New Urbanisme Ala Anies Baswedan

Sabtu, 15 Oktober 2022 - 13:09 WIB
loading...
New Urbanisme Ala Anies Baswedan
Marselinus Nirwan Ruru. FOTO/DOK KORAN SINDO
A A A
Marselinus Nirwan Luru
Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Jakarta
Ketua Ikatan Alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta

Gubernur Anies Baswedan akan mengakhiri masa kerja mempimpin DKI Jakarta pada 16 Oktober 2022. Lima tahun memimpin DKI Jakarta , tak sedikit mimpinya sebagai Gubernur, juga mimpi masyarakat Ibu kota terwujud.

Tagline"Maju kotanya, Bahagia Warganya" menjadi oase sekaligus muara pelbagai kebijakan serta kerjanya selama menahkodai Jakarta yang penuh dinamika. Penataan ruang menjadi bagian penting daritagline itu.

Lalu bagaimana refleksinya kini? Setidaknya ada tiga sorotan yang menampilkan eksekusi Anies dalam kacamata penataan ruang; yakni integtasi transportasi, beautifikasi ruang kota dan konsep baru ruang terbuka hijau.

Ruang kota Jakarta yang dominan berciri lompat katak sehingga nampak adanya pemisahan yang tak kompak antara satu pusat aktivitas dengan lainnya, sangat tak efektif dan efisien dalam hal aksesibilitas warga kota.

Tatkala volume kendaraan meningkat pada pagi dan sore hari, jalanan Jakarta tak ubahnya parkiran terpanjang se-Asia. Momok harian warga kota di jalan raya ini pun menjadi materi menarik adu program calon pemimpin Ibu Kota di panggung debat berikutnya.

Menemukan solusi atasi kemacetan menjadi agenda serius DKI Jakarta. Pemimpin DKI ditantang menelurkan gagasan dan kerja nyata menginter-koneksi tempat kerja dan tempat aktivitas warga kota agaraccessable. Pada tataran ini, lagu lama pengentasan kemacetan melalui reformasi penggunaan lahan tak relevan untuk DKI Jakarta yang kadung berkembang pesat.

Opsi tersebut membutuhkan banyak biaya sosial dan ekonomi. Maka, alternatif terbaik saat ini adalah mengatur aksesibilitas warga kota agar antartitik pusat aktivitas terhubungkan moda transportasi yang nyaman, biaya terjangkau, serta waktu perjalanan yang singkat.

Harus diakui Anies terbilang berhasil dalam upaya mengintegrasi transportasi demi konektivitas penggunaan lahan kota yang “lompak katak”. Janji kampanye menyelesaikan persoalan kemacetan perlahan terwujud meski kemacetan masih terjadi di beberapa tititk. Laporan TomTom Traffic Index menunjukan pergeseran membaik DKI Jakarta pada daftar kota termacet di dunia.

Setelah bertahun-tahun bertengger pada posisi tiga, lalu pada 2018, 2019 menjadi peringkat ketujuh. Kemudian pada 2020 keluar dari posisi 10 besar, di mana Jakarta menempati urutan 31, lalu meningkat 15 peringkat, menempati posisi 46 pada 2021.

Integrasi transportasi umum memberi efek domino pada ruang kota yang tumbuh tercerai-berai. Pada saat bersamaan, kondisi demikian menjadi daya ungkit pengguna angkutan pribadi beralih moda ke angkutan umum.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengungkapkan, pengguna angkutan umum mengalami peningkatan 200% dalam kurun waktu tiga tahun terakhir yang membuat kota ini diganjar Honorable Mantion pada Penghargaan Sustainable Transport Award (STA) 2021.

Beautifikasi Ruang Kota
Mempercantik ruang kota merupakan komponen lain kebijakan Anies. Penataan ruang memang tidak melulu soal menata lahan. Fasilitas kota pun butuh sentuhan kekinian agar relevan dan memberi kepuasan lebih bagi penggunan, semisalinstagramable.

Sudut-sudut kota di-upgradeagar terlihat cantik merupakan suatu keniscayaan.Beautifikasihalte transjakarta, jembatan penyebarangan orang (JPO), taman kota, pedestrian, mural tempok/atap perkampungan, konon memberi nuansa rekreatif bagi warga di tengah hiruk pikuk ibu kota.

Akan tetapi, fasilitas kota tak sekadar pendukung aktivitas warga, melainkan juga media rekreasi warga. Upaya beautufikasi pun harus bersifat menyeluruh.Innerdanouter beautification. Selain menjadi ruang yang cantik, juga harus nyaman dan dimanfaatkan sebagaimana fungsinya. Innerdanouteryang sejalan akan membuat ruang mempunyai cita rasa bagi warganya. Sebaliknya, dominasiinneratauouteradalah cacat ruang.

Citayam Fashion Week (CFW) di Pedestrian Sudirman Thamrin cukup menggambarkan kepincangan beautifikasi ruang kota. Pedestrian dan zebra cross nyaman dan menarik menjadi media roduksi kegiatan baru yang mencederai fungsi aslinya.

Ruang pejalan kaki dan penyeberangan terdistorsi oleh kegiatan pemarean gaya hidup perkotaan. Transformasi ini membuat tak sedikit pengguna ruang terganggu. Sama halnya Tebet Ecopark. Upayabeautifikasitaman kota ini memang mampu menarik banyak pengunjung. Saking menariknya, sampai membeludak dan mengancam daya tampung taman kota. Alhasil, pengunjung malah disuguhi wisata lautan manusia.

Konsep Ruang Terbuka Hijau
Memenuhi 30% ruang terbuka hijau sudah barang tentu terdaftar pada lembar program kerja setiap pemimpin Ibu kota. Untuk keseimbangan lingkungan kota, serta meminimalisasi bencana ekologis, 30% adalahminimum tolerance. Walau mengejawantahkan angka tersebut bukan perkara mudah. Keterbatasan lahan menjadi variabel dominan.

Pengembangan RTH dalam artian Ruang Terbuka Hijau berebutan dengan pembangunan Rumah, Toko, Hotel (dan gedung-gedung lainnya). Kondisi tersebut dialami DKI Jakarta.

Dengan berbagai dinamika dan tantangan yang ada, RTH Kota Jakarta baru mencapai 9,98% dengan peningkatan yang sangat lamban, 0,98% dalam kurun dua dekade terakhir. Mensiasati itu, baru-baru ini Anies menambah konsep Ruang Terbuka Hijau yakni tidak saja berbasis ruang horisontal (hamparan), tetapi juga mengakomodasi ruang vertikal, semisal taman atap.

Melalui konsep ini, luasan RTH mencapai 30,92% dari luas wilayah Ibu Kota. Adapun upaya lain berupa penetapan luasan RTH berbasis keterkaitan wilayah (regional), yakni minimal 30% dari total luas keseluruhan kawasan perkotaan Jabodetabek-Puncak Cianjur (Punjur), sebagaimana tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur.

Meski demikian, siasat di atas hanyalah bentuk substitusi ruang terbuka hijau suatu kota. Sehingga, tampak sekali minim substansi dan tidak menyasar pada pokok alasan kuantitas dan kualitas. Sebab, ruang terbuka hijau identik dengan area memanjang/jalur mengelompok dengan pemanfaatan bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman alamiah maupun buatan atau sengaja ditanam (UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang).

Konsep tersebut lahir atas konsekuensi kebutuhan kota dengan segenap isinya. Bahwa kota harus memasok oksigen, menyediakan fungsi ekologis, sosial, rekreatif, serta menampilkan estetikanya sebagai sebuah ruang atas bumi dan dihuni beragam makhluk.

Fungsi tersebut sangat disarankan dan bersifatconditio sine qua non, tidak menafikan salah satu fungsi untuk sekadar memenuhi luasan ruang terbuka hijau. Sehingga mengakomodasi ruang vertikal sebagai ruang terbuka hijau hanya menyasar fungsi estetika semata. Sebab proses penyerapan air ke dalam tanah tidak terjadi.

Demikian halnya model pengembangan RTH berbasis regional Jabodetabek-Puncak Cianjur. Dalam konteks keseimbangan ekologis, kota terkuantifikasi sebagai suatu sistem tersendiri yang tak seharusnya dipaksa bergabung dengan wilayah sekitar mengatasnamakan konsepsi regionalisasi ruang.

Dengan demikian, tak berlebihan apabila kebijakan regionalisasi disebut jalan pintas (kalau tidak disebut pembenaran) terhadap alasan keterbatasan lahan DKI Jakarta.

Tiga konsep New Urbanism ala Anies di atas memerlukan penyempurnaan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono, yang juga bukanlah new comer bagi Jakarta. Dalam integrasi transportasi, Pj Gubernur Heru hanya perlu mempertahan pola kebijakan yang telah ada sehingga terus menekan angka kemacetan.

Terkaatbeutifikasiruang, memperkuat identitas sudut-sudut ruang kota tertentu terbukti menyihir warga kota, namun harus diikuti upaya diagnose menyeluruh dan pengawasan agar upayabeautifikasitidak terkesan menggeser keaslian fungsi ruang dan mengganggu pengguna.

Berbeda dari dua hal di atas, ruang terbuka hijau masih menjadi pekerjaan rumah. Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) sungguh kesempatan besar. Adagium pindah adalah momentum reformasi sekaligus regenerasi kota cukup relevan ditautkan pada DKI Jakarta.

Beban akan lebih ringan, karena melepas satu fungsi akan melepas segala aktivitas yang selama ini terkelindan dengan fungsi. Maka, perlu gerak cepat menetapkan fungsi baru pada kawasan yang akan ditinggalkan pemerintah pusat.

Penataan ruang bisa menjadi instrument untuk memudahkan redistribusi dan substitusi ruang yang tentu saja mengarusutamakan penyelesaian masalah substantif, ruang terbuka hijau. Langkah awal bisa berupa pemetaan titik kegiatan pemerintah pusat yang berpotensi ditinggalkan, serta mengaudit kesesuaian rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang kawasan sekitarnya.

Jakarta Pusat yang kini mendominasi kawasan pemerintah pusat bisa dipastikan akan mengalami perubahan struktur dan pola ruang. Kemudian melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Pemerintah pusat mengenai pengelolaan lahan dan arah pemanfaatan lahan atau bangunan bekas aktivitas pemerintahan.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah sangat mendesak dan memanfaat setiap momentum untuk melahirkan New Urbanism ala pemimpinnya demi mengentaskan masalah laten Ibu Kota.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4241 seconds (0.1#10.140)