New Urbanisme Ala Anies Baswedan

Sabtu, 15 Oktober 2022 - 13:09 WIB
Ruang pejalan kaki dan penyeberangan terdistorsi oleh kegiatan pemarean gaya hidup perkotaan. Transformasi ini membuat tak sedikit pengguna ruang terganggu. Sama halnya Tebet Ecopark. Upayabeautifikasitaman kota ini memang mampu menarik banyak pengunjung. Saking menariknya, sampai membeludak dan mengancam daya tampung taman kota. Alhasil, pengunjung malah disuguhi wisata lautan manusia.

Konsep Ruang Terbuka Hijau

Memenuhi 30% ruang terbuka hijau sudah barang tentu terdaftar pada lembar program kerja setiap pemimpin Ibu kota. Untuk keseimbangan lingkungan kota, serta meminimalisasi bencana ekologis, 30% adalahminimum tolerance. Walau mengejawantahkan angka tersebut bukan perkara mudah. Keterbatasan lahan menjadi variabel dominan.

Pengembangan RTH dalam artian Ruang Terbuka Hijau berebutan dengan pembangunan Rumah, Toko, Hotel (dan gedung-gedung lainnya). Kondisi tersebut dialami DKI Jakarta.

Dengan berbagai dinamika dan tantangan yang ada, RTH Kota Jakarta baru mencapai 9,98% dengan peningkatan yang sangat lamban, 0,98% dalam kurun dua dekade terakhir. Mensiasati itu, baru-baru ini Anies menambah konsep Ruang Terbuka Hijau yakni tidak saja berbasis ruang horisontal (hamparan), tetapi juga mengakomodasi ruang vertikal, semisal taman atap.

Melalui konsep ini, luasan RTH mencapai 30,92% dari luas wilayah Ibu Kota. Adapun upaya lain berupa penetapan luasan RTH berbasis keterkaitan wilayah (regional), yakni minimal 30% dari total luas keseluruhan kawasan perkotaan Jabodetabek-Puncak Cianjur (Punjur), sebagaimana tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur.

Meski demikian, siasat di atas hanyalah bentuk substitusi ruang terbuka hijau suatu kota. Sehingga, tampak sekali minim substansi dan tidak menyasar pada pokok alasan kuantitas dan kualitas. Sebab, ruang terbuka hijau identik dengan area memanjang/jalur mengelompok dengan pemanfaatan bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman alamiah maupun buatan atau sengaja ditanam (UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang).

Konsep tersebut lahir atas konsekuensi kebutuhan kota dengan segenap isinya. Bahwa kota harus memasok oksigen, menyediakan fungsi ekologis, sosial, rekreatif, serta menampilkan estetikanya sebagai sebuah ruang atas bumi dan dihuni beragam makhluk.

Fungsi tersebut sangat disarankan dan bersifatconditio sine qua non, tidak menafikan salah satu fungsi untuk sekadar memenuhi luasan ruang terbuka hijau. Sehingga mengakomodasi ruang vertikal sebagai ruang terbuka hijau hanya menyasar fungsi estetika semata. Sebab proses penyerapan air ke dalam tanah tidak terjadi.

Demikian halnya model pengembangan RTH berbasis regional Jabodetabek-Puncak Cianjur. Dalam konteks keseimbangan ekologis, kota terkuantifikasi sebagai suatu sistem tersendiri yang tak seharusnya dipaksa bergabung dengan wilayah sekitar mengatasnamakan konsepsi regionalisasi ruang.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More