Polemik Kalung Antikorona Jangan Bikin Bingung
Selasa, 07 Juli 2020 - 07:20 WIB
DI tengah penanganan kasus Covid-19 yang tak kunjung terkendali, munculnya rencana pembuatan kalung antikorona besar-besaran menyisakan banyak pertanyaan. Kementerian Pertanian (Kementan) pun akhirnya kemarin memberikan penjelasan ulang dan klarifikasi karena informasi kalung yang mencuat di tengah publik sudah berkembang macam-macam alias tidak lagi utuh.
Terlepas dari polemik soal kemampuan Eucalyptus atau tanaman sejenis atsiri itu mampu membunuh virus korona atau tidak, yang jelas, masyarakat telah dibuat bingung dengan informasi ini. Kondisi ini tentu memprihatinkan. Di saat berbagai pihak bahu membahu berkolaborasi membangkitkan semangat dan bekerja keras menangani Covid-19, liarnya informasi soal kalung membuat situasi kontraproduktif. Perhatian publik seolah dipaksa bergeser ke polemik kalung yang datang tiba-tiba dan masih misterius soal keampuhannya.
Kisruh soal kalung juga potret kegagalan pemerintah mengomunikasikan program atau kebijakan di tengah pandemi saat ini. Ironisnya, kebijakan atau pernyataan yang tampak bertabrakan, tumpang tindih, dan tak jelas sebab-musababnya itu terus saja bermunculan. Pada tahap panjang, langkah menteri atau gubernur yang terkesan sembrono itu tak hanya merugikan publik, tapi juga menggerus kepercayaan terhadap pemerintah.
Sinyalemen ketidakpercayaan itu sebenarnya juga sudah banyak terjadi dan mudah terlihat. Aturan-aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), misalnya, banyak dilanggar, seperti ketaatan memakai masker, menjaga jarak, larangan mudik, hingga larangan beribadah secara berjamaah. Bahkan ketidakefektifan surat izin keluar masuk (SIKM), sebagaimana diungkapkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pekan lalu, adalah menguatkan kebijakan-kebijakan yang selama ini sekadar formalitas di atas kertas. Benarkah SIKM di lapangan? Benarkah SIKM efektif mengendalikan sebaran Covid-19? Semua masih menjadi pertanyaan besar. Parahnya, ketika kritik itu bermunculan, sering kali aparatus pembuat kebijakan berpijak pada laporan-laporan semata, bukan hasil pengecekan langsung ke lapangan.
Perjuangan Indonesia menangani Covid-19 masih sangat panjang. Terhitung dari 2 Maret 2020 atau saat awal pemerintah menyatakan ada kasus positif Covid-19, berarti Indonesia sudah lebih dari empat bulan berjibaku melawan persebaran virus yang diduga kuat dari Wuhan, China, tersebut. Semua paham, empat bulan berjalan, belum ada penanganan kasus yang signifikan. Angka-angka penurunan kematian atau kasus saat ini pun hakikatnya semu karena belum memotret kondisi kesehatan secara keseluruhan. Masalah kian kompleks manakala di saat kondisi yang belum terang ini, ada upaya untuk mendorong pelonggaran-pelonggaran atas nama kepentingan ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian itu, sudah saatnya semua menjaga kehati-hatian. Pun termasuk pemerintah yang selama ini berulang kali membuat kebijakan berkesan membingungkan. Rakyat sudah bosan dengan pernyataan-pernyataan. Yang dibutuhkan adalah aksi nyata melakukan penyelamatan warga agar korban yang terpapar semakin sedikit dan virus benar-benar hilang.
Bisa jadi inovasi yang dilakukan Kementan dengan membuat kalung antivirus adalah sebuah ikhtiar kebaikan. Namun, jika ekstrak Eucalyptus itu diketahui baru mampu melawan influenza atau bersifat meredam pernapasan, bukan Covid-19, tentu pernyataan pemerintah akan memproduksi besar-besaran pada Agustus mendatang cenderung berlebihan. Belum lagi berpikir soal kemampuan bahan baku, pendistribusian, tentu soal kalung tak berhenti pada kebanggaan dalam pernyataan.
Terlepas dari polemik soal kemampuan Eucalyptus atau tanaman sejenis atsiri itu mampu membunuh virus korona atau tidak, yang jelas, masyarakat telah dibuat bingung dengan informasi ini. Kondisi ini tentu memprihatinkan. Di saat berbagai pihak bahu membahu berkolaborasi membangkitkan semangat dan bekerja keras menangani Covid-19, liarnya informasi soal kalung membuat situasi kontraproduktif. Perhatian publik seolah dipaksa bergeser ke polemik kalung yang datang tiba-tiba dan masih misterius soal keampuhannya.
Kisruh soal kalung juga potret kegagalan pemerintah mengomunikasikan program atau kebijakan di tengah pandemi saat ini. Ironisnya, kebijakan atau pernyataan yang tampak bertabrakan, tumpang tindih, dan tak jelas sebab-musababnya itu terus saja bermunculan. Pada tahap panjang, langkah menteri atau gubernur yang terkesan sembrono itu tak hanya merugikan publik, tapi juga menggerus kepercayaan terhadap pemerintah.
Sinyalemen ketidakpercayaan itu sebenarnya juga sudah banyak terjadi dan mudah terlihat. Aturan-aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), misalnya, banyak dilanggar, seperti ketaatan memakai masker, menjaga jarak, larangan mudik, hingga larangan beribadah secara berjamaah. Bahkan ketidakefektifan surat izin keluar masuk (SIKM), sebagaimana diungkapkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pekan lalu, adalah menguatkan kebijakan-kebijakan yang selama ini sekadar formalitas di atas kertas. Benarkah SIKM di lapangan? Benarkah SIKM efektif mengendalikan sebaran Covid-19? Semua masih menjadi pertanyaan besar. Parahnya, ketika kritik itu bermunculan, sering kali aparatus pembuat kebijakan berpijak pada laporan-laporan semata, bukan hasil pengecekan langsung ke lapangan.
Perjuangan Indonesia menangani Covid-19 masih sangat panjang. Terhitung dari 2 Maret 2020 atau saat awal pemerintah menyatakan ada kasus positif Covid-19, berarti Indonesia sudah lebih dari empat bulan berjibaku melawan persebaran virus yang diduga kuat dari Wuhan, China, tersebut. Semua paham, empat bulan berjalan, belum ada penanganan kasus yang signifikan. Angka-angka penurunan kematian atau kasus saat ini pun hakikatnya semu karena belum memotret kondisi kesehatan secara keseluruhan. Masalah kian kompleks manakala di saat kondisi yang belum terang ini, ada upaya untuk mendorong pelonggaran-pelonggaran atas nama kepentingan ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian itu, sudah saatnya semua menjaga kehati-hatian. Pun termasuk pemerintah yang selama ini berulang kali membuat kebijakan berkesan membingungkan. Rakyat sudah bosan dengan pernyataan-pernyataan. Yang dibutuhkan adalah aksi nyata melakukan penyelamatan warga agar korban yang terpapar semakin sedikit dan virus benar-benar hilang.
Bisa jadi inovasi yang dilakukan Kementan dengan membuat kalung antivirus adalah sebuah ikhtiar kebaikan. Namun, jika ekstrak Eucalyptus itu diketahui baru mampu melawan influenza atau bersifat meredam pernapasan, bukan Covid-19, tentu pernyataan pemerintah akan memproduksi besar-besaran pada Agustus mendatang cenderung berlebihan. Belum lagi berpikir soal kemampuan bahan baku, pendistribusian, tentu soal kalung tak berhenti pada kebanggaan dalam pernyataan.
(ras)
tulis komentar anda