka bumi yang mengajarkan kekerasaan, merusak, apalagi membunuh sesama.
(abd)
tulis komentar anda