Masa Depan Lingkungan di Tahun Politik
Rabu, 12 Oktober 2022 - 14:01 WIB
Pemanasan global dan krisis energi global juga melahirkan bencana-bencana baru. Sementara itu, banyak agenda-agenda lingkungan yang belum tuntas seperti konservasi, pencegahan eksploitasi sumber daya alam, mitigasi bencana dan ketahanan energi juga masih menunggu.
Memang, pemain politik adalah manusia cerdik, maka pasti semua parpol memiliki platform yang menyinggung lingkungan. Namun pada praktiknya sebatas janji dan retorika minus tindak lanjut kongkret. Tidak ada rasa bersalah dan evaluasi internal atas jatuhnya korban bencana alam sebagai akibat faktor politik berupa rusaknya tata kelola lingkungan (environmental governance).
Lingkungan Terabaikan
Lingkungan terabaikan dalam kompetisi politik dipengaruhi oleh pengetahuan pragmatis masyarakat dan elit tentang politik dan lingkungan itu sendiri. Isu lingkungan masih diabaikan karena mereka tahu bahwa kecemasan rata-rata masyarakat pada kondisi lingkungan ataueco-anxietybisa dikatakan rendah.
Salah satu penyebabnya, mistifikasi masih menjadi corak berfikir yang menjustifikasi, alam dan lingkungan dalam kondisi "aman". Tidak heran, bagi masyarakat kebanyakan isu lingkungan masih dipandang "mewah", jangka panjang dan sulit diukur dengan indikator jangka pendek.
Selain itu, kalaupun dipersoalkan, isu lingkungan masuk pada perdebatan multidimensi. Untuk menjelaskan penyebab dan dampak lingkungan tidak hanya satu perspektif yang muncul. Bisa jadi tidak sama pengetahuan masyarakat lokal, pemerintah dan organisasi masyarakat.
Maka, tidak heran jika wacana untuk memperjuangkan lingkungan kurang dipilih. Kondisi serba "relatif" ini sebagai salah satu penyebab isu ekologi jarang diperjuangkan sebagai isu publik yang akhirnya elite politik tidak mengangkatnya sebagai janji politik.
Faktor lain yang membuat tidak populernya isu lingkungan juga dipengaruhi pengetahuan politik elite yang masih menganggap tujuan politik yakni pengejaran kekuasaan, atau dalam studi Ilmu Politik kerap disingkat siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana(who gets what, when, how), H. Lasswell, 1936).
Memang di tangan politisi peduli lingkungan, kekuasaaan bisa diarahkan untuk kerja-kerja ekologis. Melalui otoritasnya, kepala daerah bisa membuat program konservasi sebagai program unggulan kota. Misalnya, seorang legislatif juga bisa memperkarakan investor perusak hutan. Tetapi sejatinya bukan itu yang menarik, akumulasi kekayaan golongan atau kelompok tertentu jauh lebih menggoda.
Tidak heran jika politik lebih menonjol sebagai strategi dan pemenangan, isu lingkungan pun bukan sebagai tujuan, tetapi sekedar pemanis dan justifikasi moral. Apapun isu akan diangkat asal menjanjikan kemenangan.
Memang, pemain politik adalah manusia cerdik, maka pasti semua parpol memiliki platform yang menyinggung lingkungan. Namun pada praktiknya sebatas janji dan retorika minus tindak lanjut kongkret. Tidak ada rasa bersalah dan evaluasi internal atas jatuhnya korban bencana alam sebagai akibat faktor politik berupa rusaknya tata kelola lingkungan (environmental governance).
Lingkungan Terabaikan
Lingkungan terabaikan dalam kompetisi politik dipengaruhi oleh pengetahuan pragmatis masyarakat dan elit tentang politik dan lingkungan itu sendiri. Isu lingkungan masih diabaikan karena mereka tahu bahwa kecemasan rata-rata masyarakat pada kondisi lingkungan ataueco-anxietybisa dikatakan rendah.
Salah satu penyebabnya, mistifikasi masih menjadi corak berfikir yang menjustifikasi, alam dan lingkungan dalam kondisi "aman". Tidak heran, bagi masyarakat kebanyakan isu lingkungan masih dipandang "mewah", jangka panjang dan sulit diukur dengan indikator jangka pendek.
Selain itu, kalaupun dipersoalkan, isu lingkungan masuk pada perdebatan multidimensi. Untuk menjelaskan penyebab dan dampak lingkungan tidak hanya satu perspektif yang muncul. Bisa jadi tidak sama pengetahuan masyarakat lokal, pemerintah dan organisasi masyarakat.
Maka, tidak heran jika wacana untuk memperjuangkan lingkungan kurang dipilih. Kondisi serba "relatif" ini sebagai salah satu penyebab isu ekologi jarang diperjuangkan sebagai isu publik yang akhirnya elite politik tidak mengangkatnya sebagai janji politik.
Faktor lain yang membuat tidak populernya isu lingkungan juga dipengaruhi pengetahuan politik elite yang masih menganggap tujuan politik yakni pengejaran kekuasaan, atau dalam studi Ilmu Politik kerap disingkat siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana(who gets what, when, how), H. Lasswell, 1936).
Memang di tangan politisi peduli lingkungan, kekuasaaan bisa diarahkan untuk kerja-kerja ekologis. Melalui otoritasnya, kepala daerah bisa membuat program konservasi sebagai program unggulan kota. Misalnya, seorang legislatif juga bisa memperkarakan investor perusak hutan. Tetapi sejatinya bukan itu yang menarik, akumulasi kekayaan golongan atau kelompok tertentu jauh lebih menggoda.
Tidak heran jika politik lebih menonjol sebagai strategi dan pemenangan, isu lingkungan pun bukan sebagai tujuan, tetapi sekedar pemanis dan justifikasi moral. Apapun isu akan diangkat asal menjanjikan kemenangan.
tulis komentar anda