Sidang MK, Hakim Tantang Pengacara Hadirkan Ki Gendeng Pamungkas
Senin, 06 Juli 2020 - 17:27 WIB
Hakim Saldi kemudian membacakan bukti yang dihadirkan oleh kuasa pemohon yakni P1 sampai P9. Bukti-bukti ini dikonfirmasi ke Julianta apakah benar atau tidak. Dengan demikian lanjut hakim Saldi, bukti-bukti ini disahkan.
Hakim konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan, pada persidangan sebelumnya sebenarnya panel hakim telah menugaskan kuasa pemohon agar melengkapi data terkait dengan prinsipal yakni Ki Gendeng Pamungkas. Nyatanya bukti surat keterangan kematian atas nama Imam Santoso yang disampaikan kepada majelis pada persidangan kali ternyata tidak lengkap, meskipun ditandatangani oleh kepala desa/lurah.
"Karena di sini tidak membubuhkan nomor induk kependudukan dari pada yang diterangkan di sini atas nama Imam Santoso. Pada waktu itu kita minta agar mohon dikonfirmasi mengenai apakah Imam Santoso benar-benar Ki Gendeng Pamungkas apa tidak? Apakah sudah benar meninggal apa tidak? Jadi ini surat keterangan yang disampaikan kepada majelis hari ini tidak lengkap," tegas hakim Manahan.
Sementara itu hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh sempat membacakan pemberitaan tentang meninggalnya seseorang bernama Ki Gendeng Pamungkas. Yang bersangkutan meninggal setelah dirawat intensif di ruang Intensive Care Unit (ICU) selama tiga hari di Rumah Sakit Mulia, Jalan Pajajaran, Kota Bogor.
Diketahui saat persidangan pertama yang digelar Selasa (16/6/2020), pemohon melalui kuasanya menyatakan, bahwa para politikus yang berasal atau terikat dengan partai politik sudah melakukan pengkebirian hak warga negara dengan menyatakan calon presiden dan wakil presiden diusulkan/dicalonkan dari partai politik atau gabungan partai politik. Menurut pemohon, setelah adanya perubahan batang tubuh UUD 1945 dengan membubarkan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, maka kedaulatan telah dikembalikan kepada rakyat yang tidak menjadi bagian dari partai politik.
Dengan alasan itu, pemohon merasa perlu untuk mengajukan permohonan ini dikarenakan untuk keutuhan dan rasa nyaman warga Negara Indonesia. Permohonan juga diajukan pemohon untuk memperbaki ketatanegaraan dengan cara mencalonkan diri menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Pemohon berpendapat bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UU Pemilu telah mengakibatkan kerugian bagi pemohon, yaitu tidak dapat mencalonkan diri menjadi Capres atau Cawapres. Sehingga dalam permohonannya, pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa pasal-pasal a quo UU Pemilu tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hakim konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan, pada persidangan sebelumnya sebenarnya panel hakim telah menugaskan kuasa pemohon agar melengkapi data terkait dengan prinsipal yakni Ki Gendeng Pamungkas. Nyatanya bukti surat keterangan kematian atas nama Imam Santoso yang disampaikan kepada majelis pada persidangan kali ternyata tidak lengkap, meskipun ditandatangani oleh kepala desa/lurah.
"Karena di sini tidak membubuhkan nomor induk kependudukan dari pada yang diterangkan di sini atas nama Imam Santoso. Pada waktu itu kita minta agar mohon dikonfirmasi mengenai apakah Imam Santoso benar-benar Ki Gendeng Pamungkas apa tidak? Apakah sudah benar meninggal apa tidak? Jadi ini surat keterangan yang disampaikan kepada majelis hari ini tidak lengkap," tegas hakim Manahan.
Sementara itu hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh sempat membacakan pemberitaan tentang meninggalnya seseorang bernama Ki Gendeng Pamungkas. Yang bersangkutan meninggal setelah dirawat intensif di ruang Intensive Care Unit (ICU) selama tiga hari di Rumah Sakit Mulia, Jalan Pajajaran, Kota Bogor.
Diketahui saat persidangan pertama yang digelar Selasa (16/6/2020), pemohon melalui kuasanya menyatakan, bahwa para politikus yang berasal atau terikat dengan partai politik sudah melakukan pengkebirian hak warga negara dengan menyatakan calon presiden dan wakil presiden diusulkan/dicalonkan dari partai politik atau gabungan partai politik. Menurut pemohon, setelah adanya perubahan batang tubuh UUD 1945 dengan membubarkan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, maka kedaulatan telah dikembalikan kepada rakyat yang tidak menjadi bagian dari partai politik.
Dengan alasan itu, pemohon merasa perlu untuk mengajukan permohonan ini dikarenakan untuk keutuhan dan rasa nyaman warga Negara Indonesia. Permohonan juga diajukan pemohon untuk memperbaki ketatanegaraan dengan cara mencalonkan diri menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Pemohon berpendapat bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UU Pemilu telah mengakibatkan kerugian bagi pemohon, yaitu tidak dapat mencalonkan diri menjadi Capres atau Cawapres. Sehingga dalam permohonannya, pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa pasal-pasal a quo UU Pemilu tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda